⚽ SEPULUH ⚽

2.5K 205 12
                                    

Menjadi waktu yang singkat semalam, baginya kebahagiaan selalu mempercepat waktu sebab bahagia terkadang lebih banyak melupakan waktu itu sendiri. Sementara kesedihan selalu berharap pada waktu, entah berharap waktu diperlambat atau berharap waktu diulang lagi. But life has no CTRL + Z.

Serasa lima menit yang lalu tubuh Alma terlelap bersama senyum dan jutaan mimpi. Sekarang bulan telah berganti matahari dan bintang-bintang kecil kalah dengan sinar sang surya. Langit telah berubah menjadi biru cerah dan awan-awan terlihat putih bersih.

Selamat pagi, Gedebage, Bandung. Selamat pagi, Bapak Walikota idola Alma. Selamat pagi, Mojang Bandung. Selamat pagi, Suporter terbaik dunia. Selamat pagi bagi semua yang selalu mencintai negaranya lebih dari mencintai dirinya sendiri tetapi tak pernah lebih dari mencintai Tuhannya. Selamat pagi, dari Alma, semoga Anda semua masih bahagia, sebahagia Alma meski dia tak sesehat kalian.

"Adik jadi ke tempat latihan Kak Febri?" Tanya Papa sembari menghabiskan sarapannya pagi ini.

"Jadilah, Pa. Ini perdana Kak Feb ikut latihan bersama Persib Senior loh. Masa' Alma enggak ada di sana," jawab Alma sebelum menyantap roti tawarnya pagi ini.

"Harus jadi atuh, Pak. Saya teh sudah disuruh datang sepagi ini," timbrung Pak Ujang yang selalu ikut sarapan jika beliau harus datang lebih pagi.

Papa tersenyum. "Dik Alma dapat teman baru ya, Pak Ujang. Setia banget Pak Ujang sama Adik. Selain siapa itu? Aduh, calon Kakak Ipar Alma siapa?"

"Pak Ujang yang terbaik, Pa. Maksud Papa, Teh Milan?"

Mengangguk, "nah itu."

"Teh Milan teh pacarnya Aa? Kabogohan kitu?" Pak Ujang sudah mulai dengan kekepoannya.

"Belum, Pak Ujang. Dik Alma saja yang terlalu berharap. Entahlah anak itu kenapa, buru-buru banget nyariin Kakaknya pacar," timbrung Mama yang membereskan beberapa piring di atas meja makan bersama dengan Mbok Nanik.

Alma tersenyum, sejujurnya bukan tanpa alasan dia mencari-cari pasangan untuk Febri meski Febri sendiri tidak pernah berpikir banyak tentang cinta, selalu tentang dirinya. Dan alasan Alma hanya bisa dimengerti ketika dia sudah pergi, itu yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri. Dia rasa waktunya tak akan lebih panjang lagi sampai Kakaknya menentukan jodoh sendiri.

"Bagus Teteh nyari pacar buat Aa, cantik, tapi punten, agak kurang seperempat nyak?" Kata Pak Ujang yang langsung disenggol bahunya oleh Mbok Nanik.

"Kenapa gitu, Pak Ujang?" Tanya Mama masih belum mengerti.

"Kalau kata anak muda zaman sekarang mah, konyol, Bu. Katanya zaman sekarang ini revolusi mental tengah digalakkan, kurikulum 2013 menuntut siswa aktif dan bermental baja. Tapi Bu, kenyataanya ekspektasi lebih banyak mengkhianati realita," jelas Pak Ujang yang masih harus muter-muter jalanan Bandung untuk menjelaskan arah dan tujuan sebenarnya.

"Ah, Bapak ini terlalu berbelit," protes Alma sudah tidak sabar.

Pak Ujang tertawa kecil. "Jadi pas kapan kitu kan Teh Milan ka dieu, Pak, Bu. Baru pertama kali kan? Jadi masih bingung cari alamatnya. Saya itu duduk di depan loh, tapi dianya bolak-balik, muter-muter, balik lagi, sampai berulang kali. Kan dia teh bisa tanya ke saya, dia juga sudah ngelihatin saya berulang kali. Lamun teu saya samperin juga teu tahu ini teh rumahnya Teh Alma."

Mama tersenyum tipis, bagi Alma sikap Milan itu sih biasa. Lebih parah dan lebih konyol ketika dia di Stadion, berteriak sampai urat-urat lehernya hampir putus. Atau bisa kehilangan pita suaranya. Parah.

"Masih mending, Pak. Dia kalau di stadion teriakannya ngalahin announcer-nya. Ampun," sahut Mama menggeleng.

"Iyakah, Bu? Feminim gitu," Pak Ujang terlihat tak percaya.

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang