"Katya! Ya Allah, males banget sih, jadi perawan!"
Aku memutar bola mataku malas, lalu menarik selimut hingga menutupi ujung kepalaku. Suara itu masih saja mengganggu tidur siangku.
"Katya bangun! Abang bilangin Bunda, ya, nih!" katanya lagi. Kali ini tangannya menyingkap selimutku. Aku membulatkan mulut dan kedua bola mataku tak terima.
"Bang Regan! Sanaaa, keluar dari kamar aku!"
Dia−Reganiel Kafka Bramantyo−abangku satu-satunya. Kalau kalian mengharapkan Bang Regan ini adalah kakak loveable, pelukable, abangable, atau able-able lainnya, kalian salah besar. Bang Regan jauh dari itu semua. Dia nggak pernah tuh, membuatku tersanjung atau bahagia menjadi adiknya. Membuat sengsara sih, iya banget.
"Kan tadi Bunda udah nyuruh kamu buat anter-anterin nasi kotak buat tetangga-tetangga, ini malah tidur! Emang dasar, susah jodoh kamu nih, ya." Tuh, kan! Mana ada seorang kakak yang ngedoain adiknya susah jodoh? Kayaknya memang aku harus mempertanyakan status kami ke Bunda. Kali aja kami bukan saudara kandung. Siapa tau Bunda nggak sengaja nyomot dimana, gitu.
"Kenapa nggak Abang aja sih, yang nganterin? Aku kan capek tadi udah beberes kamar sama lantai dua, Abaang," aku segera merubah posisiku dari berbaring menjadi duduk bersandar.
"Dih?"
Aku merengut kesal. Mau tidak mau, aku segera turun dari tempat tidur dan mengambil kunci mobil diatas meja rias. "Nih, berangkat, nih. Puas?"
Seperti biasa, Bang Regan hanya tertawa singkat, mengacak rambutku sebentar, lalu turun kebawah. Sumpah, ini masih sebagian kecil dari ke-ngeselinan Bang Regan.
-
Aku memarkirkan mobilku di taman cluster Sydney, dan mengambil beberapa totebag dan memilih untuk berjalan menuju rumah-rumah disini. Untung Bunda cuma milih cluster Sydney, yang bersebelahan dengan clusterku.
"Rafka, kalau nendang bola itu lihat objeknya, dong! Kasihan nih, kena kakak cantik!" aku menoleh spontan. Kulihat ada anak laki-laki berjalan kearahku dengan seorang anak laki-laki lain dibelakangnya. "Kak, maafin temennya Jeje, ya. Dia namanya Rafka, enggak sengaja." Katanya lagi.
Aku tersenyum, lalu berlutut, menyelaraskan tinggi badanku dengan dia. Aku mengelus puncak kepalanya perlahan, "iya, nggak apa-apa kok. Nggak sakit juga." Aku nggak bohong, emang beneran nggak sakit. Lha, bolanya aja nggak kena badanku sama sekali. Cuma menyundul totebagku sedikit. Sedikit banget, malah.
"Rafka, sini! Minta maaf sama Kakaknya!" kata anak yang namanya Jeje itu sambil melambaikan tangannya ke Rafka.
"Enggak apa-apa kok Rafka. Bolanya nggak kena Kakak. Rafka nggak salah, jadi nggak perlu minta maaf." Kali ini aku mengelus puncak kepala Rafka yang hendak meminta maaf padaku. Ia mendongak, matanya berbinar. "Beneran, Kak? Lafka nggak salah?"
Aku mengangguk, "iya, Rafka nggak salah. Tapi tetap harus hati-hati, ya."
Aku berdiri, hendak berpamitan untuk kembali ke niat awalku ; mengantar nasi kotak ini ke beberapa keluarga yang tinggal di cluster Sydney. "Kalau gitu, Kakak pamit duluan, ya? Keburu sore. Kakak harus nganterin makanan-makanan ini."
Rafka kembali berbinar, "makanan?"
"Rafka sama Jeje tinggal disini?" tanyaku yang dijawab dengan anggukan Rafka. "Kalau gitu, Rafka sama Jeje jangan pulang kesorean, biar bisa makan makanan dari Kakak, oke?" tawarku yang dibalas dengan anggukan antusias dari dua bocah kecil itu.
"Oke!"
-
"Kat, dianter Abang nggak?"
Aku menoleh kearah Bang Regan. Cih, gayanya itu, lho. Sok keren.

ESTÁS LEYENDO
The Distance Between Us
Romance(was Between Us) we both know our love is greater than ever, right?