Agni: Tahun Baru? Di Rumah aja

27.1K 2K 18
                                    

"Tahun baru kemana, Ni? Gabung yuk sama kita-kita." Tawar Mila padaku.

"Di rumah aja kayaknya."

"Ih. Ya masa dua tahun di rumah mulu. Keluar lah sama kita-kita. Lagian kan lo ultah. Harusnya lo bersenang-senang diluar sana, karena ultah lo dirayain sama orang seluruh dunia."

Karena ultah lo dirayain orang seluruh dunia.

Itu sudah sering terdengar di telingaku. Harusnya semenyenangkan itu, ketika hari lahirmu dirayakan banyak orang. Tapi apa berartinya kalau tanpa orang yang spesial yang disayang?

"Percuma orang-orang seluruh dunia gak kenal gue, Mil. Eh, lo udah nyerahin report bulanan belum?"

"Ngapain juga lo dikenal? Emang situ artis panas? Udah, baru aja. Buruan gih, lumayan di dalam masih ada beberapa manajer yang lagi kumpul, kali-kali ada yang baru putus, atau bahkan mau gugat cerai sama bininya."

"Ketemillll. Lo sinting ya! Bersihin tuh otak lo make hand sanitizer!"

"Anjirr. Awas aja lo manggil gue begitu lagi!"

Andrea Kamilia. Dari awal Mila sudah ngotot minta dipanggil dengan sebutan Andrea. Selidik penuh selidik, tingkah lakunya tidak sebanding dengan nama 'Andrea'. Akhirnya muncul nama 'Ketemil', untuk membubuhi nama panggilan Mila.

Sepeninggal Yuri dan Dinda ke gedung sebelah, membuatku tidak tertarik membangun pertemanan di kantor dengan siapa pun lagi. Menurutku, menemukan sahabat di dunia kerja itu agak langka. Karena sebagian besar otak para pekerja itu fokusnya adalah persaingan.

Beda dengan persahabatanku dengan Yuri dan Dinda. Layaknya anak sekolahan, kami bertemu 3 tahun yang lalu dan tentu tidak pernah ku prediksi sebelumnya akan seperti apa hubungan pertemanan kami. Kenyataannya, kini mereka membuatku bekerja agak berat karena ketidakhadiran mereka seperti biasanya.

"Gue ngehadap Pak Bos dulu, Mil!" Dan Mila pun mengangguk sambil mengibaskan tangannya tanpa menoleh ke araku.

Setelah selesai waktu istirahat sholat Jumat—dimana para lelaki kembali satu persatu dari peradabannya—aku segera bergegas merapikan laporan bulanan yang harus segera bertengger di meja Pak Dirga, Bosku, Manajer Umum.

Tok! Tok!

"Ya?" Jawaban dari dalam ruang rapat terdengar di telingaku.

"Permisi, Pak. Saya mau menyerahkan report bulan......" baru kusadari setelahnya bahwa di dalam ruang rapat masih lengkap ketujuh Manajer—delapan dengan Pak Dirga—seperti sedang berdiskusi santai.

"..eh maaf, Pak. Saya kira rapat udah selesai." Ujarku kikuk.

"Eh, mbak Agni ya? Apa kabar? Masih ingat saya nggak?"

Pak Kevin. Manajer operasional di kantor tempatku bekerja. Dari awal dia tahu siapa aku, karena orang tua kami berteman. Teman bisnis maksudnya. Sebagai bawahan dan karena aku merasa tidak terlalu kenal Pak Kevin, jadi ya..aku hanya berusaha bersikap sopan.

"Masih, Pak."

"Woy! Lu apaan sih, Vin? Modus." Kali ini pak Nicholas menyahuti.

"Tau nih, Kevin. Main serempet aja." Disusul dengan celotehan Pak Dipta.

Jangan salah guys, para manajer di kantor ini bibirnya pada lemas-lemas. Heran ya, jam segini udah pada ngemodus.

"Oke. Let's back to work."

Begitu suara bariton rendah yang tegas itu terdengar, mereka semua langsung diam. Satu diam sambil tersenyum, satu lagi tetap berbisik disusul lainnya yang memang benar-benar diam.

Ya, itu dia sang penguasa. Manajer umum kita semua! Yeay!

...tapi gagal move on.

Suka kasihan sih gue lihat si Bapak ini, tapi mau gimana?

Namanya Pak Dirga. Iya. Bapak ini yang dengan teguh dan kuat pendiriannya mengejar cinta Adinda. Salah satu sahabatku yang sudah mutasi ke gedung sebelah.

Bahkan, sampai Dinda akan segera tunangan dengan Pak Wira pun, Pak Dirga tetap masih bertahan. Bertahan sendiri maksudnya. Parahnya lagi ya, sebelum berita pertunangan tersebar, Pak Dirga masih rajin menitipkan salam melalui aku.

Parah gak sih? Padahal udah jelas ditolak gitu lho.

Siapa yang tidak penasaran alasan kenapa Adinda lebih memilih Pak Wira dibanding Pak Dirga?

"Agniii. Mau sampai kapan berdiri disini? Saya sudah mengijinkan kamu keluar ruangan. Mau ikut rapat?" Tegur Pak Dirga kepadaku.

Pak Dirga itu kalau menghadapi aku seperti menghadapi anak remaja puber. Dari caranya berbicara padaku, gesture tubuhnya saat menyuruhku dan yang lainnya. Berlawanan dengan perawakannya yang sudah-sangat-kebapakkan. Itu yang membuatku suka asal-asalan kalau berhadapan dengan beliau.

Setelah kena teguran. Aku segera tersadar dan menginjakkan kakiku keluar ruang rapat. Tiba-tiba saja Pak Kevin memanggilku dan aku menoleh di ambang pintu yang sudah sedikit terbuka.

"Mbak Agni, salam ya untuk Ayah."

"Wah, cari gara-gara nih Kevin, sob."

"Apaan? Bokap Agni—Pak Anwar—kan temen bokap gue. Makanya jangan sotoy deh."

Mampus. Terus aja bongkar pak Kevin, bongkar semuanya.

"Widiih, temen Pak Hutama? Mundur gue."

"Gue juga. Mundur teratur gue."

"Pantes, Bro. Setirannya begitu. Gak kaget gue."

Lantas aku semakin tidak ingin mendengar bisik-bisik percakapan tidak berfaedah itu dan langsung segera keluar ruangan. Selain itu, karena pandangan aneh dari Pak Dirga fokus ke arahku dan membuatku risih.

***
Hai semuaaa. Apa kabar para pembaca sekalian?

Iya. Ngerti. Pasti banyak yang bilang kalau author jahatnya kebangetan, tega gantungin cerita dsb.

Maapin ya. Manusia tempatnya khilaf.

Alasan kenapa author udah lama gak update cerita2 lama karena...buntu. Author ini gampang banget bosen.

Jadi author punya pertimbangan sendiri kalau author harus ada cerita baru lagi, supaya semangat nulis lagi, diharapkan untuk cerita lainnya juga bisa bersambung lagi.

Biasanya gitu sih soalnya hehe.

Daann, nanti author mungkin akan bikin Q&A, di dua cerita lama sebelumnya, buat 'manasin' kepala author supaya bisa cepet UP lagi. Mohon dibantu yaa *prok prok*

Sekian dan terima kasih bagi yang masih setia menunggu. Xoxo

El.

My New Year's Eveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن