Semarang, 30 Juni 2017

743 43 5
                                    

Hari terakhir di bulan Juni tahun 2017 memintaku untuk mengambil keputusan. Bukan karena sebuah ketidakpastian melainkan kedatangan mereka seperti kilat yang menyambar, kilat itu memaksaku untuk memilih segera.

Sekitar pukul tujuh pagi tadi Radit datang ke rumah saat aku sedang memasak di dapur. Iya memang aku merasa senang, karena sebelumnya kami hanya bertemu lewat panggilan video saat dia sibuk dengan tesisnya. Meninggalkan urusan dapur aku menemaninya di ruang tamu, duduk besebelahan di sofa panjang.

Dia sempat bertanya kepadaku mengenai kesiapanku menjadi dokter muda yang akan aku jalani senin depan. Ya, aku hanya mengangguk, aku tidak bisa mengontrol detak jantungku ketika duduk bersebelahan dengannya. Aku belum menemukan jawaban kenapa jantungku bertindak seperti itu.

"Aku bersyukur ada kesempatan datang berkunjung ke rumah kamu. Maaf aku tidak membawakan apa-apa. Tadi banyak toko yang masih belum buka, mungkin aku terlalu pagi untuk berkunjung." Radit menatapku dengan santai sedangkan aku mulai ragu dan ketakutan dengan tatapannya. Ketakutanku waktu itu bukan tanpa seban melainkan aku takut jika jantungku meledak .

"Iya tidak apa," jawabku. "Tesis kamu sudah selesai?"

"Hari senin aku ada sidang," jawabnya sambil mengeluarkan ponselnya. "Sebentar." Radit mulai sibuk dengan ponselnya. Aku tidak tahu apanyang dia lakukan dengan benda kotak itu.

Sunyi di antara kita. Aku tidak tahu hendak melakukan apa. Radit terlihat sangat sibuk dengan ponselnya itu, bahkan mengetik banyak sekali seperti sedang menulis cerpen. Walaupun aku tahu dia sedang ada urusan mengenai gelar magisternya.

Tetapi karena itu aku merasa terasingkan, aku tidak tahu untuk apa dia datang jika hanya sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali belum menjelaskan apa-apa kepadaku. Namun setelah aku merasakan tangannya memengang punggung tanganku serta ibu jarinya mengusap jemariku aku mulai sedikit tenang. Tetapi muncul pertanyaan baru dikepalaku. Kau tahu pastinya selama ini jika kami sudah dua kali jalan dan selama hampir sebulan kami menyempatkan untuk bertelepon walau terkadang hanya sepuluh menit saja. Sedang kenapa dia hadir dalam hidupku, membuatku bahagia setiap kali bertemu dan lain sebagainya di tengah kebingunganku dengan Yudha?

Jawaban itu terjawab setelah dia meletakkan ponselnya dan memegang tangan tanganku dengan kedua tangannya. "Kamu tahu kenapa aku datang sepagi ini? Aku dua hari yang lalu bingung kenapa kamu tidak menganggakat teleponku maka dari itu aku berkunjung."

"Maaf aku sibuk akhir-akhir ini." Boleh jadi aku berbohong karena bukan itu alasan sebenarnya dan kau pasti tahu alasannya.

"Tetapi aku ada maksud lain." Radit tersenyum ramah. "Kamu bisa panggil Mama kamu? Aku ingin berbicara dengannya."

Walaupun aku binggung saat itu, aku beranjak pergi setelah dia melepas tanganku. Aku meminta Mama untuk bergabung di ruang tamu saat Mama sedang menyiapkan makanan di atas meja dan Mama menerima permintaanku. Menit berikutnya aku kembali duduk di posisi awalku sedangkan Mama duduk di sofa lain di dekat Radit.

Aku melihat Radit membenarkan posisi duduknya sedangkan Mama mulai mengambil kue kering yang ada di meja.

"Mari di makan kuenya," kata Mama, saat itu Radit hendak mengatakan sesuatu namun sedikit tertahan karena ucapan Mama.

"Iya Tante," sahut Radit. "Tante saya boleh mengatakan sesuatu kepada Tante."

Boleh jadi Mama saat menganggung dengan antusias tetapi aku tidak6 melihat di wajahnya ekspresi penasaran. Justru aku yang penasaran kenapa Radit ingin menagatakan sesuatu kepada Mama.

Kau tahu dia mengatakan apa? Ini yang mampu aku ingat atas perkataannya.

"Sudah berhari-hari saya memikirkan anak Tante. Maaf jika saya bertindak lancang, kehadiran saya kali ini adalah meminta restu dari Tante. Apakah saya boleh menyukai anak Tante dan menjadikan dia sebagai kekasih saya yang nantinya saya beserta orang tua saya akan datang untuk melamar."

Mama langsung tersenyum mengarahkan padangan ke arahku lalu menatap Radit dengan tawanya. "Tante kaget loh mendengar perkataan kamu. Jujur Tante salut sekali atas keberanian kamu mengatakan sesuatu yang tidak banyak pria mampu mengatak itu." Mama lagi-lagi meliriku dalam waktu singkat kemudian dia mengarahkan padangan ke Radit kembali. "Tetapi semua keputusan berada di tangan anak Tante. Tante tidak bisa memutuskan dan hanya mampu mendukung apapun keputusan anak Tante. Jadi apapun keputusan anak Tante kamu harus siap berlapang dada."

Boleh jadi Mama dan Radit sama-sama menatapku setelah itu dan sepertinya mereka berharap aku mengatakan sesuatu, dengan sigap aku segera mengatakan, "Aku akan menjawab tetapi tidak sekarang." Kau tahu, Radit langsung menganggukan kepala sepertinya dia mampu memahami tentang isi hatiku.

Setelah perbincangan itu Mama menawarkan makan kepada Radit dan menerima tawarab tersebut. Kami bertiga makan dengab selipan canda tawa yang menggelora melepas suasana serius kerika di ruang tamu. Tawa kami terhenti sesaat karena suara bel rumah berbunyi.

Aku langsung beranjak pergi menuju pintu dan ternyata yang datang adalah Yudha. Kau pasti bisa mendeskripsikan ekspresiku saat itu. Yah, aku metasa gundah saat itu, bagaimana tidak dua pria datang ke rumah yang pastinya memiliki tujuan yang sama.

Beruntung tidak ada masalah saat Yudha melihat Radit di ruang makan dan bahkan anehnya mereka berjabat tangan setelah beberapa bulan yang lalu Yudha sempat menarik kera baju Radit. Yah, mereka sepeti telah akrab dan sama sekali aku tidak melihat mereka seperti bermusuhan walaupun di samping itu aku tahu jika mereka membutuhkan jawaban atas diriku.

Bukan berarti selama ini aku menggantung perasaan dia pria itu. Buka  berarti aku merasa bangga dan menyombongkan diriku menulis seperti ini kau pasti tahu keadaan yang sebenarnya. Ini semua bukan karena kesengajaanku tetapi gejolak yang ada atas diriku.

Aku hampir lupa saat itu jika hari ini adalah hari jumat. Sekitar pukul sepuluh mereka berdua berpamitan pulang karena hendak bersiap untuk salat jumat. Aku dan Mama melepas mereka di halaman rumah, Radit pergi dengan sepeda motor NMX putihnya sedangkan Yudha pergi dengan mobil Honda Jazz hitamnya.

Kau tahu, sebelum aku menulis ini Mama mencoba menanyakan keputusanku. Keputusan yang nantinya akan mengarahkanku ke sebuah pernikahan yang sakral. Aku tidak ingin salah mengambil keputusan dan aku tidak ingin gegabah namun aku tidak ingin terlalu lama mengambil keputusan.

"Cobalah untuk tegas dengan hatimu Aila. Kamu selalu tampak bahagia ketika Radit datang, namun di sisi lain kamu tidak pernah mengatakan apa-apa ketika Yudha datang."

Boleh jadi aku kembalikan pertanyaan yang seharusnya aku jawab. "Menurut Mama, Aila harus memilih siapa?"

"Anak perempuan Mama pasti bisa mengambil keputusan dengan tepat. Mama yakin itu. Pilihlah yang sesuai dengan hatimu tanpa ada rasa ragu sedikitpun walau hanya sekecil biji pasir." Mama mengusap rambutku dengan lembut lalu pergi meninggalkan kamarku.

Mungkin, aku akan mengambil keputusan besok. Semoga ini keputusan yang tepat dan semoga salah satu dari mereka mampu menerimanya. Akan tetapi bagaimana aku memulainya... aku harus mempersiapkan mulai sekarang.

((BERSAMBUNG))

TABIAT BATIN MANUSIA BUKAN HANYA UNTUK DIPAHAMI NAMUN JUGA PERLU DIRASAKAN.

Bagimana? Menurut kalian mana yang harus di pilih?

Aila dan Radit (OPEN PO)Where stories live. Discover now