Chapter 11

19.6K 950 8
                                    

FOREWORD: Penulis amatir. Bacaan ini diperuntukan kepada pembaca berumur 18+. Tulisan ini mengandung sexual content, strong language, dan violence. Jika ada kesamaan nama, tempat, atau jalan cerita itu hanya kebetulan semata. Apologize in advance jika terdapat typo, kesalahan pemilihan diksi, ejaan yang salah dan penulisan yang tak rapi. Bacaan ini dibuat untuk menghibur. Just read and enjoy~

Just read & enjoy~

***

            Giavanna kagum dengan penata rambut di salon ini. Rambut Giavanna yang awalnya kelihatan kusam sekarang terlihat lebih ..cokelat dan tampak sangat lembut. Pantas saja rambut Alexander kelihatan sangat mengilau dari jarak jauh. Giavanna melirik jam tangan yang ia pakai, sudah jam  3 sore dan ia tidak memiliki ponsel di tas kecilnya. Bagaimana bisa Giavanna melupakan benda terpenting dalam pekerjaannya? Siapa tahu Justin akan menghubunginya. Dan, ya, kali ini Justin yang menang. Giavanna tak akan mempunyai bukti jika bertanya-tanya pada Arthur tentang hubungan mereka lagi. Ponselnya tertinggal di kantor dan mungkin, Justin tidak akan mengambilnya jika ia datang menjemput mereka berdua di salon. Setelah melihat dirinya dari pantulan cermin, Giavanna melirik Arthur yang terduduk di atas sofa. Sofa itu untuk menunggu pelanggan lain keluar atau pria yang sedang menunggu kekasihnya. Arthur sekarang sudah tampak lebih tampan. Gadis-gadis di luar sana pasti menyukai Arthur. Rambutnya diberi gel sehingga rambutnya sekarang lebih rapi.

            Arthur tampak murung. Mungkin karena Alexander tak kunjung datang ke salon. Yah, siapa tahu Justin memberitahu Alexander agar tak datang ke salon karena ada Giavanna di sini. Tentu Alexander tak ingin pipinya memerah padam akibat malu yang ia dapatkan. Alexander pria tampan dan kelihatan sangat garang tetapi pergi ke salon? Oh, beri Giavanna waktu berpikir! Itu sangat konyol dan memalukan. Justin juga tak mungkin ingin membuat Alexander malu di depan Giavanna secara langsung. Giavanna duduk di sebelah Arthur lalu mengikuti gaya duduk Arthur. Bibir Arthur mengerucut, kedua tangannya ia lipat di atas dadanya, lalu ia mendengus.

            "Mengapa dad Alex tak datang? Aku sudah menunggunya, dia sudah berjanji padaku, kau tahu," dengus kesal. Giavanna menghela nafas panjang, seolah-olah ia juga kesal mengapa Alexander tak datang ke salon. "Dan kenapa daddy tak menjemputku sekarang? Aku ingin bermain di rumah,"

            "Ya, aku juga kesal dengan dad Alexander. Kenapa ia tak datang? Andai ia datang, kita pasti akan bercerita-cerita tentang ayahmu atau kau di sekolah," ucap Giavanna mendecak kesal juga. Arthur hanya menyahut, bibirnya kembali mengerucut kesal. Kepalanya menyandar di lengan Giavanna. Ia sangat bosan jika harus menunggu seperti ini. Jika ini sekolah, ia pasti tidak akan bosan karena di sekolah ada arena permainan. Sedangkan di salon, apa yang bisa Arthur mainkan? Pengering rambut? Konyol.

            "Aku bosan, Gigs," bisik Arthur memejamkan mata. Lebih baik ia tidur. "Bangunkan aku kalau daddy sudah datang," ucap Arthur memeluk lengan Giavanna. Pegawai-pegawai salon yang melihat Arthur tersenyum akan kelucuan anak ini. Bahkan beberapa di antara mereka berpikir Giavanna adalah pacar ayah Justin. Giavanna tak seperti Alexander—orang yang sering menemani Arthur—jika di salon. Perempuan itu jarang sekali menjawab pertanyaan orang-orang yang mengurusi rambutnya. Sedangkan Alexander begitu terbuka. Jiwa Giavanna dan Alexander seolah-olah tertukar. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Giavanna ikut memejamkan matanya. Mungkin menunggu seperti orang bodoh sekali-kali tak akan merugikannya.

            Entah mengapa saat Giavanna memejamkan matanya, bayang-bayang wajah Justin muncul. Ia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Justin hari ini. Ia tampak begitu kesal bila ada orang lain mendekati Giavanna. Tetapi di saat yang sama, Justin sedang menjatuhkan Giavanna. Sesungguhnya, Giavanna ingin tahu sekali, apa penyakit Justin sebenarnya? Jika ia gay, Giavanna berusaha untuk menghargainya. Tetapi, apakah seorang gay berani mengecup bibir perempuan? Kalau dipikir, mereka bisa mengecup bibir perempuan jika mereka dibayar. Contohnya, pemain film gay harus berani mencium bibir perempuan jika sutradara meminta ia berciuman. Tetapi Justin, dengan alibi yang tak masuk akal, ia mengecup bibir Giavanna. Pria itu sangat membingungkan dan sulit untuk diikuti. Bahkan Giavanna tak pernah berpikir ia akan bertemu dengan pria serumit ini. Mungkin karena masa lalunya yang buruk membuat Justin seperti ini. Ia sebenarnya orang yang sangat baik. Lihat bagaimana cara Justin memperlakukan Alexander, ia tampak sangat menyayangi kekasihnya. Awal pertemuan mereka, Giavanna menyukai Justin. Giavanna harus akui itu, tetapi semuanya berubah ketika pria itu bersikap begitu sombong. Sampai sekarang pun, pria itu masih tetap bersikap sombong.

Perfect TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang