Chapter 3

2.5K 258 4
                                    

Gadis itu baru terlihat sangat lelah. Langkahnya tidak beraturan lantaran kakinya yang sudah cukup lelah karena seharian penuh beraktifitas. Angin malam berhembus kencang. Seragam sekolahnya tidak bisa melindungi hawa dingin itu untuk tidak mengenai kulitnya. Jaket varsity yang ia pakai pun tidak cukup hangat baginya.

Getaran dari ponselnya menyadarkannya.

From : Seulgi
Hei jangan lupakan pr-mu!

Ah hampir saja ia lupa. Pr fisika itu harus dikumpulkan besok. Ia menghela nafas sembari memasukan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mempercepat langkahnya untuk segera tiba dirumahnya.

"Eomma, Appa, aku pulang!" teriaknya sesaat setelah ia membuka pintu rumahnya. Matanya otomatis membulat terkejut saat didapatinya ibunya tengah bercumbu dengan seorang pria. Di ruang tamu. Ya, di ruang tamu. Gila bukan?

Ibunya terkejut dan refleks mendorong bahu lelaki asing itu. Irene segera ke lantai atas menuju kamar ayahnya. Dan alangkah terkejutnya saat didapati ayahnya tergeletak lemah tak berdaya. Mata ayahnya terpejam. Irene tidak bisa menahan air matanya. Ia segera menelepon ambulans untuk meminta pertolongan.

Tega sekali.
Ibunya sangat tega. Bagaimana bisa ini terjadi? Ayahnya menderita penyakit seperti itu dan ibunya justru dengan asiknya berselingkuh. Dunia ini sangat gila.

Pikiran Irene berkecamuk. Ayahnya yang ia sayangi. Yang merawatnya dengan sabar sedari kecil. Kebahagiaannya seakan hancur. Hatinya hancur karena ketegaan ibunya.

Dan malam itu menjadi malam terburuk bagi gadis cantik itu. Ayahnya menghembuskan nafas terkahir sesaat setelah ambulans mereka tiba di rumah sakit. Tangisan Irene berubah menjadi raungan. Dan mulai detik itu ia meragukan hal yang dinamakan "Cinta".

Air matanya menetes mengingat kejadian itu. Alasan kebenciannya pada ibunya. Alasan ia lebih memilih tinggal di rumah pribadi milik Appanya. Ia sudah memutuskan untuk tidak menganggap ibunya itu ada. Satu-satunya orang yang paling layak ia salahkan akibat kematian ayahnya adalah ibunya.

"Bagaimana anda bisa setega itu? Ayah saya sedang sakit keras. Anda justru berselingkuh?" Irene sudah tidak mau memanggil wanita itu dengan panggilan "eomma".

"Eomma tidak tahu bahwa a-" belum selesai ucapanya sudah dipotong oleh emosi gadis itu.

"Anda bukan ibu saya. Dan terimakasih atas kejutan ini." Gadis itu pergi dari hadapan ibunya dan beralih pada neneknya yang sedang menangis. Neneknya terlihat rapuh.

Ia melirik ibunya sejenak. Wanita itu menangis bersama dengan pria asing disampingnya yang merangkulkan lengan pada bahu ibunya itu.

"Sandiwara." batin gadis itu.

Ia muak. Hidup ini baginya memuakkan. Ibunya sendiri sudah melukai hatinya. Menghancurkan hatinya. Ia hanya punya neneknya yang begitu ia cintai hingga saat ini. Cukup hanya ia dan neneknya di rumah ini sudah cukup baginya. Ia tidak butuh perhatian dari orang yang disebut ibunya itu lagi.

Memang setelah peristiwa itu ia dan neneknya memutuskan untuk pindah ke rumah pribadi milik ayahnya. Rumah dimana sewaktu libur musim panas ia selalu menghabiskan liburan disana. Dan semenjak saat itu, ia bisa menghidupi dirinya sendiri dan hidup neneknya melalui asuransi peninggalan ayahnya dan usaha toko roti neneknya. Hidup dalam kepahitan membuat pribadi gadis itu berubah. Ia tak lagi menjadi murid penurut. Ia suka berulah dan menjadi pemalas. Berkali-kali neneknya mendapat surat panggilan. Ia tahu terkadang neneknya sedih karenanya. Namun gadis itu tetap mengeraskan hatinya.

"Sayang, buka pintunya." suara seseorang dibalik pintu kamarnya menyadarkan lamunan sedihnya. Ia mengusap kedua bilah pipinya untuk menghapus jejak air mata disana.

immature ◆ sureneWhere stories live. Discover now