Wish you happiness

7.2K 992 372
                                    

"Emmm Yachi-san?" Ucap Kageyama ketika gedung tempat latihan mereka sudah sepi, hanya ada dirinya, Yachi dan Hinata yang sedang mengumpulkan bola.







Come First
.

Wish you happiness








"A--ah? Eh? Yachi saja." Balas perempuan manis itu sambil tersenyum, dan Hinata ada disana. Hinata melihat semuanya, senyuman Kageyama, juga nada lembut yang keluar dari bibir pemuda itu.

Sayangnya bukan untuk dirinya.

"Baiklah Yachi, mau pulang denganku?" Dan wajah Yachi sepenuhnya memerah. Perempuan mana yang akan menolak ajakan laki-laki idaman seperti Kageyama?

"Pulang be-bersama? Bo--boleh." Dan senyuman Kageyama semakin mengembang. Dada Hinata sakit, sakit lebih dari sekedar sakit biasa. Namun Hinata bisa apa.

"Hinata! Kalau aku dan Yachi pergi duluan apa kau keberatan?" Sontak Hinata menolehkan kepalanya ke wajah Kageyama, namun bukan Hinata namanya jika dia menghalangi Kageyama untuk bahagia.

Nyatanya, kebahagiaan Kageyama bersama orang lain adalah rasa sakit untuk Hinata, namun Hinata juga tidak bisa berbohong jika ada rasa bahagia ketika melihat Kageyama bahagia.

"Te--tentu saja tidak keberatan! Kau pulang duluan saja!" Sebuah kepalan tangan tanda kemenangan terlihat dari gestur tangan Kageyama.

Biar Hinata tebak, pasti Kageyama sudah merencanakan sesuatu yang bagus untuk hubungannya dengan Yachi.

"Kalau gitu aku dan Yachi duluan ya!" Ucap Kageyama lalu menarik tangan mungil milik Yachi untuk segara pergi dari gedung itu.

"Tunggu dulu!" Namun sebelum mereka berdua keluar dari gedung itu, Yachi terlebih dahulu menarik tangan Kageyama.

"Apa kau benar-benar tidak apa-apa Hinata?" Ah, sepertinya Yachi jauh lebih peka dari Kageyama.

Hinata menggaruk belakang kepalanya sendiri, sepertinya senyumannya kali ini kurang lebar, hingga Yachi kurang percaya dengan ketegaran Hinata.

"Ah tidak apa-apa! Kalian duluan saja, biar nanti aku yang mengunci." Hinata semakin melebarkan senyumannya, berharap Yachi tidak akan bertanya lebih jauh lagi terhadap hatinya saat ini.

"Tuhkan! Kau tenang saja Yachi, Hinata tidak akan kenapa-kenapa walau dia sendiri, benarlan Hinata?" Ucap Kageyama sambil menatap Hinata sebentar.

"A--ah? Y--ya, aku tidak apa-apa." Namun Yachi masih menatapnya dengan intens, Yachi tau ada sedikit--atau mungkin banyak-- kebohongan juga sesuatu yang di tutupi oleh Hinata.

"Sudahlah, ayo kita duluan." Kageyama kembali menarik Yachi untuk pergi dari gedung itu.

Melihat kedua orang itu sudah pergi, seketika Hinata runtuh. Kakinya melemas, dia benar-benar hancur saat ini.

Namun mau bagaimana lagi, itu adalah pilihan Hinata. Hinata memilih untuk merelakan Kageyama dan Hinata harus menerima konsekuensi dari itu semua.

Semoga bahagia, Kageyama.

●○

"Kaa-san, doakan Shouyou agar bisa menang di turnamen lusa ya!" Tangan sang ibu mengepal, dia tidak sanggup lagi.

"Bukannya sudah Kaa-san bilang untuk istirahat? Kamu harus istirahat nak." Hinata menggeleng perlahan.

"Shouyou sudah sejauh ini, Shouyou ingin merasakan kemenangan, Shouyou ingin membuat Kaa-san bahagia dengan piala yang akan Shouyou bawa." Sang ibu membawanya kedalam pelukan hangat yang sangat erat.

"Kaa-san tidak membutuhkan piala, Kaa-san butuh Shouyou." Air mata wanita beranak dua itu jatuh membanjiri pipi putihnya, yang sewarna dengan kulit bersih Hinata.

"Tapi Shouyou juga mau membuat Kaa-san bahagia, Shouyou mau Kaa-san bangga karna Shouyou berhasil memenangkan sesuatu." Tetap saja wanita itu menggelengkan kepala.

"Kaa-san ga butuh, Kaa-san tidak memerlukan itu semua. Kaa-san cuma butuh Shouyou." Hinata melepaskan pelukan sang ibu, menatap mata sang ibu dengan dalam, mencari celah agar keinginannya bisa terlaksana.

"Shouyou sudah mengidap ini semua dari kecil, dan Shouyou mampu bertahan sampai sekarang. Kaa-san percayalah, aku akan baik-baik saja." Namun tetesan air mata tetap tidak berhenti mengalir dari mata senja wanita yang menjadi ibu dari Hinata itu.

"Semuanya sudah cukup, kamu sudah terlalu sering lelah. Kaa-san tidak mau kamu kenapa-napa nak. Mengertilah, Kaa-san sangat menyayangimu." Hinata menganggukan kepalanya sambil tersenyum.

"Aku tau, aku juga sangat menyayangi Kaa-san. Tapi aku sudah sejauh ini, aku ingin terus bersama teman-temanku hingga kami berhasil menjadi nomor satu di Jepang." Wanita itu mengerti, sangat mengerti.

Mengerti seberapa besar semangat anaknya untuk menjadi seorang atlet.

Mengerti seberapa besar perjuangan anaknya hingga bisa sampai di titik ini. Dia sangat mengerti.

"Tapi saat hari turnamen kamu, Kaa-san sudah berjanji untuk ikut Tou-san mu datang ke acara kantornya." Lagi-lagi Hinata tersenyum.

"Tidak apa-apa, jika Kaa-san tidak bisa menonton pertandinganku tidak apa-apa, yang jelas aku minta doa dari Kaa-san ya?" Sebenarnya masih banyak sekali kekhawatiran dalam hatinya.

"Kaa-san gamau Shouyou kenapa-napa, Shouyou tidak usah ikut turnamen ya? Biar Kaa-san yang bicara pada pelatihmu." Lagi dan lagi, jawaban dari Hinata adalah sebuah gelengan kepala.

"Kaa-san, Shouyou pasti bisa bertahan, Shouyou pasti akan baik-baik saja. Shouyou janji akan terus sehat untuk Kaa-san." Tapi tatapan mata Hinata seakan ragu akan itu semua, ragu pada ucapannya sendiri. Hinata ragu apakah benar dia bisa bertahan sampai turnamen itu selesai.

"Kaa-san takut, Kaa-san tidak mau kehilangan Shouyou." Untuk pertama kalinya sang ibu mengeluarkan kata-kata yang menggambarkan bahwa dia sangat takut kehilangan Hinata.

Padahal sebelumnya dia selalu saja berpikir positif bahwa anaknya akan baik-baik saja. Tapi sekarang semuanya berbeda.

"Kaa-san, kalaupun Shouyou pergi. Kan masih ada Natsu." Dan senyuman manis tidak pernah luntur dari wajah pemuda dengan rambut berombak itu.

"Tapi beda, kamu dan Natsu beda. Kaa-san butuh kalian berdua, bukan hanya satu." Sang ibu sadar, bahwa kali ini dia benar-benar takut, sangat takut kehilangan Hinata.

"Kaa-san, apapun yang terjadi padaku, pasti itu yang terbaik. Ne Kaa-san? Kaa-san mau melihat aku bahagia bukan?" Sang ibu menganggimuk tanpa ragu, tentu saja. Kebahagiaan anaknya adalah hal yang paling utama dalam hidupnya.

"Aku akan bahagia kalau aku bisa berjuang bersama teman-temanku." Sang ibu mengerti, sangat mengerti.

Sebesar apa keinginan anaknya itu untuk terus berada di lapangan dan berjuang bersama-sama dnegan teman-temannya.

Sang ibu kembali membawa Hinata ke dalam pelukannya. Pelukan yang tidak kalah erat dari yang tadi.

"Kaa-san mengijinkanmu. Tapi kamu harus janji, apapun yang terjadi kamu harus segera menghubungi Kaa-san." Dan ucapan wanita berusia sekitar 40-an itu membuat senyuman di wajah Hinata semakin merekah.

"Kaa-san tenang saja! Aku akan baik-baik saja!" Dan Hinata membalas pelukan sang ibu dengan sama eratnya.

Namun satu hal yang Hinata lupakan, bahwa firasat seorang ibu memiliki tingkat keakuratan yang sempurna.
















T●B●C

.

Only one chapter left.
(Insya Allah) And I will update it tomorrow.

Come First (KageHina)Where stories live. Discover now