t i g a p u l u h

1.2K 200 51
                                    

Aku tidak berubah karena cinta,

Tapi cinta yang mengubahku.

***

Suasana sarapan di ruang makan terasa sangat hening. Tak ada satu pun yang berniat mengawali percakapan. Terutama Gerry, yang seolah tak menganggap papa dan mamanya ada di sana. Cowok itu sibuk menyantap makanannya cepat. Enggan berlama-lama berada di satu ruangan dengan kedua orang tuanya.

Pasca insiden Indira menampar Cindy, Gerry menjadi lebih pendiam. Hampir tak pernah lagi berbicara dengan papa atau mamanya. Walaupun tinggal di bawah satu atap, Gerry membangun dinding pembatas dengan orang tuanya. Menciptakan dunianya sendiri di mana hanya ada dia seorang.

Gerry pikir papa bisa diajak bekerja sama, tapi rupanya papa lebih memilih membela mama. Meskipun papa sempat marah besar terhadap mama malam itu, lambat laun sikap papa kepada mama kembali seperti semula seolah tidak pernah terjadi apapun. Dan itu membuat Gerry muak.

"Kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Indira pada Gerry. Bagaimana pun, dia tidak betah berlama-lama diam-diaman seperti ini dengan anaknya sendiri.

Alih-alih menjawab, Gerry justru menyudahi sarapannya dengan langsung meletakkan sendok dan garpu di atas piring. Dia meminum air putih dengan sekali tegukan lalu memakai tas ransel yang tergeletak di kursi sebelah. Tanpa pamit, Gerry berlalu meninggalkan ruang makan.

"Gerry!" seru Indira dengan nada tinggi tatkala Gerry telah hilang di balik sekat.

David yang sedang membaca laporan kantor melalui tabletnya tak mengindahkan kejadian tersebut. Sama seperti Gerry, meski dia bersikap seolah tidak ada apa-apa, sebenarnya diam-diam David menjaga jarak dari Indira. David jadi jarang mengajak Indira bicara. Dia juga tidak tertarik lagi dengan urusan istrinya itu.

Indira mendelik tajam ke arah David. "Kamu kok diam aja? Biasanya kamu marah kalo Gerry kurang ajar seperti tadi!"

Mata David tak beralih seinci pun dari layar tablet. Dengan santainya justru David menjawab. "Biarin aja. Namanya juga remaja."

Sahutan luwes David membuat Indira kesal setengah mati. "Kalian berdua sama aja! Berubah hanya karena anak perempuan nggak tau diri itu!"

Sontak David menaruh tablet di atas meja dengan kasar. Pria itu berdiri dengan kedua telapak tangan bertumpu di sisi meja. "Siapa yang kamu sebut anak perempuan nggak tau diri? Cindy?"

"Ya, siapa lagi!" Indira bersungut jengah.

Sorot mata David berubah menakutkan kala dia memandang Indira dengan tatapan menusuk. "Cindy itu anak aku! Kamu sebut dia nggak tau diri, itu sama aja kamu menghina harga diriku! Ngerti?"

Demi Tuhan, belum pernah Indira melihat ekspresi David yang seperti ini. Indira hanya bisa bergeming mendengar kata-kata David. Indira tidak berani menatap langsung ke iris mata David jika pria itu sedang marah.

***

"Kevin!"

Suara Cindy yang super nyaring menggema di perpustakaan khusus fakultas kedokteran. Sontak Cindy segera mengatupkan mulut begitu banyak pasang mata yang mendelik ke arahnya. Buru-buru Cindy mempercepat langkahnya menuju kursi di mana Kevin duduk bersama anggota SEMA.

Sekilas Cindy melirik Nuri yang terang-terangan melayangkan tatapan tidak suka akan kehadirannya. Cindy tidak peduli. Dia ke sini untuk bertemu Kevin dan enggan berurusan dengan bocah rese macam Nuri.

"Rapatnya masih lama?" tanya Cindy usai mendudukkan diri di kursi kosong sebelah Kevin. Kebetulan itu kursi Dewa, tapi Dewa sedang mencari buku yang diperlukan untuk dijadikan referensi anak SEMA.

SIDE ( jjk x heb ) Where stories live. Discover now