1.Legowo

9 1 0
                                    

Di luar masih gelap. Namun suara ayam sudah terdengar bersahutan. Seorang lelaki tua bangun, menuruti panggilan alam. Dia meraba setiap langkah menyusuri ruangan di rumahnya yang berdinding papan. Tubuh karto tak lagi sehat dan kuat seperti dulu, karena termakan usia.

Sekumpulan asap menyeruak dari tungku perapian. Di sana pendampingnya dengan setia menata kayu yang terbakar api. Hingga kehadirannya diketahui. "Eh Pak'e mau ke kamar mandi?" Jamiah, begitu nama istrinya, datang menghampiri. Dengan sabar dia menuntun karto.

Tidak begitu lama jamiah menyibukkan diri. Dia memasak untuk sarapan. Kemudian menyiapkan piring berisi nasi serta lauk seadanya. Kemudian menyuruh lelakinya makan. "Ayo Pak'e kita sarapan!"

Hanya itu yang tersisa hari ini. Selanjutnya dia akan meminta bayarannya sebagai buruh tandur pada juragan tanah untuk membeli beras dan kebutuhan sehari-hari.

Selama empat tahun ini jamiah menggantikan posisi karto mencari nafkah. Lelaki itu tak mampu lagi bekerja. Mereka tak memiliki lahan ataupun sawah untuk digarap.

Anak-anak mereka juga sudah berkeluarga dan pergi merantau. Sesekali mereka datang menengok saat mereka mau saja. Tetapi jamiah memiliki hati yang tabah dan sabar, hanya mensyukuri segala yang sudah diberikan-Nya.

"Pak'e, aku pamit dulu, ndak lama kog" Jamiah mencium tangan lelakinya itu, sebelum berlalu. Sepasang mata berkaca-kaca memandangi kepergiannya. Perasaan yang haru berselimut duka di dalam dada. Bisa saja jamiah yang sepuluh tahun lebih muda darinya pergi mencari kehidupan yang jauh dari nestapa. Karto pernah berharap tak lagi menyusahkannya.

Suatu hari dia tak pulang seharian, membuat jamiah menangis. Dia mencari lelakinya ke semua tempat yang mungkin saja di singgahi. "Pak'e dimana toh?" Teriakannya tak ada sahutan. Matanya terus mencari keberadaan karto.

Sampai di sebuah jalan setapak, dari kejauhan mata jamiah menangkap sosok lelaki yang sedang berjalan mendekati sungai. Dia menyadari siapa lelaki itu. Matanya membulat sambil berteriak dan tangisnya meledak. "Pak'e berhenti!" Lelakinya itu terus menerobos aliran sungai yang deras. Saat itu air sungai meluap. Tingginya mungkin bisa menelan orang dewasa.

Jamiah berlari cepat untuk mencegah langkah karto. Tangannya sekuat tenaga menarik tubuh karto ke tepian. Tangisnya tak berkesudahan saat memeluk lelakinya yang hampir tenggelam di sungai. "Ada apa toh Pak'e?" Jamiah menatap lelakinya itu dengan air mata.

"Ngopo toh Pak'e pergi ndak pamit, tega ninggalin aku sendirian?" Tangan itu memijat kakinya yang kurus dengan tatapan nelangsa. Bulir air mata deras berjatuhan di sudut mata. Ada yang begitu sesak tak tertahan hingga lelaki itu pun memeluk istrinya. Mereka menangis berdua, menumpahkan segala rasa, yang hanya dipahami oleh hati yang duka.

Cinta kasih keduanyalah yang perlahan menguatkan satu sama lain. Tak ada yang ingin menelan pahit kehidupan. Namun semua sudah garis takdir yang mau tak mau harus dijalani dengan keikhlasan agar selalu 'legowo'.

KUMCERМесто, где живут истории. Откройте их для себя