Prolog: a family

2K 225 21
                                    

Akkira (Kia)

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Akkira (Kia)

Menjadi sangat lucu jika harus menceritakan bagaimana pertemuan pertama gue dengan Aksa. Segalanya dimulai dari umur kami masih balita. Atau bahkan bisa jadi pertemuan pertama kami justru dimulai sejak kami masih menjadi embrio di rahim ibu masing-masing. Orang-orang terdekat bahkan menyebut kami sebagai saudara kembar. Tapi, itu semua tidak semata-mata terjadi begitu saja. Ada kronologi panjang yang satu-persatu terjadi sebelum akhirnya kami secara resmi menjadi saudara satu atap.

Semua berawal dari gue sebagai anak dari single parent. Duda ganteng yang dari gua pertamakali belajar ngomong sampai segede ini selalu gue panggil Papi. Gue tidak ingat kapan jelasnya sejak Mami meninggalkan gue dan Papi untuk selama-lamanya. Jujur, gue bahkan tidak ingat bagaimana wajah Mami secara langsung jika tidak melihatnya di sebuah bingkai foto. Satu-satunya memori yang gue ingat, yang pernah Papi ceritakan, umur gue saat Mami meninggal adalah lima tahun. Beliau meninggal karena penyakit komplikasi yang dideritanya.

Gue yang saat itu masih terlalu kecil saat ditinggalkan oleh Mami pada akhirnya selalu dititipkan ke tetangga gue, yang notabennya adalah Ibu dari Aksa. Karena kakek dan nenek gue dipihak Papi tinggal di Australia, sedangkan Nenek dan Eyang gue dipihak Mami ada di Yogyakarta, yang bahkan saat itu sedang sama repotnya mengurus Eyang yang sedang sakit. Membuat Papi tidak sampai hati untuk menitipkan gue disana.

Akhirnya, gue selalu menghabiskan lebih dari separuh waktu gue bersama Ibu, karena kami memang bertetangga dan gue sudah berteman dengan Aksa sejak kami masih minum ASI. Gue dan Aksa bahkan masuk PAUD yang sama, TK hingga SD yang sama. Ibu adalah orang paling berjasa dibalik pertumbuhan kami berdua.

Tiga tahun kemudian, berita duka kembali menghampiri kami. Ayah dari Aksa meninggal karena terlibat kecelakaan saat dinas di luar kota. Saat itu, gue sudah paham apa yang namanya terluka, karena gue bisa merasakan duka Ibu dan Aksa. Semua itu karena hampir tiga tahun gue menghabiskan waktu bersama keluarga Ibu. Gue juga merasa kehilangan dan masih tidak percaya. Namun, gue sangat salut pada Ibu karena dia cepat bangkit. Ibu dan Aksa memilih melanjutkan hidup dan tetap tinggal, mengurus bisnis kue dan kafe yang sudah dijalankannya.

Gue dan si Papi yang masih menduda. Ibu dan Aksa. Kami menjalani kehidupan sehari-hari lagi seperti biasanya. Hingga pada suatu malam, satu tahun setelah Ayah Aksa meninggal, Papi membuat suatu keputusan yang mengejutkan kami.

Aksara (Aksa/San)

Kia benar. Malam itu, Oom Hadi (Papi) membuat suatu keputusan yang benar-benar mengejutkan kami. Pukul 9 malam, saat beliau pulang dari Kantor, masih dengan kemeja dan jas yang tersampir, ia melakukan rutinitas seperti biasanya yaitu menjemput Kia di Rumah gue. Saat itu, dua kalimat yang diucapkannya hingga kini masih terus gue ingat.

"Bukankah lebih baik kita saling menjaga dan melengkapi apa yang hilang, Ra?" kata beliau, menyebut nama Ibu gue, Mira. Gue dan Kia saat itu hanya saling berpandangan tidak mengerti, kemana arah pembicaraan orang dewasa ini. Hingga kemudian, kalimat kedua yang beliau utarakan kepada kami akhirnya dapat dimengerti.

Somewhere Only We KnowDonde viven las historias. Descúbrelo ahora