Dia Kembali

1.8K 148 3
                                    

"Mas bakal nikah sama kamu kok," jawab Ozy polos. Ia tak tau betapa besarnya perkataan itu. Tak tahu akibat dari janji itu. Janji seorang bocah lelaki kepada gadis kecilnya. Gadis yang selalu mengingat hal itu. Gadis yang membawa janji itu hingga ia dewasa. Gadis yang amat mengharapkan ia menepati janji itu. Janji yang terucap oleh mulut bocah polos itu, Muhammad Syahrurrozy Ad Dhafi.

Flashback off

DIFFA POV

Kenapa dia? Kenapa harus dia? Kenapa harus saat ini? Di waktu ini? Kenapa disaat aku mulai mencoba melupakan janji itu, dia kembali muncul? Kenapa dan kenapa? Astagfirullah..

Tiba-tiba, suara cempreng membuyarkan lamunanku.

"Woy Dif!" katanya.

Sontak aku terkejut dan beristighfar.
"Astagfirullah Zul! Kenapa sih hobi banget ngagetin," ucapku.

"Siapa juga yang ngagetin, kamu dari tadi dipanggil ga nyaut. Udah disikut-sikut gak gerak. Ya akhirnya teriak deh di kuping. Siapa suruh melamun aja," katanya polos tapi njengkelin.

"Ya gausah di telinga juga Zul, ntar kalau gendang telinga gue rusak gimana? Lu mau, kita tukeran gendang telinga?"

"Makanya, gausah banyakan ngelamun. Ntar kesambet. Yaudah kamu mending sekarang berdiri terus perkenalan deh, dari tadi ditungguin noh," katanya. Duh, pipiku langsung merona merah. Jadi mas Ozy eh mas Dhafi tau dong aku tadi ngelamun? Yah mati gaya dah..

"Eh, sorry bos. Btw kenalannya apa aja?" kataku lirih.

"Nama, alamat, asal sekolah, hobi, sama cita-cita," lelaki itu yang menjawab. Duh semakin mati kutu gue. Setauku sih aku tadi lirih, emang sekenceng apa sih suaraku ini? Sampe dia denger. Astagfirullah, dobel apes dah..

"Eh...i..iya mas, makasih," ucapku terbata-bata. Malu bener bro!

"Yaudah, sekarang kamu perkenalan," katanya. Aku terus menunduk.

"Eh, baik mas. Em.. Perkenalkan nama saya Diffanisa Azzahranul Kayyis, biasa dipanggil Diffa. Alamat di Perumahan Griya Syariah blok B1. Asal sekolah dari SMPIT Baiturrahman. Hobinya membaca, menulis, desain grafis, fotografi, sama editing video. Cita-citanya jadi Guru Sejarah yang Hafal Qur'an," kataku disusul koor Aamiin dari semua penghuni kelas.

"Ifa, eh maksud saya Diffa..." Aku melirik ke arahnya. Apa dia juga telah menyadarinya?

"Coba jelaskan deh, saya agak bingung. Keinginan kamu menjadi guru sejarah, tetapi hobi kamu tadi yang lebih ke multimedia, juga jurusan kamu sekarang akuntansi. Pertanyaan pertama, kenapa milih akuntansi daripada multimedia. Dan kedua, kenapa akhirnya kamu memilih menjadi guru sejarah?" lanjutnya.

Aku begitu kaget dengan pertanyaan itu. Kenapa harus bertanya seperti itu? Terkesan seperti ia ingin mengorek lebih dalam tentangku. Ah aku tak mau berspekulasi (lagi).

"Eh..em.. Jadi gini mas. Perihal hobi, saya memang hobi dengan apapun yang berbau multimedia. Ya walaupun jurusan saya akuntansi, dari awal memang saya tidak minat masuk ke jurusan multimedia. Alasannya simple, karena disana jumlah lelaki lumayan banyak. Dan saya kurang sreg dengan hal itu. Alasan kuatnya itu, meski bukan utama. Utamanya karena saya sendiri ingin bisa sedikit membantu orang tua dalam urusan keuangan sebuah yayasan yang memang mereka kelola. Itu jawaban dari pertanyaan pertama," sedikit ku beri jeda. Dengan iseng, aku melirik ke arah lelaki itu. Dia mengangguk-angguk. Sepertinya dia paham.

"Untuk jawaban pertanyaan kedua. Faktor utama saya ingin menjadi guru sejarah adalah rasa cinta saya kepada segala hal yang berbau sejarah. Dari mulai film, novel, hingga koleksi kitab taarikh yang memenuhi satu deret rak buku panjang di rumah. Selain itu, karena saya sendiri mengganggap bahwa sejarah itu penuh dengan keajaiban. Keajaiban yang pernah menghebohkan dunia pada masa silam yang mungkin tak bisa terpikirkan oleh akal sehat..." ucapanku terpotong okeh suara bass mas Dhafi.

"Maksudnya tak terpikirkan oleh akal sehat itu gimana?"

Aku terkejut sekaligus tersenyum. Terkejut dengan pertanyaan yang memotong perkataanku itu, dan senang karena mungkin inilah saatnya membuktikan kepada teman-teman bahwa sejarah itu asyik.
"Jadi gini mas, salah satu contohnya ialah pada waktu penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al Fatih.. " sedikit ku beri jeda. "Konstantinopel dahulu memang terkenal sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan dunia. Selain, itu juga terkenal dengan temboknya yang sangat kokoh. Tembok Konstantinopel mengelilingi setiap sudut kota. Hampir tak ada celah, kecuali pintu masuk ke kota yang dijaga oleh para prajurit. Ada tiga lapis tembok dengan tinggi dan ketebalan yang berbeda. Selain tembok, ada pula parit dalam di bagian terluar kota. Melihat fakta itu, tak mungkin tembok itu dapat runtuh. Buktinya, banyak pasukan yang mencoba, namun kesemuanya gagal. Itu sebelum lahirnya Muhammad Al Fatih. Anak ketiga dari sultan Murad II yang telah mengalami cobaan berat semasa kecil. Kedua kakaknya, Ahmed dan Ali meninggal karena rencana licik para musuh. Sejak kecil, telah tertanam di pikirannya untuk menaklukkan Konstantinopel. Tak pernah pesimis, bahkan disaat ia mendapat tekanan dari berbagai kalangan. Kecerdasan, kegigihan, dan semangat mudanya membuat ia dan pasukannya berhasil merobohkan tembok kokoh Konstantinopel setelah pengepungan selama berhari-hari. Sejak saat itu, kota tersebut berubah nama menjadi Islambul yang berarti menemukan Islam. Lama-kelamaan, kota tersebut dikenal dengan sebutan Istanbul hingga kini. Sekian, mungkin itu jawaban dari pertanyaan mas," tutupku. Gemuruh tepukan tangan membahana di penjuru kelas. Aku kembali melirik. Disana, terlihat mas Dhafi menunduk sembari tersenyum.

"Penjelasan bagus Diffa! Terimakasih telah menjawab pertanyaan dari saya," katanya sembari mendongakkan kepala melihatku.
Dan....
Mata kami bertemu selama sepersekian detik. Sontak saja aku menunduk. Jantungku mulai berdegup tak normal.

Ya Allah ada apa ini. Ingat Dif, dia hanya bagian dari masa kecil. Jangan mengingat kembali janji itu, jangan Dif! Itu bukan benar-benar janji. Hanya omongan bocah polos yang tak tahu menahu arti. Jangan lagi terpikirkan bahwa ia akan menepati. Jika terus terpikir, kau hanya akan menjadi perempuan yang lemah dengan hati. Jaga hatimu Dif! Jangan sampai syaitan membisiki hal tak berarti. Ingat! Dia bukan siapa-siapa lagi... Astagfirullah jaga hati hamba..

"Em..eh.. Kalau begitu, lanjut ke sebelahnya ya, silahkan perkenalkan diri kamu," suara bass itu kembali terdengar, kali ini dengan nada yang menurutku sedikit 'gugup'.

"Oh oke mas," kata Zulfa. Yap, kali ini gilirannya.

"Perkenalkan nama saya Fildzah Zulfania Ahmad, panggil aja Zulfa. Alamat sama kaya si Diffa, asal sekolahnya juga..." Zulfa berucap sekenanya, sebelum dipotong oleh mas Dhafi.

"Zulfa ya tadi. Kenalannya yang bener," kata mas Dhafi.

"Yaah.. Kan biar ringkes mas. Kan... " Zulfa mulai ngeles. Dan seperti biasa, dengan mulut dimonyongin dan muka memelas khas Zulfa.

"Udah, gausah ringkes segala, kenalan yang bener," lagi-lagi mas Dhafi memotong perkataan Zulfa. Dan bisa ditebak, semakin monyong tuh mulutnya, dikucir udah bisa kayaknya. Bikin pengen ngakak aja, yah mayan lah bisa buat meredam debaran jantungku. Thanks Zul, elu ngelawak disaat yang tepat!

"Iyadeh mas, ulangin aja deh. Nama saya Fildzah Zulfania Ahmad panggil aja Zulfa. Alamat di Perum Griya Syariah blok B1, cuman beda tiga rumah dari si Diffa. Asal sekolah di SMPIT Baiturrahman. Hobi apa yak? Saya gak punya hobi mas.." ucap Zulfa polos, disusul gelak tawa satu kelas.

"Sudah-sudah, masa sih kamu ga punya hobi. Yaudah hal apa yang jadi kesukaan kamu," tanya mas Dhafi.

"Kepoin orang mas, itu termasuk hobi kah?" Zulfa lagi-lagi berkata dengan polos, seolah tak ada yang salah dengan perkataannya. Hal ini kembali membuat gemuruh tawa kembali terdengar.

"Ya terserah kamu deh, yaudah sekarang cita-cita kamu apa coba?" mas Dhafi ternyata mulai menyerah dengan tingkah polah Zulfa. Maklum mas, harus sabar kalau sama tuh bocah, huehehe..

"Cita-cita saya jadi apa yak? Em... Jadi istrinya Anandito Dwis boleh?" segera saja, aku menoyor kepala Zulfa. Dasar bocah gendeng! Plis dah Zul..

"Em.. Yaudah deh, terserah kamu. Lanjut aja deh," mas Dhafi benar-benar menyerah menghadapi si Zulfa yang memang sering bikin naik pitam. Yah tapi, gitu-gitu dia temen eh sahabat yang bener-bener setia. Langka memang, dan sifat itu lah yang selalu menghiburku. Sifat itu pula yang membuatku sadar, bahwa tak ada gunanya mengharapkan sebuah janji. Sifat yang membuatku sempat hampir berhasil melupakan janji itu. Ya.. Sedikit lagi aku berhasil, sebelum dia datang kembali dengan tiba-tiba....

Diffanisa! Où les histoires vivent. Découvrez maintenant