2

131 2 14
                                    

"Aku- percaya!" Ucap Red tiba-tiba. Dia tidak ingin pembicaraan mereka terhenti.

Seakan mengetahui maksudnya, Ivy pun tertawa kecil. "Hei, tidak perlu terburu-buru. Kita baru saja bertemu."

"Tidak, aku percaya. Buktinya kau sudah membantuku. Itu sudah cukup untuk menunjukkan kau orang baik."

"Haha. Kau bisa saja. Kalau begitu nanti ceritakan padaku. By the way, kau kelas berapa? Aku ke kelasmu, bagaimana?" Tanya Ivy sambil merapikan bekas pengobatan tadi.

"A-aku sophomore. Kau?" Jawabnya sambil memperhatikan Ivy.

Sesaat Ivy berhenti dari kegiatannya dan berbalik menghadap Red. "Pantas aku tidak pernah melihatmu disekitar kelasku. Aku senior, Red." Jawabnya tersenyum, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti.

"Ternyata senior. Maaf karena tidak sopan padamu, Kak." Sesalnya.

Ivy kembali ke hadapannya setelah selesai merapikan. "Tidak apa. Aku tidak gila hormat, Red."

"T-tapi tidak sopan kalau tidak memanggilmu kakak."

Mendengar nada gugup Red, Ivy membelai pipi kiri Red. "Baiklah, panggil kakak jika ada orang lain disekitar kita. Tapi, saat hanya kau dan aku, panggil namaku. Jangan sungkan. Aku tidak suka. Kita akan berteman. Jadi, jangan membuat jarak."

Red gelisah karena telapak tangan Ivy dipipinya, dan bertambah gugup mendengar ucapannya.

"Ok, Baby?" Tanya Ivy memastikan.

"Kakak memanggilku Baby?" Tanya Red heran.

"Wah. Nakal sekali. Sudah kukatakan jangan memanggil kakak saat hanya berdua. Nah, aku adalah senior, aku bebas melakukan apapun padamu. Dan, kau harus patuh dengan apapun yang aku katakan. Paham?" Ivy berniat mengerjai Red.

"Kenapa? Eh, aku- harus patuh padamu?" Red kaget mendengar penuturan Ivy.

Ivy merasa umpannya mengena, diapun menyusup disela kedua kaki Red. Red yang terkejut dengan perlakuan Ivy pun kontan terpekik. "Eh!"

Ivy merasa lucu dengan sikap gugup Red. Diapun menyentuh kedua pipi Red.

"Ingat, kau pasienku. Patuhi apa kata dokter. Paham? Ayo, sebut namaku!"

"P-paham. Iv-Ivy."

Ivy merasa Red sangat menggemaskan. "Ugh. Cutie!" Seru Ivy menggelitik perut Red.

"Ah!" Sentuhan Ivy sepertinya mengenai bekas pukulan Fred, dia refleks menjerit kesakitan.

"Is that hurt?" Tanya Ivy meringis.

"Sedikit. Tidak apa. Nanti pasti sembuh seperti yang dipipiku, Ivy." Jawab Red menekan nada suara saat menyebut namanya.

"Jadi kau dipukul diperut juga? No! No! How if, it's gonna get infection?" Jelas sekali Ivy terlihat khawatir.

"It's fine. I'm gonna make it. Don't worry." Red tetap dengan pendiriannya.

"No, you're not! Open it! I wanna see it!" Ivy yang kelihatan kesal mulai memaksa Red membuka bajunya. Sampai Red nyaris tertidur di tempat tidur.

"Jangan!" Red menolak dengan keras dan berusaha kembali duduk.

"Kenapa? Kau bilang percaya padaku. Kenapa tidak menunjukkannya padaku? Fine! Aku sudah tahu! Tidak perlu menunggu. Pasti Fred dan teman-temannya yang membullymu, kan?" Tebak Ivy tepat sasaran.

"How- Bagaimana kau tahu? Aku bahkan belum menceritakannya." Red heran dengan tebakan Ivy yang seratus persen benar.

"Baby, kau terlalu transparan. Aku bisa membacamu. Lagipula, yang berani membully anak lain hanya Fred dan temannya. Dan bahkan, kau bukan yang pertama."

Chocolate LoveWhere stories live. Discover now