8

4K 445 16
                                    

Jimin POV

Bolehkah aku bertanya?

Apa arti seorang Ibu untukmu?

Malaikat tanpa sayap? Seseorang yang selalu mengaliri cinta dan kasih sayang kepadamu? Wanita yang selalu ada di sisimu yang senantiasa memberimu semangat untuk hidup? Keluarga yang sangat berarti melebihi apapun?

Apakah seperti itu definisi IBU?

Namun kenapa semua ungkapan itu tidak dapat aku rasakan sedikitpun maknanya? Kenapa wanita yang seperti itu tidak dapat kumiliki? Bahkan untuk sekedar mengingat tentang kenangan sosok Ibu di hidupku sudah membuat hatiku nyeri.

Kejadian itu terus mengusik batin dan pikiranku meskipun aku sudah berusaha menguburnya dengan susah payah. Aku tidak ingin mengingatnya lagi, karena hanya akan memunculkan sakit yang beruntun. Namun, bekas luka itu tidak pernah hilang. Selalu muncul disaat yang tidak terduga. Serpihan kenangan-kenangan yang aku kubur muncul sekejab dan hilang dalam sekejab juga.

Aku tidak memiliki tempat untuk meluapkan sakitku. Aku tidak memiliki ruang untuk membagi sakitku. Hanya tubuhku tempatku mencurahkan sakit. Lengan-lenganku adalah saksi bagaimana tersiksanya hati dan pikiranku saat mengingat kenangan itu. bahkan disaat aku jatuh cinta pada istriku, aku harus menguburnya dalam-dalam keinginanku untuk menunjukkan cintaku padanya.

Namun istriku lebih tangguh. Dia memberikan cintanya secara bertubi-tubi padaku. Dia selalu menang menghadapi sikapku. Dan aku telah kalah telak.

---

"Jimin sadarlah. Kumohon." Jimin masih ada di dalam rengkuhan Hana, namun ia hanya diam dengan bibir masih bergetar

"KUMOHON BERHENTILAH MENYIKSA DIRIMU SENDIRI PARK JIMIN!!!"

Hati Hana menjerit. Ia tidak sanggup melihat suaminya tersiksa seperti ini. Ia marah. Marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa sigap membaca situasi. Padahal ia tau pasti Jimin akan melakukan ini. Hana menggenggam jemari Jimin yang berlumur darah. Mencium puncak kepala Jimin yang masih basah karena air.

"kamu kuat, suamiku. Kamu kuat." Hana mencium kening Jimin. perlahan Jimin mulai tenang. Ketenangan seperti ini yang dirindukan Jimin.

Hanya Hana yang dapat menenangkannya, sejak berada di panti asuhan dulu. Saat dimana ia sering menangis dan melukai dirinya di bawah pohon. Hana datang membawa obat luka, menepuk-nepuk punggungnya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja sambil merangkulnya. Hanya Hana. tanpa Hana sadari kedua sudut bibir Jimin naik.

"Hana.." akhirnya Jimin bersuara.

"Jimin.. tunggu sebentar." Hana melepas rangkulannya.

"jangan pergi."

"kalau begitu ikutlah denganku." Hana menggiring Jimin menuju sofa.

Hana membasuh jari-jari Jimin dengan air. Membuka kancing baju Jimin satu persatu, menaruh kemeja Jimin di lantai, hingga kini badan suaminya terekspos dengan jelas. Bahkan disaat tubuhnya dipenuhi luka pun tidak sedikit mengurangi gairah Hana mengenai badan kekar Jimin.

PLAK! Fokus Hana!

Hana mengambil kapas yang telah dicelup antiseptik dan mengusapkan dengan lembut ke lengan Jimin. berulang kali Hana menelan kasar salivanya. Oh ayolah maklumi sikap Hana. Ini pertama kali Hana melihat suami tampannya shirtless.

"apa kau bergairah?" tanya Jimin memiringkan kepalanya. Refleks Hana mencengkaram lengan Jimin.

"aarghh!"

"m-maaf." Tentu saja Hana gugup. "diamlah agar cepat selesai."

"dan lanjut ke tahap selanjutnya?" senyum nakal Jimin sukses membuat pipi Hana semerah tomat. "jangan mesum! Ini masih di kantor." Jimin menyentil kening Hana.

"aku tidak mengatakan apa-apa." Mata Hana masih berusaha fokus pada luka-luka di lengan Jimin, namun tetap saja pandangannya tidak pernah bisa tidak melirik perut kotak-kotak Jimin.

Sial! Tubuh Jimin membuatnya kehilangan fokus. Kini tangan Hana yang mulai gemetar mengusap antiseptik di lengan kiri Jimin. menyadari tingkah istrinya, Jimin menahan lengan Hana dengan tangan kanannya.

"masih kuat?" senyum nakal Jimin belum juga luntur. Kenapa suaminya bisa berubah dalam waktu sesingkat ini? Dari pria yang rapuh menjadi nakal hanya dalam hitungan menit. Lengan yang penuh luka itu merangkul pinggang Hana, mendekatkan badannya dengan badan Jimin, kapas yang dipegang Hana lepas begitu saja dan kedua telapak tangannya sukses menyentuh dada Jimin.

Mata Hana membulat. "aku ingin anggota keluarga baru." Bisik Jimin di telinga kiri Hana.

to be continued

HIDDEN PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang