Bab 07 - Sakit

173 10 0
                                    

7.

"Astaga!" pekik Alsa pelan saat melihat kaleng beer bekas berserakan dilantai dan disana terlihat Penda tengah terlelap diatas sofa dengan wajah pucat luar biasa.

Alsa buru-buru mendekat, melepaskan ranselnya disofa dan menempelkan telapak tangannya tepat didahi Penda.
Dan benar sesuai dugaannya, Penda demam. Sontak ia segera merangkul Penda untuk membawanya kedalam kamar, bukan dikamar atas melainkan kamar tamu yang letaknya dibawah.

Dengan pelan Alsa meletakkan Penda di atas ranjang. Saat memapah Penda menuju kamar, yang Alsa dengar hanya rintihan sakit dari mulut Penda.
Segera Alsa berlari mencari air hangat untuk mengompres Penda.
Sesekali pria itu melenguh merasakan benda asing di dahinya.
Alsa dengan telaten mengompres Penda, melihat Penda terbaring lemah seperti ini membuatnya jadi tidak tega jika harus menjaga jarak.

"Al," desis Penda tak nyaman. Alsa yang melamun buru-buru mendekat menyeka keringat dileher Penda. Kaos putihnya sudah basah oleh keringat dingin.

"Maafin Om, Al."
Alsa mematung, pergerakan tangannya terhenti tatkala kalimat barusan keluar dari mulut Penda. Pria itu baru saja mengucapakan kata maaf kepadanya. Alsa merasa bersalah sebab semalam berani menyela ucapan Penda. Atau mungkin Penda seperti ini karena merasa bersalah telah menyukainya.

"Apa Om harus pergi dari kam-"

"Ssstt!" Alsa menempelkan telunjuknya pada bibir Penda mencoba menenangkan pria tersebut. Meski Alsa tahu Penda hanya sedang mengoceh sebab suhu tubuhnya begitu tinggi, namun ia juga tidak mau Penda benar-benar pergi darinya.

"Sakit Al!" cicit Penda masih dengan keadaan mata tertutup, alisnya bertaut menahan sakit di perutnya.
Alsa yang paham ketika tangan Penda meremas perutnya dengan segera menggenggam jemari Penda dengan mengucapkan kata penenang agar Penda diam merengek.

"Alsa disini Om. Udah ya jangan sakit lagi. sssttt!" ucapnya pelan mendekatkan diri ditelinga Penda. Layaknya mantra, Penda tidak lagi merintih justru deru napas teratur yang terdengar tanda ia telah tidur.

Alsa melepaskan tangannya dari genggaman Penda, mengamati wajah pucat Penda dengan diam. Ia sungguh tidak tega melihat pria didepannya yang juga diam-diam menyimpan perasaan lebih kepadanya. Alsa sendiri pun juga bingung harus melakukan apa, haruskah ia jujur dan mengatakan langsung kepada Penda dan menjalani kisah seperti sepasang kekasih pada umumnya?
Alsa menggeleng, ia tidak mau dimarah oleh kedua orangtuanya sebab berulah gila macam itu. Ia masih punya otak untuk tidak melakukan hal tersebut. Setidaknya ia masih bisa memendam perasaannya, begitu pula Penda. Dan Alsa harap Penda tidak menyadari perasaannya.

Tanpa sadar Alsa menangis, merutuki kebodohannya. Buru-buru ia mengusapnya dan keluar dari dalam kamar untuk membuatkan bubur untuk dapat Penda makan saat pria itu saat sudah sadar. Alsa tahu jika Omnya itu mempunyai magg dan ia yakin sejak kemarin pria itu belum makan.

***
Sudah tiga puluh menit Alsa berkutat di dapur untuk membuat bubur, dan masih belum juga selesai. Bagaimana tidak, tiap tiga menit sekali ia mengecek keadaan Penda dikamar berharap demamnya segera turun. Sungguh Alsa seperti sedang mengurusi suaminya yang sedang sakit. Alsa menggeleng menepis pemikirannya barusan.

Al. Sadar! Penda itu Om kamu.

Demi apapun Alsa kembali merasa bersalah sebab menyukai Penda seperti ini. Ia harap perasaannya ini segera hilang. Semoga.

Alsa tersenyum tipis saat bubur yang ia buat sudah matang, buru-buru ia menuangkannya kedalam mangkok serta mengambil air minum lalu menaruhkannya ke atas nampan.

Nikah, Om?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang