Tepar

21.5K 1.3K 46
                                    

Kembali ke rutinitas sehari-hari di tambah persiapan pernikahan. Kedua keluarga mulai menyiapkan segala pernik-pernik untuk acara nikahan kami. Mulai dari konsep akad di rumah ku hingga acara resepsi yang 'rencana'nya di gedung. Sebenernya pak Andre ingin menyewa gedung aula kampus yang memang sering di buat acara nikahan namun aku menolak karena terlalu besar dan aku minta agar undangan tidak lebih dari 250 orang.

"Pak, saya hanya butuh 100 undangan. Itu juga terlalu banyak. Bapak mau undang siapa saja sampai 500 orang?" Tanyaku waktu kami berdebat tentang resepsi di gedung.

"Tentu, keluarga dan teman. Temanku banyak, mereka harus tahu pernikahan kita."

"Iya nanti pasti tahu sendiri, nggak perlu datang ke acara nikahan kita juga kan? Yang penting adalah keluarga dan kerabat dekat." Aku menghela nafas lalu seperti merengek. "Mas, resepsinya sekalian aja setelah akad di rumahku. Ya?"

"Tapi dek..." aku menatapnya dengan melas. "Ya sudah terserah kamu." Aku pun tersenyum senang. Kita pun memutuskan dengan acara akad langsung resepsi kecil-kecilan di rumah. Seluruh keluarga setuju saja. Total 200 undangan yang terlist.

Sambil ngurus pernikahan, tak lupa skripsiku yang mulai memasuki deadline. Semakin intens aku keluar masuk lab hingga tak sadar tubuhku mulai lemah dan panas.

"Mbak Fia, wajahnya kok merah ada apa?" Tanya bu Tuti saat aku menghadap beliau untuk asistensi.

"Cuma kena flu sepertinya bu."

"Jaga kondisi lho sebulan lagi sidang."

"Iya bu."

Sampai di rumah aku ke puskesmas terdekat dan dokter menyatakan hanya flu jadi aku hanya di beri obat jalan. Namun hingga 3 hari panas tak kunjung sembuh.

"Dek, kalau sakit nggak perlu kuliah." Kata pak Andre pas lihat aku menyederkan kepala di atas meja lab.

"Sayang pak, minggu terakhir kuliah." Kataku.

"Tapi panasmu, nggak turun-turun."

"Its okay, i'll be fine." Kataku sambil membenarkan posisi duduk dan tersenyum. Walaupun kami menghitung minggu sebelum menikah tapi pihak kampus hanya tahu bahwa kami sebatas dosen dan mahasiswa karena memang pak Andre dan aku ingin tetap seperti itu paling nggak hingga undangan siap di sebar.

Malamnya aku masuk kelasnya bu Hayati dan presentasi. Sungguh kepalaku rasanya mau copot. Tapi aku tahan hingga presentasi selesai.

Besoknya aku berencana konsultasi terakhir dengan bu Tuti sebelum berkas skripsi di kumpulkan ke jurusan untuk siap di sidang. Tapi apa mau dikata badan semakin lemah dan aku hampir pingsan di kamar mandi. Adikku yang kebetulan libur sekolah langsung menelfon ibu yang ada di kantor lalu membawaku naik taksi ke UGD.
Dan eng ing eng... Demam Berdarah. Dokter menyuruhku rawat inap, sempat aku tolak karena aku masih harus ngurus skripsiku.

"Mbak, harusnya kalau panas 3 hari nggak turun, langsung ke UGD." Dokter muda yang memeriksaku agak marah setelah melihat hasil tes darahku.

"Dok, anak saya sebelumnya sudah ke puskemas tapi dokter disana cuma ngasih obat ini lho." Kata ibu yang agak nggak terima dengan ucapan dokter tadi sambil menyodorkan obat-obatan dari puskesmas se tas kresek.

"Duh, dok kalau saya di opname, berapa hari?" Kataku lemah.

"Mbak yang penting stabil dulu. Kalau sudah stabil baru boleh pulang." Kata dokter muda itu lagi sambil memasang segala infus yang di perlukan.

Lalu ibu mengurus keperluan administrasi untuk rawat inap. Untungnya aku punya asuransi jadi nggak terlalu mikir biaya rumah sakit. Lalu aku ingat hari ini aku harus menemui dosen pembimbing untuk asistensi terakhir. Setelah pindah ke rawat inap yang berisi 3 orang aku pun berbaring dan meminta hp ke ibu. Ku telfon bu Tuti untuk mengabari.

Bertemu di AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang