Bagian 1 : Undangan Reuni

23.6K 1.4K 33
                                    

"Ambar! Ini ada kiriman buat kamu."

Bibi Ange muncul di depan pintu kamarku. Adik mamaku yang masih terlihat muda dan cantik meskipun sudah berkepala lima. Beliau yang mengurusku dari kecil, kemana beliau pergi aku selalu ikut.

"Ini undangan ya Mbar?" tanya Bi Ange yang ternyata telah merobek bungkusan luar kiriman buatku. Aku memperhatikan Bi Ange membola-balik undangan tersebut.

Dahiku mengernyit saat melihat bentuk undangan yang terlihat seperti post card. Warnanya terang dan cerah, ada logo yang tidak asing tertera lebar di ujungnya.

"Undangan reuni SMA Bakti Husada Bi?" tanyaku saat aku ingat beberapa waktu lalu Nirmala bercerita soal reuni.

Meskipun telah pindah lama, aku masih tetap berhubungan dengan Nirmala. Teman semasa putih abu-abuku. Dulu kami tetangga dan sekolah di tempat yang sama.

Bi Ange mengangsurkan undangan reuni itu seraya berkata, "Balik yuk. Kangen juga sama Jakarta, masa Bibi cuti kita di rumah aja."

Aku melirik Bi Ange sekilas dan kembali melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Tadi saat Bi Ange masuk aku sedang menata buku-buku milikku sesuai abjad.

"Ambar baru cuti minggu depan Bi."

"Ya udangannya juga masih tanggal berapa ini." Bi Ange kembali mengambil undangan yang sempat aku letakkan di atas meja belajarku. "Nah masih sempat ini kalau mau balik, emang gak kangen dengan Mala?" katanya.

Aku menimbang-nimbang usul Bibiku itu. Secara, kami tinggal di negara orang, biaya hidup di sini gak murah. Pulang cuma sekedar buat hadir acara reuni tidak masuk dalam agenda tahun ini. Tapi, Bi Ange benar juga, sudah lama kami tidak pulang.

"Ya udah Bi Ange urus deh. Ambar ngikut aja," kataku akhirnya setuju.

Senyum manis Bi Ange terbit. Beliau ini sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri, apa lagi sejak SD aku ikut beliau karena kedua orang tuaku mengalami kecelakaan. Sayang, perempuan cantik dan mandiri seperti Bi Ange masih sendiri hingga umurnya tidak lagi muda seperti sekarang.

Sepuluh tahun sudah kami tidak pernah menginjakkan kaki di Jakarta. Saat itu umurku tujuh belas tahun, baru kelas dua SMA. Bi Ange mendapatkan tawaran pekerjaan di sini dan beliau memboyongku kemari. Menyekolahkanku yang akhirnya harus beradaptasi secepat mungkin.

Tanganku bergerak meraih sebuah album foto. Isinya foto-fotoku dan teman-teman masa SMA-ku yang kebanyakan tinggal satu komplek. Dulu dari ujung depan komplek sampai ujung belakang komplek rata-rata bersekolah di Bakti Husada. Baik itu yang SD, SMP dan SMA.

Rumahku di blok A, bersebelahan dengan rumah Nirmala. Karena rumah kami dekat dengan gerbang depan, biasanya kami selalu menunggu anak blok belakang lewat dulu.

Satu hal yang membuatku enggan kembali. Satu nama yang sampai sekarang masih aku ingat. Satu sosok yang selaku aku intip dari balik jendela kamar. Satu kesempatan berkenalan yang tidak pernah ada.

Kalian percaya dengan cinta pertama? Kata orang, saat masih labil kita jatuh cinta pada lawan jenis itu namanya cinta monyet. Tapi bagaimana jika cinta monyet itu berkembang menjadi sebesar gorila? Sehingga sulit untuk dilupakan meski sepuluh tahun lamanya.

Namanya Rion Pranadipa. Tinggal di komplek C dan bersekolah di SMA Bakti Husada. Sejak kelas satu SMA aku berharap buat satu kelas dengan Rion, namun sayang harapanku tak terwujud.

Aku cuma bisa memperhatikan Rion dari jauh. Pagi, saat berangkat sekolah kita jalan bersama, tapi tak pernah menyapa. Dia jalan di depan bersama anggota bandnya dan aku jalan di belakang bersama Mala.

Di sekolah, kelas kami bertetanggan tapi tidak pernah saling kenal. Mungkin hanya aku saja yang kenal Rion di sini. Cinta diam-diam ala-ala anak SMA seperti ini terdengar menggelikan untuk perempuan sepertiku. Usia matang 27 tahun, belum menikah ataupun pernah pacaran. Padahal aku hidup di negara maju, free sex dimana-mana, pria jantan berkeliaran, tetap saja aku single sampai sekarang.

Aku ingat pertama kali aku tahu Rion. Saat itu saat yang sangat paling aku ingat dalam hidupku.

11 tahun yang lalu

"Ambar! Bagi rambutannya!" teriak Mala dari bawah pohon rambutan. Taman komplek kami sudah seperti kebun buah, ada pohon rambutan, mangga, dan belimbing. Jadi jangan heran kalau aku punya hobi manjat pohon rambutan.

Aku melempar satu buah rambutan kepada Mala yang menunggu di bawah. Beberapa anak mulai berkerubun di bawah sana, tangan mereka menadah meminta lemparan rambutan dariku.

"Manjat sendiri," tolakku.

"Jadi orang jangan pelit. Ini rambutan bukan punya lo doang." Sebuah suara dari dahan pohon yang lebih tinggi dariku terdengar. Seorang anak laki-laki dengan kaos bergambar sinchan duduk santai di salah satu dahan yang kokoh.

Aku menatap anak itu dengan sebal. Dia yang ada di sana menikmati rambutan seorang diri. Tidak sudi juga untuk berbagi, tapi maunya menceramahiku.

"Lo aja yang bagi ke mereka," sahutku rada sebal.

"Gue sudah berbagi sama lo. Jadi gantian lo yang berbagi sama mereka," ucapnya santai dan melempar kulit rambutan ke arahku. Boleh aku dorong dia jatuh dari atas sini?

"Astaga!" aku terpekik kaget saat si manis naik ke atas pangkuanku. Buyar semua lamunanku tentang masa SMA dulu. Masa dimana aku suka manjat pohon rambutan komplek.

Saat dimana aku pertama kali bertemu Rion. Anak laki-laki berkaos sinchan yang bermulut pedas. Ketua geng anak-anak SMA yang hobinya buat onar. Itu percakapan pertama dan terakhir kami.

Setelah kejadian pohon rambutan itu, aku dan Rion tidak pernah menyapa. Tapi aku selalu mengumpatinya. Mungkin benar kata orang, benci dan cinta itu beda tipis.

Saking bencinya dengan Rion yang bermulut pedas, aku justru suka memperhatikannya. Aku jatuh hati padanya. Suara Rion yang merdu saat pentas, permainan gitarnya yang memukau, bahkan kenakalannya di komplek menjadi perhatianku.

Rion tidak tampan, dia manis. Rion bukan anak manis, dia manly.

Bagaimana reaksimu jika melihat orang yang kamu anggap kasar dan bermulut pedas ternyata mampu menolong seekor anak kucing?

Dari kecil aku pecinta kucing, suka membawa pulang kucing jalanan. Meskipun akhirnya akan diomeli oleh Bi Ange. Dulu aku selalu bermimpi mempunyai pacar yang juga pecinta kucing sepertiku.

Hal itu aku lihat pada sosok Rion. Dia menolong seekor kucing kecil di dalam selokan. Memabawanya pulang, merawatnya dengan baik. Bahkan rela mencari si kucing keliling komplek saat si kucing menghilang.

Bukankah pria penyayang itu sangat manis? Kucing saja dipelihara, bagaimana dengan perasaan? Kucing saja disayang, bagaimana dengan pacarnya?

Sampai sekarang aku masih beranggapan bahwa pria penyayang hewan-terutama kucing-akan menjadi calon nomor satu kursi cinta di hatiku.

Bersambung

Waduh ini cerita apa? Ini cerita baru mulu sih kak. Yang lama aja belum kelar.

Kalian pasti bakal ngomong gitu, aku paham kok. Tapi tenang aja, ini cerita cuma tiga bab dan gak akan lebih dari 3000 kata.

Iyaps, aku lagi iseng ikutan valentine day's contest yang diadakan di akun indonesia.

Jadi jangan lupa vote dan komentarnya ya😊

Rion! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang