Day 6 | Biar Senja yang Berucap

585 120 1
                                    

Indah. Tidak ada yang lebih indah dari pemandangan hari ini. Lagi, aku ke mari saat matahari sudah benar-benar hampir tenggelam. Kabut-kabut mulai bergerak menyelimuti seluruh desa, seiring bergantinya langit menuju temaram.

Sudah tidak ada lagi pagi yang menanti. Bagiku, di depan sana aku hanya bisa melihat kegelapan malam yang sangat dalam, mereka menungguku terjerembab ke sana.

Indah. Sangat berbeda jika hanya menyaksikannya ketika duduk bersender pada pohon seperti biasa. Di sini, berdiri di ujung tebing, aku lebih dapat menyaksikannya. Sedetik kemudian, aku merasa gravitasi seakan menarikku.

"HOII!! SIAL---"

Aku terbelalak, suara ini begitu familiar. Saat membuka mata, dapat kulihat wajah cemas pemuda heterokrom yang tampak berusaha menahan tubuhku agar tidak terjatuh ke bawah.

Ah, Déjà vu.

"Shouto?" Tidak. Aku kelepasan memanggil nama depannya. Sungguh bodoh. Namun aku mencoba tersenyum ketika ia berhasil menarikku naik ke permukaan.

"Berhenti menunjukkan senyummu itu. Membuatku muak."

"Kenapa ada di sini?" Tanyaku, sangat heran. Sejujurnya aku terganggu dengan eksistensinya sekarang. Menggagalkanku untuk mengakhiri penderitaan.

"Seharusnya aku yang tanya! Kenapa kau mau bunuh diri? Kau gila ya! Sudah kuduga kau pasti menghindariku sampai kemarin tidak menemuiku. Aku tahu, tidak mungkin kau tidak ke mari, jadi aku menunggu hingga sore. Tapi tidak kusangka.. kau malah mau meloncat dari situ."

Dia baru saja berbicara panjang lebar? Untuk mengutarakan kekesalannya?

"Sudah kubilang untuk menghentikan senyuman bodohmu! Seharusnya aku tahu, pertama kali melihat senyummu itu, bukan sebuah senyum yang mengatakan kau baik-baik saja."

"Kau bilang padaku, mengutarakannya pada alam kala memiliki beban, tidak menyalahkan diri sendiri, dan berbagi pada seseorang, akan membuat beban itu hilang. Semudah itu kau berbicara, padahal kau malah menyimpannya sendiri."

"Todoroki-kun.." aku merasakan tangannya meraih tubuhku, mendekapku dalam pelukannya. Todoroki kembali berbicara, nadanya tak lagi emosi seperti semula, bersuara dengan lembut.

"Padahal ada aku, dari kemarin hari hingga sekarang, ada aku di sini."

Napasku tercekat. Bodohnya aku. Todoroki Shouto kembali bukan karena keegoisanku semata ingin ia hadir di sini. Mungkin karena... takdir? Kedua tanganku yang berada di punggungnya semakin mengerat, bukan hanya sesak saja yang sedang kurasakan. Ada haru yang bercampur di sana.

"Hei," ujarnya setelah melepaskan pelukan, menatapku lamat-lamat. "Aku seperti merasa déjà vu. Kepalaku bahkan mendadak sakit."

"Kau tidak apa-apa?"

Todoroki menggeleng. Ia kembali berucap, "Kau menyebut nama depanku tadi, sekali. Aku yakin aku tidak salah dengar. Padahal kita sama sekali belum memperkenalkan diri satu sama lain."

Aku tersenyum. Masih menunggu lontaran kalimat selanjutnya.

"Apa kita pernah saling mengenal? Jujur saja, aku seolah pernah mengalami hal ini, bertemu denganmu, dan begitu nyata."

Aku beranjak. Merapihkan baju yang sempat berantakan. Saat ini, aku sungguh sudah merasa baikan. Afeksi emosi Todoroki, kekesalannya, juga kehangatan pelukannya, semua meredakan segala hal yang berkecamuk di hatiku. Menyingkirkan kegelapan tak berdasar di dalam sana.

"Todoroki Shouto, aku hanya menjawab, tetapi tak akan pernah memberimu penjelasan, karena suatu alasan. Aku menjawab; ya, kita pernah mengenal. Bisa kau tanyakan penjelasan itu pada sang senja? Terima kasih."

Aku melangkahkan kaki. Meninggalkan Todoroki yang masih duduk termangu.

Karena kalau kau ingin mengingatnya, hanya dari dalam dirimu sendiri yang bisa. Aku takut, jika menjelaskannya malah akan membuat penyakitmu tiba-tiba kembali menyerang.

Karena aku tidak ingin kehilanganmu lagi.[]

-oOo-

A/N :
Heuu marathon 5 chapter dalam sehari biar cepet dipublish. Sungguh keriting ini jari lol xD

Tinggal ending! Dan mungkin aku bakal kasih bonus ketika sudah selesai?

Mind to vote and comment anyone? ;))

7 Days in Summer | Todoroki ShoutoWhere stories live. Discover now