Tentang Standar

1K 89 33
                                    

Belakangan ini saya mengalami masalah. Mungkin bisa jadi sebuah coretan besar dan tidak teratur dalam lembar kehidupan saya. Tidak diinginkan, sebuah kesalahan dan mungkin takkan bisa saya lupakan.

Beberapa hari saya merenung sendirian di ruangan saya. Menjejaki bukti yang menunjukkan sampai mana kebodohan yang bisa saya lakukan. Menyadari, dulu saya merasa malu untuk keluar dari kebodohan itu dan terus menjalaninya, berharap keburukan di masa lalu saya bisa tertutupi.

Omong kosong.

Beberapa hari lalu, saya, dengan segala kekuatan yang Tuhan berikan (Thanks God, you always know I love you, right?) memilih untuk berdamai dengan masa lalu dan menerima diri saya yang bebas.

Itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memilih mencintai diri sendiri dari pada dunia yang kita buat untuk menutupi keburukan kita. Memenuhi standar kehidupan ideal yang cantik, harmonis dan bahagia.

Butuh lebih dari empat tahun bagi saya untuk sadar bahwa saya tidak sedang hidup dalam dongeng.

Butuh lebih dari satu tahun untuk sadar bahwa standar-standar yang ada di sekitar saya hanyalah lentera tipuan.

Kini, saya mencintai diri saya.

Dan hanya itu yang harus saya lakukan demi memulai kembali dengan benar untuk mencintai dunia saya yang tanpa lentera.

Cintai diri Anda sendiri sebelum Anda mencintai sesuatu yang lain.

Oke, kita masuk saja ke topik awal.

Standar.

Bicara mengenai standar. Apa? Kenapa?

Menurut KBBI, standar adalah 1.) Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, 2.) Ukuran atau tingkat biaya hidup, 3.) Sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sebagai ukuran nilai (harga), 4.) Baku.

Sesuai arti di atas, akan masuk akal jika standar diberlakukan untuk lingkungan-lingkungan dan bidang tertentu, seperti ekonomi atau otonomi suatu daerah. Itu memang dibutuhkan untuk memelihara sistem buatan manusia.

Tapi menurut pandangan saya, manusia tidak pernah berhak menentukan standar pada manusia lain.

Kenapa?

Simpel.

Karena kita semua sama-sama manusia.

Tapi kita memiliki ras, kasta, negara, norma yang berbeda.

Oh, ayolah! Semua itu buatan manusia. Tuhan mungkin membuat ras, namun tidak menciptakan kasta. Tuhan mungkin membuat suku-suku bangsa (terima kasih, bangsa Babylon), tapi Ia tidak membuat negara. Warna kulit, mata, rambut berbeda. Begitupun bentuk tengkorak, tinggi badan, bahasa, budaya dan bahkan perilaku.

Oke, oke. Baiklah, saya mengaku salah. Kita tidak sama.

Kalau begitu pertanyaan saya kembali seperti ini; Lalu kenapa ada standar yang menentukan manusia-manusia yang berbeda ini, Hei Manusia?

Kemarin, Google memberitahu saya, seorang penyanyi wanita yang cukup terkenal dan menurut saya cantik luar dalam, mendapat body shaming karena ia tertangkap kamera sedang memakai bikini dan menunjukkan lipatan perutnya yang hampir menyamai tingakatan Candi Borobudur.

Dan bagaimana reaksi penyanyi itu?

"The beauty myth ― an obsession with physical perfection that traps modern woman in an endless cycle of hopelessness, self consciousness, and self-hatred as she tries to fulfill society's impossible definition of flawless beauty. I chose to take care of myself because I want to, not to prove anything to anyone. Wind in her sails."

Sastra & ManusiaWhere stories live. Discover now