Sasuke

1.4K 121 8
                                    

"Itachi,

Hari ini aku bertemu orang bodoh. Ia berenang di sungai dengan pakaiannya tergeletak begitu saja di pinggiran sungai. Pantas saja kemejanya hanyut terbawa arus. Aku masih heran mengapa aku bisa jatuh kasihan kepadanya sehingga aku bergerak menolongnya untuk  mengambilkan kemejanya.

Besok aku akan mengirimkan puisiku ke kantor surat kabar. Jika terpilih, puisiku akan dimuat dan diberi honor. Akhirnya aku memilih untuk melakukan ini demi membiayai pengobatan Ayah.

Itachi,

Apakah benar bahwa untuk sukses di dunia ini, kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri? Beberapa penerbit yang menolak karyaku beralasan bahwa puisi-puisiku terlalu gelap untuk dinikmati semua kalangan. Dan hal itu akan mempengaruhi penjualan. Apa aku beralih saja ya ke genre romansa anak muda?
Yah, aku benci saat-saat di mana aku harus mempertimbangkan idealismeku seperti saat ini.

Itachi,

Aku masih saja merasa bersalah padamu. Sampaikan kepada para dewa bahwa aku siap menerima ganjarannya sebesar yang Ia inginkan.

Tabik,

Sasuke"

Sasuke meletakkan buku hariannya di atas meja begitu saja tanpa ditutup. Akhir-akhir ini, buku hariannya terisi oleh surat-surat kepada mendiang kakaknya yang ia harap dapat ia layangkan langsung ke surga sana. Kakaknya meninggal dunia karena melindungi Sasuke dari kecelakaan lalu lintas setahun yang lalu. Sejak saat itu, Sasuke menjadi trauma dan memilih untuk jalan kaki ke manapun. Jika jaraknya jauh sekali, baru ia akan naik kendaraan, asalkan bukan sepeda motor.

Lelah karena mengetik sehari-hari, Sasuke tertidur di meja kerjanya.

Alarm meja Sasuke berdering sangat keras. Dengan malas, Sasuke meraba-raba meja kerjanya. Tertidur di meja kerja membuat lehernya sakit. Sasuke beranjak dari kursi untuk mandi.

Setelah mandi, Sasuke memasukkan naskah-naskah puisi yang sudah tercetak rapi di dalam satu map. Map itu kemudian ia masukkan ke dalam tas ransel hitam.

Mikoto, Ibu Sasuke, sudah membuatkan omelette untuk sarapan. Sasuke memilih untuk membawanya agar dapat ia makan selama di perjalanan. Namun, setelah ibunya bersikeras bahwa tidak baik untuk makan sambil berjalan, Sasuke duduk di ruang makan dan menyantap sarapannya dengan cepat.

"Sasuke," panggil Mikoto.
"Iya, Ibu?"
"Kau masih terlihat pucat saja."

Sasuke tidak membantah dan mengiyakan, hanya terdiam seribu bahasa. "Ibu," ujar Sasuke pelan, "Sore nanti aku akan ke makam Kakak."

Ibunya hanya tersenyum dan mengangguk.

Sasuke berpamitan pada ayahnya yang tergolek lemah di tempat tidur karena sakit keras yang dideritanya, berharap tuah dari restunya. Dengan langkah tegap dan cepat, Sasuke keluar dari rumah menuju kantor surat kabar.

Saat Sasuke tengah berjalan kaki menuju kantor surat kabar, sekonyong-konyong ada sesuatu yang terasa panas seperti meleleh di kemejanya.
Kopi?
Di depannya tengah berdiri seorang gadis bermata hijau yang ternganga memperhatikan kemejanya. Kemudian gadis itu berpaling dari kemejanya dan menatap matanya. Dan kemejanya lagi. Dan matanya lagi.
"Hai!" Hardik Sasuke. "Hati-hati dong kalau berjalan!"
Gadis yang dihardik merasa ketakutan dan gemetar, kemudian berujar, "Ma-maaf.... A-Aku benar-benar tidak sengaja! Mari kita ke binatu, akan aku bayar ongkos pencuciannya!"

Air muka Sasuke mengeras. "Tidak usahlah, Nona," desis Sasuke, "Aku sedang buru-buru."

Sasuke melenggang pergi meninggalkan gadis yang mengenaskan itu, yang masih berdiri sambil memegang cangkir kertas berisi kopi.

"Huh, rambutnya pink lagi.... Aneh sekali," ujar Sasuke pada dirinya sendiri.

Kesialan Sasuke di hari itu tampaknya belum selesai. Redaksi surat kabar menanggapi kedatangannya dengan dingin dan mengembalikan naskah cerita pendek yang dulu pernah ia kirimkan. Pimpinan Bagian Seni bilang bahwa Sasuke harus mengganti banyak bagian. Terlalu gelap lah, dingin lah, tak layak konsumsi lah, pokoknya segala macam kata-kata negatif didaratkan pimpinan tepat ke muka Sasuke.

Sasuke menyerahkan naskah puisinya yang baru. Ia berjanji bahwa meskipun masih mengangkat tema yang sama, puisinya ini lebih ringan untuk dibaca. Pimpinan Bagian Seni hanya menerima naskah Sasuke tanpa bicara lagi.

Dengan langkah gontai, Sasuke melanjutkan perjalanannya menuju makam kakaknya di suatu pekuburan umum di pinggir kota. Tak lupa ia terlebih dahulu membeli bunga di tukang bunga dekat pekuburan.

Bagi orang lain, pekuburan merupakan tempat yang menyeramkan, namun tidak dengan Sasuke. Sasuke justru menemukan pekuburan sebagai tempat yang dapat menentramkan hatinya. Bayangkan, kakaknya dapat dengan tenang beristirahat di tempat yang rapi dan penuh dengan bunga-bunga. Akhir yang begitu menyenangkan.

Hal yang aneh bila Sasuke menemukan bahwa senja di makam kakaknya adalah salah satu senja yang terindah. Sasuke berkeinginan untuk mengabadikan momen ini dalam sebuah puisi melankolis.

Ia mulai mencoret-coret buku notes-nya.

Perjalanan matahari kembali ke peraduannya sungguh suatu anugerah
Dengan hadirnya senja
Memberikan janji akan pagi berikutnya
Oh Dewata, simpanlah citra ini setidaknya untukku seorang

Sasuke memejamkan mata sejenak, mencoba merangkai kata di dalam kegelapan pandangnya.

Tidak dapat kupungkiri bahwa hijau zamrud adalah warna baru yang kusukai
Apalagi itu matamu, wahai dara

Sasuke mengerutkan keningnya. Kata-kata itu tersusun sendiri tanpa kehendaknya. Kemudian, gadis yang menabraknya tadi pagi tiba-tiba menghampiri benaknya.

Ah, apa-apaan ini, batin Sasuke.

Pipi merona bak senja yang selalu kusukai
Kurasa hadirnya kamu adalah senja di musim semi,
Hai Gadis Sakura

Sial, batin Sasuke lagi, Kenapa sajakku jadi gombal begini?

Sasuke tidak menyangka ia barusan menciptakan frasa "Gadis Sakura" berdasarkan gadis menyebalkan yang ia jumpai tadi.

Sasuke pikir ia telah benar-benar gila.

-Bersambung-

Connected [Fanfiksi NaruHina dan SasuSaku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang