Lamaran

21.9K 1.3K 12
                                    

Ini orang sebenarnya kenapa sih? Moodnya naik turun. Salah makan apa gimana ya?

Karena penelitianku sudah selesai dan waktu juga sudah menunjukkan jam 4 sore, aku menutup lab dan pulang. Sebelum pulang ku letakkan kunci lab ke tempat biasa dekat ruang dosen. Aku celingak celinguk takut kalau ketemu Pak Andre lagi. Merasa nggak ada tanda-tanda kehidupan aku pun bergegas mencantolkan kunci tersebut.

"Hayo ngapain?" Pak Andre mengagetkanku dari belakang sampai ku jatuhkan kunci lab. Pak Andre memungutnya dan mencantolkan ke tempatnya. "Maaf... maaf..." sambungnya yang melihatku kaget sambil tertawa kecil.

"Penelitiannya sudah?" Tanyanya lagi.

"Sudah pak, besok lanjut lagi."

"Sudah di beresin semua?"

"Sudah pak."

"Sudah abis makannya?" Ku jawab hanya dengan anggukan. Ini orang cerah ceria banget ya? Beneran kayaknya salah makan.

"Baguslah. Sudah cepat pulang sana, ntar di cariin ibu." Sambil mendorong tas punggungku keluar ruangan. "Hati-hati." Lanjutnya.

Aku berlari menuruni tangga tanpa menoleh. Pak Andre benar-benar berubah. Aku kan jadi nervous...

Ternyata suasana cerah ceria bukan hanya pak Andre namun juga ibu yang pulang lebih awal dan menyiapkan makan malam.

"Alhamdulillah, putriku sudah pulang. Ibu masak kesukaanmu. Ada sambelan sama ikan gurame." Ibu tersenyum riang, sedang aku yang sebenarnya tidak terlalu lapar jadi kerucukan gara-gara lihat tahu tempe goreng yang sudah di penyet di atas cobek. Pasti enak banget. Aku ingin mencicipin sedikit. "Eits! Mandi trus sholat maghrib sekalian baru kita makan malam sama-sama." Dengan wajah cemberut aku pun naik ke lantai atas.

Setelah mandi dan sholat, kuajak adik untuk turun ke lantai bawah. Ibu sudah duduk di kursi meja makan juga. Tak lama ada suara gerbang terbuka. Ternyata kakakku dan keluarganya datang. Alhamdulillah makan malam hari ini full team, batinku.

Sambil makan malam kita juga banyak ngobrol ini itu hingga tak terasa aku khilaf nambah piring yang kedua.

"Ibu mau ngomong hal penting ke kalian semua." Ujar ibu tiba-tiba. Raut wajahnya serius. Aku yang mau menyuap nasi setelah nambah agak gimana gitu. "Beberapa hari yang lalu ada seseorang yang datang menemui ibu di kantor. Dia ingin melamar Fia secepatnya." Tanpa tedeng aling-aling ibu to the point.

Aku yang mendengarnya hanya... ya jantung berpacu cepat, keringat dingin menjalar, dan masih melanjutkan makanku. Ibu menatapku lekat yang masih membagi konsentrasi antara kepedesan dan perkataan ibu barusan. Ibu menyodorkanku minuman untuk menenangkanku.

"Gimana kak menurutmu?" Ibu tanya pada kakakku.

"Lha kenapa tanyanya ke kakak bukan ke aku? Yang di lamar aku atau kakak?" Ibu hanya menolehku sekilas.

"Aku sih terserah ibu, kalau menurut ibu baik ya aku mau ngomong apa."

"Baik. Kalau gitu baiknya kapan?" Mereka berdua benar-benar melupakan aku.

"Aku terserah ibu bisanya kapan, tapi bukannya harus ngomong sama ayah?"

"Ah, iya gimana pun dia masih walinya adek-adekmu. Kamu telfon, dia mau datang apa nggak."

"Iya bu."

"Bu... ?" Rengekku.

"Mbak, kalau aku tanya pendapatmu pasti kamu nggak mau. Ibu mau kamu menikah secepatnya... Jangan lihat ibu, lihat dirimu sendiri. Mau sampai kapan kamu merendahkan dirimu?"

Kata-kata ibu langsung mengena di lubuk hati. Benar memang, sampai kapan aku harus takut menghadapi gerbang pernikahan? Meskipun aku takut, aku harus belajar menghadapinya.

Bertemu di AkadWhere stories live. Discover now