Enam Belas

50.1K 9.4K 453
                                    

Tengkiu untuk responsnya yang bagus di part kemaren, ya. Lope-lope yu ol, Gaesss...

**

"Saya beneran minta maaf, Kara," lanjut Atharwa. "Saya sama sekali nggak tahu kalau kamu mendengar saya mengatakan hal seperti itu. Sekarang semuanya jadi masuk akal. Nggak heran kamu menjauh dari saya. Apa yang saya lakukan itu memang buruk dan nggak bisa dimaafkan."

Aku masih diam, mencoba mencerna apa yang dibicarakan Atharwa. Ini seperti menggali kenangan, dan membongkar timbunan peristiwa yang pernah membuat hati terluka tidak pernah menyenangkan.

"Hanya saja, waktu itu saya masih sangat muda. Di masa seperti itu, kebanyakan orang masih labil dan cenderung melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya. Apa pun. Dan sayangnya saya termasuk kebanyakan orang itu. Saya melakukan hal buruk untuk membuat kamu jauh dari jangkauan Remmy. Permintaan maaf saya mungkin nggak akan mengubah kenyataan kalau apa yang saya katakan itu mengerikan, dan apa pun yang akan saya lakukan untuk memperbaikinya nggak lantas bisa menghapus sakit hati kamu. Tapi saya beneran menyesal. Sungguh. Saya melakukannya semata-mata karena saya dulu suka sama kamu dan nggak mau Remmy memotong jalan saya, meskipun pada akhirnya saya kehilangan kesempatan untuk lebih dekat sama kamu." Suara Atharwa terdengar jelas, tetapi apa yang dikatakannya itu terasa tidak nyata.

Halo... panggilan kepada Kara... panggilan kepada untuk kembali ke bumi. Kara... Kara... Kara memonitor? Kembali ke bumi sekarang! ASAP! Aku mengerjap. Oke, baiklah, DULU. Ya, kami memang sedang bicara soal masa lalu yang sudah kami tinggalkan berabad-abad lalu. Tentang perasaan konyol bernama cinta monyet. Cinta yang hadir untuk menegaskan kalau hormon yang ada di dalam tubuh memang berfungsi sebagaimana mestinya, dan wussss... sekejap kemudian lantas menguap. Hilang. Lenyap tak bersisa. Cinta yang terkikis sakit hati yang dibumbui jarak dan waktu, lalu terlupa.

Kami membicarakan soal ini sekarang untuk meluruskan apa yang menjadi kesalahpahaman di masa lalu, tidak lebih. Ya, masa lalu.

"Kara?"

Aku mengembuskan napas pelan-pelan. Masih mencoba mencari kalimat untuk merespons. Apa yang dikatakan Atharwa memang sempat membuatku kehilangan fokus karena sama sekali tidak menduga dia akan mengemukakan alasan seperti itu untuk menjelaskan ejekannya yang tidak sengaja kudengar. Dia suka padaku? Maksudku, dia DULU suka padaku? Dia semestinya mengatakannya, bukan malah membuatku harus mendengar dia mengolok dan membuat aku merasa semakin tidak percaya diri dengan bentuk tubuhku

"Saya nggak suka dianggap makanan anjing, walaupun bentuk tubuh saya seperti ini." Aku mundur sehingga Atharwa lepaskan lenganku yang dipegangnya. Sedikit jarak membuatku merasa lebih nyaman.

"Saya sungguh-sunggu menyesal. Saya minta maaf." Atharwa kembali mengulang permohonan maafnya untuk yang kesekian kali. "Saya sudah bilang kalau sama sekali nggak bermaksud seperti itu."

Kali ini aku tidak menjawab karena tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Apa terlalu berlebihan kalau saya berharap dimaafkan dan kita bisa berteman seperti dulu lagi?"

Entahlah. Aku tidak pernah berpikir akan kembali berteman dengan Atharwa sejak mendengarnya menjadikan aku lelucon. Jujur, aku tidak mengira akan kembali bertemu dengan dia seperti sekarang. Seandainya boleh memilih, aku lebih suka dia tidak berada dalam lingkar hari-hariku. Ya, dia memang terlihat menyesal dengan apa yang dia lakukan di masa lalu, tetapi aku juga bukan orang suci yang akan serta-merta bisa memaafkan hanya karena penjelasannya terdengar masuk akal.

"Mungkin nggak sekarang." Atharwa seperti bisa membaca keraguanku. "Kamu pasti butuh waktu untuk menerima penjelasan saya. Kamu sudah menyimpan sakit hati selama lebih dari sepuluh tahun, dan satu pembelaan diri saya nggak bisa langsung menghapusnya."

Love,  lost,  And,  Found (Cinta Itu....) - TERBITWhere stories live. Discover now