the outcast

75 1 0
                                    

Dia berbaring di ranjang usai menerima kemarahan Ibu. Dia pulang tidak tepat waktu, lalu Ibu marah dan memukul punggung tangannya menggunakan sebilah rotan. Suatu bentuk hukuman yang akan abadi meski Aksa sudah beranjak dewasa. Lagi, sejak dahulu Ibu memang tidak setuju bila anaknya bermain di Putra Selatan.

Di sana merupakan sarang penyamun. Begitu perumpamaannya. Pada kenyataannya, itu hanya tempat berkumpul anak-anak yang membolos, sekadar menghabiskan waktu bermain game online daripada mendengar ocehan guru.

Di sana juga ada Latan. Dia terkenal sangat badung. Catatan hitamnya di sekolah sudah tidak terkira. Didukung pula dengan catatan kriminalnya di kantor polisi. Mengutil di supermarket. Menggondol helm bermerek dan spion mobil. Sampai menjadi perantara dalam mengedarkan narkoba.

Sudah tidak terhitung berapa kali Latan disidang, tidur di dalam sel, dan terlibat perkelahian dengan sesama napi. Beruntung, dia masih di bawah umur saat menjalankan aksinya. Sanksi yang diberikan pun tergolong ringan.

Masa-masa kelam itu membuat Ibu sama sekali tidak percaya pada Latan. Sekali penjahat, tetap penjahat. Dan Ibu tidak akan membiarkan Aksa terlalu dekat dengan Latan.

Kini, Aksa harus menghabiskan waktu di ranjang, menatap dinding putih berisi deretan foto yang membentuk persegi. Dia pun mengeluarkan foto Bahtera. Bangkit, menyejajarkan potret lelaki itu dengan satu-satunya potret di tengah persegi.

Bahtera dan Bentala.

***

"Hei, kamu baik-baik saja?" Aksa bertanya pada seseorang yang duduk sendiri di kursi depan kelas.

Dia menoleh, menggeleng pelan, lalu menunduk lagi.

"Kamu mau menceritakan sesuatu?" Aksa masih berusaha mendorongnya untuk berbicara.

Sesuai keinginan, lelaki itu mendongak, memperbaiki posisi duduknya, kemudian mengangguk.

"Kadang aku ingin memiliki teman, seperti anak-anak lain. Kadang, entah mengapa, aku ingin sendirian dan perlahan menghilang dari bumi ini."

Aksa menatap penuh keyakinan dalam mata lelaki itu. Bentala Candradimuka, dengan ucapannya yang sangat terbuka. Kalimat-kalimat itu berputar konstan di kepala Aksa.

"Kalau kamu ingin punya teman, aku bisa menjadi temanmu. Kalau kamu ingin sendiri, kamu bisa menjadikanku sebagai tempatmu untuk menyendiri."

Jawabannya serta pernyataan Bentala, bersatu dan berputar di kepalanya. Dia tidak tahu apa yang meyakinkannya bicara demikian. Yang dia ketahui, sosok Bentala, yang selalu dikucilkan oleh orang sekitar, dirasa perlu mendapat respons seperti itu.

Keduanya tersenyum, kemudian Bentala mengangguk. Namun, tidak lama setelah itu, kelegaan mereka lenyap. Digantikan oleh kedatangan Bahtera bersama tiga temannya. Langkah mereka tampak angkuh saat melintasi Aksa dan Bentala. Satu tempelengan keras dari Bahtera mendarat mulus di kepala Bentala, disertai kata-kata makian dari mulutnya.

Bentala terhuyung, hampir ambruk ketika Aksa menahan tangannya. Napas lelaki itu tidak terkendali. Tangannya terkepal kuat. Kuku panjangnya menusuk ke dalam telapak tangan. Perih dengan cepat dia rasakan. Lebih perih lagi kala Bahtera menoleh sekilas, lantas melempar permen karet bekas mulutnya ke wajah Bentala.

Dia kian murka. Hendak berdiri dan membalas, tapi Aksa menahannya.

Aksa mengusap wajahnya dengan tangan. "Kamu masih baik-baik saja, Tala." Aksa bicara sungguh-sungguh pada Bentala. "Jangan gegabah."

"Dia adalah satu-satunya alasanku ingin menghilang," kata Bentala, usai pikirannya lebih tenang.

***

Kedua lelaki itu merupakan saudara sedarah. Dilahirkan dari rahim ibu yang sama, hanya terpaut usia setahun. Namun, kebencian terhadap satu sama lain terlampau besar. Hingga kini tiada satu pun yang tahu mengapa mereka bertikai.

Bahtera terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Bentala, di sekolah, di rumah, bahkan di keramaian. Sebaliknya, Bentala justru membencinya di dalam hati. Kemudian menuliskan niat-niat jahatnya untuk menyakiti sang kakak.

Aksa pernah satu kali melihat buku penuh kemurkaan milik Bentala. Sampulnya merah menyala. Dia melihat satu halaman berisi sketsa pisau, menikam punggung seseorang yang sudah terkapar penuh tinta merah. Di bawah orang itu, tertera nama Bahtera. Tulisannya penuh penekanan, bahkan menembus halaman selanjutnya.

Ketika Aksa bertanya pada Bentala mengenai gambar itu, dia menjawab, "Seseorang butuh menggambarkan keinginannya ketika tidak mampu menjelaskan secara lisan ataupun tulisan."

Saat mengenangnya, Aksa mengangguk.

Dia beranjak pada lemari kecil di samping ranjang, mengambil selotip dan gunting.

Potongan selotip pertama, dia tempelkan pada satu sudut foto Bahtera. Untuk objek pengamatannya yang sudah lengkap.

Potongan kedua. Untuk keretakan hubungan Bahtera dan Bentala yang masih menjadi rahasia.

Potongan ketiga. Untuk kekesalan Aksa terhadap ciuman Bahtera berbulan-bulan lalu.

Potongan keempat. Untuk apa pun yang membuat hari-harinya begitu sengsara usai tragedi itu.

Dia pun menempelkan foto itu di samping foto Bentala yang tersenyum tipis. Hanya itu satu-satunya objek yang sadar kamera. Sebab, Aksa tidak mengambil potretnya secara sembunyi-sembunyi. Aksa mengambil fotonya dan mengatakan bahwa Bentala layak mendapat apresiasi atas eksistensinya di dunia ini.

Itu bukan omong kosong atau bujukan agar Bentala sudi menerima permintaannya. Dia serius. Bahkan, di bawah foto itu, terdapat selembar notes berisi kalimat apresiasinya.

I'm happy that you are alive.

People said that you're an outcast, but in my heart, you are my main cast.

People said that you're an outcast, but in my heart, you are my main cast

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

BAHTERAWhere stories live. Discover now