Sasuke's point of view
Pancaran mata Iruka-sensei begitu terang sejak kami memanggilnya untuk duduk bersama kami. Sekali melihat, aku dapat mengira-ngira apa yang ada di kepalanya. Ia penasaran dengan Naruto yang sekarang.
"Gomen, Sensei. Aku tidak menghubungimu lagi sejak pindah ke Tokyo. Aku bekerja serabutan saat itu. Kau tahu, Sensei? Saat itu aku benar-benar menyesal membuang waktu sekolahku selama dua tahun." Ia mulai mengoceh lagi. Naruto masih suka berbicara dengan mulut penuh, tapi tadi ia menelan dulu kunyahannya baru mengutarakan kalimatnya.
"Kau baru menyesal setelah tiga tahun!?" pekik Iruka-sensei dengan suara yang ditinggikan. Naruto kembali cerah, seolah ada cahaya di belakangnya yang ditangkap oleh Iruka-sensei. Perkataan Iruka-sensei hanya dibalas oleh tawa renyahnya. Tidak bisakah ia berhenti bersikap seperti itu?
Bodoh tetap saja bodoh. Baka-Naruto.
Tapi bagaimanapun, harus aku akui, Naruto jauh lebih pintar dariku, atau bila tidak bisa dikatakan pintar, ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
"Dasar kau ini. Aku pikir otakmu berkembang, ternyata hanya tubuhmu yang membesar." Iruka-sensei mulai mengejek Naruto. Ia tampak seperti anak muda, seperti seumuran dengan kami tanpa melupakan fakta bahwa kerutan di matanya sangat jelas. Kentara sekali kebahagiaannya dan rasa kagumnya pada kami berdua, terutama pada Naruto.
Siapa yang tidak bahagia melihat anak didiknya yang dicap gagal oleh orang-orang, sekarang tampak mengagumkan meski hanya dengan jersey dan jins belelnya itu. Naruto memang tidak mengenakan setelan pakaian resmi sepertiku karena ia bukan pekerja kantoran. Akan tetapi wajah cerahnya seolah mengatakan 'aku bahagia menjadi diriku sendiri'. Sangat kontras dengan apa yang ia alami saat masih di sekolah dasar.
•••
Orang Tua Kedua
Chapter 3: Pusat Perhatian
•••Ayahku adalah seorang perwira angkatan laut. Kakak pertamaku, Shisui masuk akademi angkatan udara dan kakak kedua, Itachi masih sekolah. Tahun depan ia akan kuliah, menjadi dokter dan membantu pekerjaan Shisui, katanya. Aku adalah anak terkecil dan sering tidak dapat mengikuti apa keinginan ayahku. Secara umum, ayah adalah orang yang keras, sedangkan ibu mengimbangi dengan menjadi sosok terlembut dalam hidupku.
Aku cengeng, pemalu dan paling manja dengan ibuku, sedangkan kakak-kakakku adalah orang-orang yang nyaris sama kerasnya dengan ayah. Mereka memang menyayangiku dan aku menjadi tumpuan kasih sayang mereka. Akan tetapi ayah tetap memperlakukan aku sama kerasnya terhadap kakak-kakakku.
Intinya, aku berbeda dari kakak-kakakku.
Aku sekolah di sekolah negeri yang biasa saja. Semua anak dapat bersekolah di sini asal cukup umur dan tentu saja dapat membayar iurannya yang sebenarnya sangat murah. Murid-murid di sini sangat homogen meskipun tidak ada persyaratan tak tertulis seperti harus anak orang kaya atau anak pejabat.
Aku sulit untuk berkomunikasi dengan kawan-kawanku. Bukannya tidak bisa, tetapi aku tidak ingin. Aku lebih suka menyendiri, membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan atau buku kakakku. Buku yang aku baca tentu bukan bacaan berat seperti biografi Erwin Rommel milik ayah atau buku tentang mesin diesel milik Shisui. Aku tetap membaca buku cerita anak-anak dan buku pengetahuan untuk anak seusiaku.
Tetapi ada sesuatu yang tidak aku mengerti.
Hari itu adalah pengalaman pertamaku berinteraksi dengan orang lain dalam waktu yang cukup lama. Tidak terlalu baik, sangat buruk malah.
Pagi hari beberapa menit sebelum bel masuk, lima orang anak menyeretku di bukit belakang sekolah. Mereka dengan seenak jidat menarik kerah baju dan mendorongku hingga jatuh. Belum sempat aku bertumpu di atas lutut, kelima orang itu sudah mengelilingiku. Seorang murid dengan tubuh besarnya berdiri tepat di hadapanku, sedangkan kawan-kawannya mengurung dalam lingkaran setan mereka.

YOU ARE READING
Shōgakusei
Fanfiction✔ Seorang guru Ilmu Sosial yang masih junior mendapat amanah besar dengan hadirnya Naruto yang dua kali tidak naik kelas. Nakal dan suka melawan, tetapi yang namanya anak-anak pasti memiliki problematikanya sendiri. Apalagi sekarang sudah kelas 6, y...