one : those green eyes

2.4K 241 113
                                    

"Baiklah bibi, aku akan menutup panggilannya. Selamat malam."

Sambungan terputus, menampilkan waktu durasi lamanya perbincangan mereka. Tiga puluh menit sepuluh detik. Mungkin menurut Elise, ini adalah waktu terpanjang dari sekian bibi(Sarah) menghubungi dirinya. Tidak ada hal penting yang di bicarakan di telephone tadi, mungkin terdengar penting bagi wanita paruh baya yang terlihat masih muda itu, namun menurut Elise, ini tidak penting sama sekali.

Elise menatap jam yang tertera di layar ponsel, disana menunjukan pukul sepuluh lewat lima belas. Awalnya, Elise mencoba untuk tertidur, namun ia menggurungkan niat ketika ponselnya berdering keras disamping nakas. Mau tidak mau Elise harus mengangkatnya.

Meletakan kembali ponsel seperti semula. Elise mencari posisi senyaman mungkin untuk melanjutkan kegiatan tidurnya yang sempat terganggu. Gadis itu mengingat sesuatu, ia harus bangun pagi-pagi buta untuk mengantar Max ke sekolahnya.

Baru saja Elise menutup kedua mata, seseorang dari luar mengetuk pintu kamar dengan lembut. Elise menghembuskan napas kasar sambil memutar kedua bola mata.

Cklek.

Suara pintu kamar yang dibuka, membuat Elise menoleh. Kepala milik Max mulai terlihat, disusul tubuh mungilnya. Tanpa sapaan atau salam pembuka, Max masuk kemudian menutup pintu kamar dari dalam.

"Max, kau tahu sekarang pukul berapa?" Elise menatap adik laki-lakinya dengan heran. Tidak biasanya Max masuk kedalam kamarnya jika bukan ada hal yang begitu penting dan memang harus dibicarakan hari itu juga.

Max menunduk, memperhatikan kedua kaki munggilnya. "Dad." Pria kecil berusia hampir 8 tahun itu bergumam.

Elise turun dari ranjang kemudian menghampiri Max. "Ada apa dengan Dad?"

Max menggeleng, ia masih belum mengangkat wajahnya. Ada satu hal yang Max sembunyikan, Elise tahu akan hal itu.

"Katakan padaku ada apa dengan Dad?" Elise menggulang pertanyaan awal. Namun Max hanya diam, ia seperti ketakutan.
Elise menghembuskan nafas kasar sebelum akhirnya memegang kedua bahu adik kecilnya. Elise paham jika Max sedang ketakutan, ia hanya diam lalu terkadang menangis. Untuk saat ini mungkin Max tidak menangis. Syukurlah.

"Baiklah jika kau tidak ingin beri tahu, naiklah keranjang. Kau akan tidur bersamaku malam ini."

-AFRAID-

"Bisakah kau diam jalang?!kau sama saja seperti ibumu!"

Elise memijat kedua pelipis, kata-kata Ayahnya sangat membekas di benaknya. Ia sudah terbiasa mendapat kata-kata yang tidak wajar dari Charles (Ayah Elise). Semenjak Charles berpisah dengan Laura (Ibu Elise), Charles menjadi semakin kasar terhadap Elise ataupun Max. Belum diketahui penyebabnya mengapa Charles begitu berubah, padahal ia adalah lelaki yang sangat lembut sebelum mereka berpisah.

Sudah tiga tahun lamanya Charles dan Laura berpisah, dan juga sudah tiga tahun lamanya Elise dan Max tidak bertemu dengan Ibunya. Elise sangat merindukan Laura begitupun dengan Max, Elise tidak mengerti mengapa Charles sangat membenci Laura. Meskipun Elise tahu ia juga sama halnya dengan Charles. Elise mengerti, perbuatan Laura kala itu adalah hal yang tidak pantas, mengingat Laura sudah mempunyai seorang pendamping dan dua orang anak (Elise dan Max).

Laura menyesal, meskipun ia sudah mengaku bersalah dan meminta maaf kepada Charles. Charles tetap pada pendirian, ia tidak mau memaafkan Laura. Charles sudah sangat kecewa, begitupun juga Elise. Namun kekecewaan Elise terhadap Laura terkalahkan dengan rasa sayangnya.

Elise sering bertanya kepada Charles mengapa mereka berpisah secara tidak baik, namun Charles hanya menanggapinya sebagai angin lewat. Bukannya Charles tidak ingin Elise mengetahuinya, ada hal yang memang tidak harus Elise ketahui. Belum waktunya Elise mengetahui tentang hal itu.

AFRAIDWhere stories live. Discover now