Bagian 2 : Dia Rion Pranadipa

12.2K 1.3K 4
                                    

Jakarta dan kemacetannya, kini aku dapat merasakan bermacet ria di Jakarta kembali. Jakarta bertambah sumpek saja, ditambah aku dan Bi Ange mungkin gak akan berpengaruh banyaklah ya.

Aku dan Bi Ange menempati sebuah apartemen yang disewa oleh Bi Ange selama kami di sini. Iya aku dan Bi Ange sudah tidak punya tempat tinggal lagi di sini. Seluruhnya telah dijual sepuluh tahun lalu.

Hari ini adalah hari dimana aku akan kembali bertemu teman semasa SMA. Aku sudah berdandan secantik mungkin. Dress code yang dipilih panitia acara adalah abu-abu. Katanya untuk mengenang masa putih abu-abu dulu.

"Wow lo tambah cantik aja Bar! Gila pangling gue," seru Mala saat dia menjemputku. Tentu saja Bi Ange yang ada di sebelahku tersenyum dengan bangga, dress yang aku kenakan merupakan pilihan beliau.

Aku berpamitan dengan Bi Ange, begitu juga dengan Mala. Hari ini Bi Ange ingin pergi ke rumah teman lamanya, jadi maka dari itu kami sama-sama turun ke lobi.

"Gila gue masih ingat banget lo dulu tuh tomboy banget. Lo beda banget sih Bar."

Mala menggelengkan kepalanya sambil tetap fokus menyeteri. Sepertinya dia sedikit mendramatisir keadaan. Ya memang sih aku akui diriku saat masih SMA itu cowok banget.

"Lo juga tambah cantik Mal. Lo masih tinggal di kompleks lama?" tanyaku sambil memperhatikan keadaan di luar mobil. Aku begitu merindukan Jakarta, tanah kelahiranku.

Mala membelokkan mobilnya ke sebuah hotel bintang lima. Memang kata Mala lokasi acara gak begitu jauh dari apartemen yang aku sewa. Sehingga tentunya aku tidak perlu merasakan kemacetan yang sangat lama dan panjang.

"Lo bakal kaget deh kalau ketemu Rion," ucap Mala saat dia selesai parkir mobil di basement. Aku menatap Mala dengan alis berkerut. "Rion sekarang sukses banget Bar. Dia jadi penulis lagu terkenal dan semuanha hits. Gila deh pokoknya dia tuh jadi keren banget!" cerita Mala menggebu.

Pembicaraan kami sedikit terpotong saat kami harus turun dari mobil. "Bukannya dari dulu dia udah keren ya?" kataku menimpali cerita Mala yang sempat tertunda tadi.

Aku dan Mala jalan beriringan menuju lift yang akan membawa kami ke lantai 4. Untunglah parkiran dan lift sedang sepi, jadi kami bisa saling menggosip. Ya maklum saja kami ini datang terlambat, gara-gara Mala yang kejebak macet saat menjemputku.

"Buat lo doang dia kerennya kalau dulu." Mala menepuk pelan pundakku dan rasanya lumayan pedas. "Lo masih ada rasa gak sih sama dia?"

Aku terdiam, napasku rasanya tersendat. Jantungku juga berdetak begitu kencang. Aku bingung harus berucap bagaimana, aku sendiri saja tidak tahu seperti apa perasaanku pada Rion. Getaran itu masih ada meskipun tidak sekuat dan sekencang dulu.

"Rion udah punya pacar, katanya mau nikah. Lo move on deh! Udah tua masa belum punya pacar, emang gak mau nikah?" ceramah Mala yang cukup menggelitikku.

Aku hanya tersenyum simpul dan berjalan duluan saat pintu lift terbuka di lantai 4. Suasana di depan ballroom saja ramai oleh beberapa orang teman yang menjadi panitia. Saling sapa, cium pipi kanan dan kiri mulai dilakukan. Saling haha hihi di depan pintu mulai terdengar.

"Rion!" Kepalaku cepat tertoleh saat mendengar Mala berseru. Siapa lagi yang diserukannya jika bukan Rion?

Apa maunya temanku ini sih? Tadi dia yang nyuruh move on tapi sekarang dia yang menjerumuskanku.

"Mala apa kabar? Gimana bisnis lo? Lancar dong ya," sapa Rion saat dia sudah berdiri di depan aku dan Mala. Rion datang sendirian dengan stelan kemeja abu-abu slim fit yang pas banget buat dia.

Sepertinya Mala dan Rion cukup dekat. Ya memang Mala pernah cerita bahwa dia dan Rion sedang bekerja sama membangun usaha alat musik. Aku gak tau deh kenapa jiwa mereka ini bisa pengusaha banget, sedangkan aku masih aja jadi babu.

"Baik dong lancar," kata Mala. "Eh lo ingat dia gak? Anak komplek kita satu SMA juga," tanya Mala yang menunjukku.

Aku menatap Rion dengan senyum tipis. "Apa kabar?" tanyaku sok akrab.

Rion mengerutkan dahinya, mungkin dia mencoba menggali memorinya tentangku yang pasti sedikit banget. Kemudian sebuah kalimat yang begitu menyakitkan keluar dari bibirnya.

"Baik. Tapi bentar deh, kok gue gak pernah ngeliat lo ya?"

Senyumku lenyap dan berganti dengan wajah datar. Memang gak ada yang spesial dari aku buat dia. Tapi apa salahnya sih pura-pura ingat saja?

"Mal gue duluan ya," aku langsung meninggalkan Mala yang masih berusaha sadar dari rasa kagetnya.

Menghilangkan malu itu susah, apa aku masih bisa punya muka lagi di hadapan Rion? Tolonh operasi wajahku secepatnya.

Sebenarnya kejadian memalukan pernah juga menimpaku. Sekali lagi pemerannya adalah Rion. Kejadian itu terjadi sepuluh tahun lalu.

Waktu itu sedang istrihat sekolah. Aku memilih makan di kantin bareng Joan. Tapi saat di kantin aku langsung kebelet pengen ke toilet. Jadi Joan menawarkan untuk memesankan aku makanan.

Setelah dsri toilet aku mencari-cari keberadaan Joan. Dia duduk di meja tengah, bersama dengan teman-teman cowoknya. Di sana juga ada Rion.

"Lama amat lo Bar," dumel Joan saat aku duduk di sebelahnya.

Baru saja aku ingin buka suara sesuatu yang memalukan bagiku terjadi.

Brak!

Kursi plastik yang aku duduki patah dan aku terjungkal ke belakang. Semua mata memandang ke arahku. Bahkan tiba-tiba saja aki tertawa sambil menangis.

"Buset lo berat juga ya," komentar Rion yang kebetulan duduk di sebelah kananku. Sedangkan Joan yang duduk di sebelah kiri masih asik tertawa terbahak-bahak.

Masa SMA yang banyak warna untukku. Rasa malu, sedih dan senang semua bercampur aduk. Ditambah kejadian tadi,.mau ditaruh dimana mukaku. Apa lagi kalau sampai Rion tahu dia cinta pertamaku, mungkin aku memilih buat gak balik lagi ke sini.

Jangan lupa vote dan komentarnya ya😊

Rion! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang