Kiss Mask (J&G)

3.9K 133 6
                                    

Dia tidak semanis saat pertama kami saling mengenal. Semakin kau mengenalnya maka semua sifat alaminya akan semakin nampak. Akan membuatmu tiba-tiba merasa kesal, jengkel, bahkan sesak napas atau serangan jantung. Terkadang juga kau bisa malu karena pemikiranmu sendiri atas perbuatannya. Hal itu tergantung pada pemikiranmu sebenarnya. Dia sulit ditebak, tindakan dan lisannya sama sekali tak terduga. Minimal dia akan membuat kehilangan kamus bahasa dalam otakmu, atau suhu tubuhmu yang tiba-tiba naik sampai wajahmu memerah, atau bahkan kehilangan oksigen di sekitarmu.

Kalian harus berhati-hati, terlebih jika kalian mempunyai riwayat penyakit jantung atau asma. Jangan mendekatinya jika kalian memiliki keduanya! Dia benar-benar berbahaya, kurasa. Setidaknya itulah yang kurasakan saat bersamanya. Atau aku yang terlalu bodoh? Berulang kali masuk dalam jeratannya. Entahlah. Yang jelas, dia... menyebalkan. Dan aku terjebak dengannya dalam permainan bodoh buatanku sendiri.

Laki-laki menyebalkan itu masih berjalan dengan satu tangannya yang menyeret koper. Sedikit di belakang, aku dengan berat hati dan kaki terseok mengiringi langkah lebarnya. Sesekali kepalanya menoleh ke arahku agar berjalan menyampinginya. Salahkan kakinya ang terlalu panjang!

"Wajah kamu udah nggak merah." Itu pernyataannya.

"Tadi aku tiba-tiba flu," dan itu sanggahanku.

Dia terkekeh dengan pandangan tetap ke depan. Mengingat tingkat kepercayaan dirinya yang di atas rata-rata, aku tahu dia selalu yakin telah membuatku memerah. Termasuk kejadian di kafe bandara tadi. Tapi aku harus tetap menyangkal. Demi menjaga harga diri mukaku.

Kakiku masih mengikuti langkah lebarnya, kali ini aku berhasil berjalan di sampingnya karena Glenn tengah menggandengku. Oh, tidak... tidak. Jangan bayangkan kami bergandengan mesra dengan saling menautkan jemari tangan. Karena faktanya tangan besarnya yang bebas dari gagang koper itu malah mencekal lengan atasku seperti tengah menggiring orang sakit. Bisa dibayangkan? Betapa romantisnya kami.

Dan aku hanya bisa pasrah. Sambil sesekali membenarkan letak masker kain yang sudah kuturunkan sampai dagu. Masker yang sedari tadi kugunakan untuk melindungi mulut dan hidungku. Dan, oh... menutupi semburat kemerahan di kedua pipiku tentunya.

Dia benar, aku sudah normal sekarang. Maksudku warna pipiku. Tapi ingat, aku masih sebal. Dia yang akan pergi dan aku yang diseret-seret di sini. Terpaksa meninggalkan pekerjaanku demi mengantar laki-laki menyebalkan bernama Glenn. Padahal dia hanya pergi dua minggu untuk mengikuti seminar kedokteran—entahlah aku tidak paham—di negeri tetangga.

Aku hanya tidak bisa menolak karena ibuku yang memaksa. Aku tidak mau menambah dosa dengan membantah orang tua karena dosa dari permainan yang kubuat ini sudah sangat besar, kurasa. Ibuku sepertinya semangat sekali mengetahui akan memiliki menantu seorang dokter. Kedua orang tuaku benar-benar telah tertipu oleh permainanku dan Glenn.

Hanya dua minggu. Dua minggu tanpa Glenn. Dua minggu tanpa kata dan tawa menyebalkannya. Dua minggu tanpa perbuatan berbahayanya. Dua minggu tanpa kehadirannya yang selalu berhasil membuat hidupku terasa berbeda setiap harinya. Dan kurasa hidupku akan kembali normal untuk sementara waktu tanpanya. Ya, aku akan baik-baik saja. Selama dua minggu.

Suara peringatan keberangkatan pesawat tujuan Singapura kembali terdengar, bertepatan dengan langkah kaki kami yang berhenti di depan pintu terminal keberangkatan. Glenn melepaskan cekalannya dari lenganku. Kemudian berputar ke kiri untuk berhadapan denganku, dan membuat kepalaku mendongak untuk melihat wajahnya. Perlu diketahui, tanpa high heel tinggiku hanya sebatas bahunya.

"Mau aku telepon kalau udah nyampe sana?"

"Telepon Mama aja. Dia kan yang lebih khawatir sama kamu."

Glenn tertawa mendengar jawabanku. Padahal aku sama sekali tidak berniat melucu, karena aku berkata yang sesungguhnya. Ibuku pasti lebih mengkhawatirkan calon menantu bohongannya ini.

"Oke, nanti aku telepon mama kamu," balas Glenn setelah menghabiskan tawanya. Menyisakan senyuman yang terkesan lebih tulus di mataku. Aku suka senyumnya yang seperti itu.

Membuat sudut bibirku ikut tertarik ke atas. Entah karena kalimat balasannya atau karena lengkungan di bibirnya.

Pandangan Glenn beralih sekilas pada barisan orang-orang yang mengantri di terminal keberangkatan untuk check in, kemudian kembali menghadapku.

"Aku berangkat sekarang, ya?"

"Kamu emang harus cepet berangkat kalau nggak mau ketinggalan pesawat."

Lagi-lagi kalimatku membuat Glenn tertawa, tapi kali ini lebih singkat. Apanya yang lucu, sih?

Kulihat Glenn melepas pegangan tangannya pada gagang koper. Lalu kedua tangannya beralih pada masker yang masih bertengger di daguku, dan menaikkannya sampai batas bawah mataku. Aku mengerjap pelan menanggapi tindakannya, gagal menebak hal apa yang direncanakan dalam otaknya saat ini. Tapi... aku tetap waspada.

"Lima detik."

Aku sedang akan bertanya...

Saat gerakan Glenn selanjutnya sukses membuatku membatu. Dia menempelkan bibirnya tepat pada bibirku yang tertutupi masker. Mungkin lima detik. Kemudian melepaskannya dan langsung menarik kembali kopernya memasuki terminal keberangkatan, tanpa sepatah kata pun.

Sial. Dalam lima detik itu, tidak hanya membuat pipiku kembali memanas. Tapi juga sukses membuatku lupa bagaimana caranya bernapas. Dua kali sial.

***    

Thanks,

Love,

MissCho13

Kumpulan Cerita Pendek (Cerpen)Where stories live. Discover now