DC - BAGIAN 7 [LEE CHANGSUB]

184 38 34
                                    


Aku bersumpah akan menghabisi laki-laki ini. Telapak tangan kananku mencengkram kuat-kuat krah hem panjang yang ia kenakan hingga dirinya terdorong ke dinding dan tercekik. Ujung pistolku bahkan sudah teracung di depan dahinya tanpa segan. Hatiku tak tahan lagi untuk terus bersikap sabar hingga sekarang. Laki-laki brengsek yang tak mampu menjaga amanah dengan baik harus betul-betul diberi pelajaran, lebih-lebih jika… jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap Youngi.

Dini hari aku menyempatkan diri untuk betul-betul pulang: sekedar menengok keadaan Lee Young. Bahkan sebelum kakiku berhasil melangkah keluar dari kantor polisi, beberapa makian sudah mampir di telingaku yang merah akibat cemas. Entah bagaimana, hati ini tak berhenti gelisah sejak kupalingkan tubuh membelakangi toko cokelat kecil yang tampak misterius: atau tidak (?).

Kosong. Rumah kami kosong. Tidak ada siapapun di dalam sana dan hanya tersisa lampu beranda yang memang menyala tak dapat dimatikan karena saklarnya bermasalah. Aku memanggilnya berulang kali namun ia tak kunjung menampakkan diri—setelah sebelumnya aku mengecek ke kamar. Diriku tahu bahwa Young takkan bisa menjawab panggilan ini, namun setidaknya jika ia mendengar, ia bisa membuat suara-suara dari benda di sekitar sehingga aku tahu keberadaannya.

“Youngi~ah! Lee Young!! Eodisseo, Youngi~ah? Ini oppa…” teriakku sambil mengetuk pintu-pintu ruangan. Namun rumah itu benar-benar kosong. Satu-satunya tempat yang kutuju—satu-satunya—hanyalah toko cokelat kecil di ujung jalan: yang pada pemiliknya kuserahkan Young untuk diantar pulang.

“Yook Sungjae~ssi!!! Yook Sungjae~ssi!!” panggilku sambil menggedor pintu kaca. Dari sini kulihat toko itu gelap, sangat gelap. Tak ada jawaban.

“Sialan!!! Di mana dia? Ya! Yook Sungjae!!” Perasaan khawatirku yang membuncah itu kini betul-betul meluap. Tetap tiada jawab, aku menggeram kesal. Yang ada dalam pikiran hanya Lee Young, di mana ia berada sekarang, dan apa yang ia lakukan—apa ia baik-baik saja di jam ini. Jika akhirnya ia masih tetap bersama dengan Yook Sungjae, aku berjanji aku takkan marah sedikitpun. Namun jika tidak…

“Lee Changsub… ssi?” Seseorang memanggil namaku dari arah belakang. Aku mengenalinya, suara itu: suara orang yang baru saja hadir dalam benakku, Yook Sungjae.

Buru-buru aku memalingkan tubuhku menghadap ke arah suara yang menyebut nama ‘Lee Changsub’ lalu kudapati seorang laki-laki jangkung berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Ia sendirian. Hanya sendiri. Tak ada seorangpun yang menyusul di belakang punggungnya. Di bawah pendar lampu yang remang itu lalu secepat kilat kulontarkan sebuah tanya: di mana Lee Young?

“Lee Young~ssi? Wae geurae? Dia belum sampai di rumah?” tanyanya. Mendengar kalimat khawatir yang singkat ini, hatiku mencelos. Pertanyaan ‘dia belum sampai di rumah’ itu… apa maksud laki-laki ini? Bukankah dia yang seharusnya memastikan Young sudah masuk rumah atau belum?

“Apa maksudmu menanyakan hal itu, Sungjae~ssi? Kau… tidak pulang bersamanya?” Aku menekan suaraku, mengharap sebuah klarifikasi singkat yang bisa mencegah amarahku meluap padanya sekarang juga.

“A..ah… itu…maafkan aku, Changsub~ssi. Kami memang pulang bersama, awalnya. Namun aku mendapat panggilan telepon penting sehingga akhirnya kami berpisah di jalan. Dan… aku baru saja kembali: bertemu kau di sini…”

“Kau… meninggalkannya?” Kutatap tajam matanya yang menyorot lelah. Mendengar jawaban panjang itu kakiku melemas, yang bertahan hanya benak dan sebentuk hati yang tiba-tiba mendingin layaknya es, mengeras tanpa mau melunak bahkan dengan penjelasan yang lebih panjang. Yook Sungjae… bukankah baru saja ia menghianatiku dengan mengabaikan amanahku atas Lee Young?

Aku memang tak tahu apa hal penting yang ia bicarakan sampai harus meninggalkan Lee Young di tengah perjalanan. Aku hanya akan baik-baik saja jika kemudian Young ada di rumah menungguku pulang. Namun nyatanya hingga nyaris dini hari—bahkan—tiada kujumpai adik semata wayangku di sana: tanpa kabar, tanpa pamit, tanpa bersurat.

“Youngi~ssi… belum sampai rumah? Geurae?” Ia menanyakan hal yang seharusnya tak ia tanyakan. Telingaku memerah. Aku membenci pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Mereka tak bertanggungjawab. Sialan.

“Jika ia ada di rumah, aku takkan menanyakannya padamu, brengsek!” Ia tampak terkejut mendengar umpatan yang baru saja. Aku tak bisa mengendalikan diriku lagi. Adikku sudah dipastikan belum sampai di rumah, entah hilang atau tersesat—kudengar itu juga, perbaikan jalan yang mengharuskan kendaraan umum memutar lumayan jauh. Bukannya nurani ini meremehkan Young karena ia tuna wicara, tapi aku khawatir karena tak semua orang di sekitarnya baik.

“Lee Changsub~ssi! Aku tahu kau sedang khawatir. Tapi tak bisakah kita membicarakannya dengan tenang?” Kau lihat itu? Jawaban menjengkelkan itu keluar lagi dari mulutnya! Aku lalu hanya berpikir sederhana: bisakah kau tetap duduk manis sambil menghirup aroma kopi manis ketika badai datang memorak-porandakan warungnya? Sungguh terlampau bodohkah laki-laki ini?
Sungjae. Ia bisa mengatakan hal-hal ringan seperti itu karena dirinya bahkan tak pernah mengalami hal serupa seperti kami. Ia terlalu munafik untuk bersikap khawatir. Laki-laki itu tak sebaik tokoh karangan cerita yang dibuat Young. Yook Sungjae dalam cerita Young bukanlah bocah tak berperasaan yang berdiri di hadapanku sambil mencoba memasang wajah tenang. Aku sungguh membencinya: sepenuh hati.

Spontan, telapak tangan dan lengan kiriku mencengkram sekaligus mendorong tubuh Sungjae hingga membentur dinding toko cokelat di belakangnya. Mataku memanas, juga hatiku. Kemudian sambil mengeraskan rahang, kutahan tangan kananku yang kini betul-betul menggenggam pistol—benda itu baru saja keluar dari sarungnya yang kecil.

“Sialan kau, Yook Sungjae!!! Jika kau yang membuatnya hilang dan tak mau mengakui bahwa itu salahmu, maka setidaknya diamlah lalu minta maaf, brengsekkk!!!!” Aku betul-betul menarik pelatuk pistolnya. Air mata yang entah sejak kapan hadir di sana terus-menerus mengalir tak tahu diri: aku hanya ingin menemukan Young—pelaku pembunuhan dan penculikan dalam kasusku belum tertangkap dan kabar terakhir yang kami dengar…

“Tembak aku, Changsub~ssi… kau boleh menembakkan pelurunya sekarang juga di sini jika itu bisa meredakan amarahmu.” Ia mengatakannya dengan tenang.

JUGGEO SIPPEO??!!! Kau benar-benar ingin mati??!!!!” teriakku padanya.

“Bukankah kau memercayaiku? Lalu mengapa kau ragu sekarang? Aku tahu kau percaya padaku karena Youngi. Jadi mengapa kau tidak terus menaruh percaya padanya? Changsub~ssi… ani… Hyung…aku tahu aku sudah salah meninggalkannya seperti itu. Karenanya aku meminta maaf padamu. Kau pikir aku tak khawatir? Aku bahkan terkejut hingga nyaris tak bernapas. Jadi kumohon. Mari mencarinya bersama, eoh?” Kedua tangannya perlahan menggenggam pistol yang ada di tanganku, menurunkannya dengan lembut hingga aku betul-betul kalah.

Aku… hanya takut. Aku hanya tak mau kejadian itu terulang kembali. Aku hanya…aku tak mampu mengendalikan kedua telapak tangan yang gemetar dan jantung yang berirama acak tak karuan, lalu berusaha percaya: pada siapapun itu.

“Jika terjadi sesuatu dengan Youngi… bolehkah aku membunuhmu saat itu juga?”

Ia, laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatapku lekat-lekat.

“Jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada Youngi~ssi, kau boleh membunuhku… asalkan setelahnya kau mengingatku: sampai akhir.” Pupil matanya membesar. Aku mengerti, hanya sampai ketika ia mengatakan bahwa diriku boleh membunuhnya, selanjutnya… apa maksud perkataan itu?




~











Note:
Heungg wkwkwkwkwk annyeonggggg yeorobun!!! Surprise! #plakk
Yakk setelah Minggu lalu tidak update, author memutuskan update hari ini untuk mengurangi derita rindu kalian (Halah ga ada yang baca, dih PD sekaleeeee) wkwkwkwkwk... Hayolo... Kira-kira ada sesuatu nggak di balik perkataan Sungjae yg terakhir? Hmmm 😶😶

[2018] DARK CHOCOLATE ☑Where stories live. Discover now