Part [2]

400 125 51
                                    

TIARA menekan handle pintu dan mendorongnya ke arah dalam. Dia masuk ke dalam sebuah kamar diikuti oleh Rika di belakangnya. Derap langkah mereka membuat seseorang di atas ranjang spontan menoleh.

"Elo gak istirahat, Lan?" tanya Rika kepada cewek yang terbaring lemah dengan tangannya terpasang selang infus.

"Kurang apa coba gue berhari-hari istirahat mulu, Ka," jawab Wulan tersenyum tipis. Wajah cewek itu nampak pucat dengan rambut bergelombangnya yang semrawut.

Wulan berusaha bangkit, Rika membantu Wulan untuk bersandar di kepala ranjang. Sedangkan Tiara mendekati gorden berwarna hijau itu dan menariknya ke satu arah. Membuat sebuah jendela kaca di baliknya memancarkan cahaya kala sang mentari menampilkan teriknya.

Tiara dan Rika sepakat menjenguk Wulan setiap pulang sekolah. Memastikan bagaimana keadaan sahabat mereka yang sudah hampir seminggu ini meringkuk lemas di rumah sakit. Wulan terkena tifus, pasalnya akhir-akhir ini dia suka jajan sembarangan selepas bel istirahat berbunyi. Entah apa saja yang ia makan, Wulan menjadi konsumtif sampai-sampai ususnya tidak dapat menerima semua jajanan yang ditetapkan terjangkiti kuman.

"Pokoknya ya, Lan. Kalo lo udah keluar dari rumah sakit. Gue pastiin lo udah gak boleh menyentuh bakso saus abal-abal," ucap Rika mengangkat jari telunjuknya ke udara kosong.

Menambah satu lagi jarinya. "Lidi-lidian bumbu micin."

Mengacungkan tiga jarinya. "Gorengan yang digoreng pake minyak jelantah--" Rika menggantung omongannya seraya mengetuk jari tangannya di dagu, berpikir.

"Sama satu lagi. Pempek yang lo sebenernya tau kalo pempek itu berkerubung lalat," cerocos Rika protektif.

Wulan dan Tiara hanya terkekeh pelan. Pasalnya mereka berdua sangat paham dengan kebawelan Rika satu ini. Bahkan bisa dibilang telinga mereka sudah kebal dari ocehan Rika yang tidak pernah putus seperti rel kereta api.

"Siap bu dokter, besok lusa juga udah dibolehin pulang kok gue," ucap Wulan.

Tiara yang sedari tadi berdiri di ambang jendela berjalan mendekati ranjang Wulan. "Iya, kah?" sahut Tiara antusias.

Wulan mengangguk sambil menampilkan senyum lesunya.

"Iya, lah, lo harus cepet sembuh pokoknya, Lan. Banyakin minum air putih," imbuh Rika.

"Siap."

Disela-sela obrolan antara Wulan, Rika dan Tiara. Terdengar bunyi ketukan pintu sebanyak tiga kali sebelum akhirnya seorang cowok berderap masuk ke dalam kamar rawat inap yang Wulan tempati.

"Malik," sapa Tiara dan Wulan berbarengan.

"Lo jadi nyusul ke sini? kirain tadi langsung pulang," tukas Tiara pada cowok itu.

"Gue mampir bentar, ini juga mau ngajak lo pulang," ucap Malik to the point.

Spontan mata Tiara langsung mengekor ke arah Rika sebelum berucap, "Eh, ngapain? Gue, kan, bisa pulang sendiri, Lik. Lagian gue ke sini sama Rika, masa iya gue pulangnya sama elo, sih," dalih Tiara merasa tidak enak hati pada Rika.

Malik hanya menautkan kedua alisnya tanpa mengindahkan ucapan Tiara. Dia beralih menatap Wulan. "Lan? Gimana kabar, lo?"

"Udah lumayan baikan kok, Lik," ucap Wulan.

"Bagus lah kalau gitu, cepet sembuh ya, lo. Tugas di sekolah udah pada numpuk," ucap Malik mengingatkan.

Sejurus Tiara menyikut perut Malik yang berbicara blak-blakan tanpa disaring terlebih dahulu. Malik memang begitu, selalu melontarkan omongan tepat sasaran. Memang benar tugas sekolah yang terbilang menggunung itu membuat mereka kerepotan, terutama Tiara yang rajin membuat tugas Wulan sekaligus. Terkadang Tiara sampai begadang mengerjakannya, dan itu yang memicu Malik berani berkata sekenanya seperti sekarang. Malik tidak ingin sahabatnya sejak kecil itu menumpuk mata panda. Tapi seharusnya, Malik juga menghargai kondisi Wulan yang saat ini masih terbaring lemah. Toh, dengan Malik berkata begitu tidak ada gunanya. Bisa-bisa membuat kondisi Wulan semakin drop saja.

"Sakit, Ra," ringis Malik sambil memegangi perutnya.

Merasa suasana kurang nyaman, Tiara berusaha tersenyum memberi Wulan semangat. "Gak usah didengerin, Lan. Pokoknya lo tenang aja, tugas sekolah lo aman kok ditangan gue."

Senyum kecil tercipta di bibir Wulan. "Makasih ya, Ra. Gue harus cepet sembuh biar gak ngerepotin lo lagi."

"Eh, enggak kok, Lan." Tiara menggeleng sambil menggoyangkan kelima jari tangannya. "Gue ga ngerasa direpotin sama sekali."

Mendengar ucapan Wulan, Malik merasa bersalah. Dia tidak tahu kalau imbasnya membuat Wulan sebaper ini. Malik menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, matanya menilik Tiara yang tengah memelototinya. Malik nyengir kuda.

Menyaksikan dua sahabatnya itu, hati Rika kembali tercabik. Seolah di sini dia sama sekali tidak dilihat. Sama sekali tidak dianggap keberadaannya. Rika mengambil langkah pamit kepada tiga sahabatnya itu.

"Lan, Ra, Lik, gue duluan, ya. Mama udah nungguin di rumah," pamit Rika.

"Yaudah, yuk, Ka." Tiara meraih ranselnya yang tadi sempat ia letakkan di atas kursi di sudut ruangan.

"Eh, gak usah, Ra. Kan lo pulangnya sama Malik," ucap Rika tersenyum tipis.

"Tapi, kan," ucap Tiara sangsi.

"Udah, gapapa," sanggah Rika.

"Lo pulangnya naik apa, Ka?" tanya Wulan.

"Gue udah pesen ojol kok, Gue duluan, ya." Rika berderap menuju pintu, senyum yang ia pampang rasanya hambar.

Seolah mengerti akan perasaan Rika saat ini, Tiara dan Wulan sontak bergeming.

"Hati-hati, Ka," kata Malik saat Rika sudah berada diambang pintu. Semakin membuat Rika merasakan getir.

Sampai kapan lo akan ngelirik gue, Lik? Sampai kapan lo bisa ngerasain keberadaan gue dan segenap perasaan gue ini ke elo, batin Rika.

Cinta yang bertepuk sebelah tangan rasanya semenyakitkan itu.

KENANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang