WI 34

11K 792 57
                                    

"Sini!!", kata Kahfi lagi.

Aku yang masih terisak beringsut mendekat dan saat sudah cukup dekat tanpa kuduga Kahfi menarik tanganku, membuatku hilang keseimbangan dan jatuh ke dalam pelukannya. Dia mendekapku erat dengan sebelah tangannya yang tidak dipasangi infus. Merasakan kembali hangat pelukannya malah membuatku semakin terisak. Kahfi mengelus-elus rambutku sambil berusaha membujukku menghentikan tangisku.

"Jangan nangis, please,"bisiknya lirih di telingaku.

"Hiks aku...habisnya...kamu sih....hiks."

"Aku udah janji ke Bapak bakal bahagiain kamu tapi kamu malah jadi sedih kayak gini. Belum apa-apa aku udah ngerasa gagal."

"Hiks..aku...kan emang se..dih. Masa nggak...boleh nangis?"

"Iya tapi jangan sedih-sedih lagi. Aku akan nurutin kamu. Kamu maunya gimana sekarang? Kita berhenti disini atau lanjut?"

"Hiks...maksudnya?", tanyaku heran lalu mengurai pelukan kami.

"Buat lemot kesayanganku aku jelasin ya, pelan-pelan deh biar otaknya mampu mencerna," ejek Kahfi yang diikuti kekehan karena melihatku meliriknya sebal.

"Sekarang aku nurut maunya kamu gimana.  Kamu tinggal milih, ada dua pilihan, kita berhenti dari status teman tapi nikahnya dipercepat atau kita lanjut dulu sebagai pacar tapiii.....nikahnya juga dipercepat."

"Hiks...itu kan maunya kamu...semua...hiks."

"Hahaha....kan biar cepat halalnya. Hmm dijelasin kayak gitu baru ngerti ya kamu. Ih gemes deh lihat ada cewek yang dikerjain terus nangis karena malu ngakuin perasaannya tapi nggak mau ditinggalin."

"Hiks...kamu...hiks...nyebelin."

Tanganku melayang ke lengan Kahfi membuatnya mengaduh seketika.

"Aw....jangan nyubit, aku masih sakit ini."

Dia lalu menggenggam sebelah tanganku dan menatapku intens, "Hey dengerin aku, semarah-marahnya aku, aku nggak akan bisa benci kamu, Vit. Karena rasa sayangku lebih besar. Kalau kamu sayang nggak sama aku?"

"Ng...harus dijawab ya?"

Kahfi balik bertanya lagi, "Gini deh, umpamanya kalau kemarin aku mati, kamu sedih nggak?"

Dengan cepat aku menyelanya,"Sssts, jangan ngomong gitu, Fi. Kamu nggak tau  takutnya aku kemarin kayak gimana. Lagian omongan itu do'a, gimana kalau ada malaikat lewat?"

Kahfi membalas dengan enteng, "Emang takdirku berarti. Makanya kamu jujur dong. Kamu ada nggak sedikiiit aja perasaan untukku? Kalau memang kamu juga punya perasaan yang sama denganku walau cuma sedikit, aku akan terus berjuang. Tapi kalau tidak, aku milih mundur karena aku nggak mau maksain perasaanku ke kamu. Hubungan akan berhasil kalau dua belah pihak berusaha kan."

"Tapi....apa kamu nggak akan nyesel?"

"Nyesel kenapa lagi?"

"Ya milih aku?"

Kahfi nampak gemas dengan keleletanku dalam berpikir, "Astagfirullah ya Allah, ampuni hambaMu ini. Kamu harus tau aku merasa beruntung banget dan aku nggak akan nyesel milih kamu, Vita. Malah aku takutnya kamu yang nyesel. Kamu gimana?"

Aku meliriknya sekilas lalu berkata dengan cepat, "Aku...juga...sayang kamu."

Wajahku seketika memanas. Tak kuasa menanggung malu, aku segera menutup wajahku dengan kedua tanganku.

Kahfi dengan jahilnya malah mendekatkan wajahnya lalu berkata, "Apa? Aku nggak denger?"

Aku mulai kesal karena merasa dikerjai, "Iih...aku sayang."

Wrong ImpressionWhere stories live. Discover now