4. Gelisah

3.2K 75 0
                                    

BRUUK!!

PRAAANG!

Hanna limbung. Ia berusaha menggapai kasur tetapi tangannya menyenggol lampu tidur disebelah ranjang. Kepalanya membentur pinggiran meja. Ia tak sadarkan diri.

Rosma yang mendengar kegaduhan itu segera berlari ke kamar Hanna.

"Hanna! Hanna...Ya Allah.."

Rosma panik. Terlebih ia melihat pelipis keponakannya itu mengeluarkan darah. Ditepuk-tepuknya pipi Hanna. Tidak ada respon. Rosma berusaha mengangkat tubuh Hanna ke atas ranjang. Usahanya sia-sia. Ia segera berlari keluar rumah mencari pertolongan.

"Tolooong.."

***

Reza baru saja pulang dari tempat kerja. Dilemparkannya tas ransel hitamnya ke atas meja. Tubuh atletisnya serasa lengket oleh keringat. Seharian ini kota Pekanbaru luar biasa panasnya. Segera ia masuk ke kamar mandi. Kucuran air dari shower menyegarkan tubuhnya kembali. Tak lupa ia mengambil air wudhu. Ia bersiap untuk sholat ashar. Empat raka'at sholat ia lakukan dengan khusyuk. Dan sudah tahiyat akhir ketika Reza mendengar suara minta tolong.

"Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.."

Reza selesai salam, mengusap wajahnya, kemudian melipat sajadah.
.
.
.

"Tolooong.."

Reza menajamkan pendengarannya. Suara itu.

"Seperti suara Ibu Ros."

Reza keluar rumah. Memastikan asal suara dari rumah Ibu Rosma, tetangganya.

"Ejaaa.. tolong ibu, Nak..!"

Rosma yang melihat Reza sekonyong-konyong menghambur dan menariknya masuk ke rumah, lalu menuju kamar Hanna. Reza yang masih memakai baju koko lengkap dengan peci dan sarungnya sempoyongan mengikuti Rosma.

"Ada apa, Ibu? Sss...sebentar Eja belum ganti baju."

"Ngga ada waktu, Eja, nanti saja. Itu... Itu.... Anak ibu, tolong...."

"Astaghfirullaahal'azhiim.."

Ia melihat seorang gadis tergeletak di lantai dengan pelipis berdarah. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Bukan perkara yang sulit bagi Reza mengangkat tubuh semampai Hanna ke atas ranjang.

Bau minyak kayu putih menyadarkan Hanna. Perlahan ia membuka matanya. Wajahnya mengernyit kesakitan. Pelipisnya nyeri. Lukanya tidak terlalu parah. Rosma membersihkan sisa darah, membubuhkan cairan obat luka pada kapas dan menutupnya dengan kain kasa.

"Hanna, apa sudah baikan?"

Rosma menyodorkan teh hangat pada Hanna agar segera diminum.

"Kalau tadi tidak ada Reza entah apa yang akan Mak Tuo lakukan.
Oiya, Eja, ini ponakan Ibu dari Bukittinggi."

Reza mengulurkan tangannya.

"Reza."

Hanna tersenyum lalu mengangguk. Ia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Reza cukup paham. Ia menarik kembali tangannya.

"Ibu, Eja permisi pulang ya, sepertinya mbaknya udah ngga apa-apa."

"Oh, iya. Makasi banyak lo, Eja. Coba kalau tadi ibu ngga lihat Eja, haduuuh.. Eh, ngga dibikinin kopi dulu nih."

"Ngga usah ibu, udah deket Maghrib."

Rosma mengantar Reza keluar.
.
.

Hanna menyentuh lukanya.

"Aw... Astaghfirullah.. kerudungku.."

Hanna baru menyadari, ketika Reza datang tadi ia tidak memakai kerudung. Ia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang baru saja dilaluinya. Dan pria itu, kenapa dia merasa seperti telah kenal lama. Wajahnya seperti tidak asing. Dan juga tampan.

DIJODOHKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang