3.4

250 32 0
                                    


Eri baru bisa datang ke rumah sakit dua hari kemudian. Jam 1 siang setelah ia berbohong pada senior dan dosennya bahwa ia ingin mengunjungi seorang teman lama.

"Apa maksudnya tidak ada?" Eri kebingungan. Ia baru saja meminta hasil tesnya tapi suster muda yang sedang berjaga mengatakan hasil pemeriksaannya tidak ada.

"Sebentar, akan saya cari lagi." Jang Hae-Won berucap. Raut wajah gadis muda itu kebingungan. Ini minggu kedua-nya magang di rumah sakit ini. Ia belum begitu ber-pengalaman dan takut sekali jika membuat kesalahan. "Siapa dokter yang menangani Anda?"

"Dokter Kim," Eri berhasil memanggil ingatannya sete-lah beberapa saat.

Jang Hae-Won kembali menemui Eri setelah beberapa saat mencari di rak arsip. "Apakah yang menelepon Anda mengatakan akan memberikan hasilnya pada Anda jika Anda datang langsung kemari?"

"Tidak...ia bilang dokter Kim akan menemuiku,"

"Anda yakin dokter Kim?" Hae-Won memastikan. Ia pernah mendengar suster senior menganalisis seperti itu pada para pasien. Kadang pasien suka seenaknya sendiri dalam menyebutkan nama dokter yang menangani mereka. Apalagi yang berdiri di depannya memiliki nama seperti orang asing. Bisa saja ia salah. "Kim Seok-Jin?"

Eri mengerutkan kening, tidak sabar dengan pelayanan yang lambat. Ia jadi ingat rumah sakit di Indonesia. Tidak ia sangka di luar negeri ada juga yang pelayanannya payah. "Aku tidak ingat nama lengkapnya. Pokoknya para suster memanggilnya dokter Kim."

"Mungkin Anda salah ingat. Dokter Kim sejak 5 hari yang lalu tidak berada di tempat," Hae-Won mencoba menyodorkan kemungkinan.

"Aku tidak tahu. Harusnya kau yang memberitahuku." Eri menggelengkan kepalanya dengan frustasi. "Aku ingin tahu hasilnya. Bisa kau katakan sekarang?"

"Hasil pemeriksaannya tidak ada di sini sekarang. Mestinya sedang dibawa dokter yang lain."

"Cari sekarang, aku tidak bisa menunggu lama!" suara Eri meninggi. "Kalian para suster apa tidak ada yang bisa bekerja dengan benar? Apa susahnya sih mencari hasil peme-riksaan?"

Para suster di belakang meja pelayanan semakin banyak yang berkerumun melihat Eri yang sepertinya akan meng-amuk di tempat.

"Kenapa? Ada apa?" mereka saling berbisik. Mereka bisa melihat junior mereka mengkerut ketakutan disemprot oleh seorang pasien. Suster Sang, sang senior mendekati Hae-Won yang sepertinya sudah ingin menangis. "Apa yang dia minta?" tanya si senior.

"Hasil pemeriksaannya. Sepertinya dibawa dokter peme-riksanya. Katanya dokter Kim yang menanganinya, tapi dokter Kim pergi ke luar negeri sejak beberapa hari yang lalu. Jadi tidak mungkin dia diminta datang menemuinya. Kurasa bukan dokter Kim yang menanganinya."

"Siapa namanya?"

"Eri An-" Hae-Won mencoba mengingatnya. Gadis ini sedikit bernafas lega. Suster Sang selalu membantunya kalau ia mengalami kesulitan.

"Ah...bukan orang Korea?" tanya seniornya. "Aku ingat. Aku yang meneleponnya kemarin. Hasil pemeriksaannya ada di dokter Ahn."

"Dokter Ahn? Tapi dia bilang dokter Kim," Hae-Won berbisik sambil mencicit.

"Aku yakin. Aku menyuruhnya datang kemarin tapi ia tiba-tiba menutup teleponku. Dokter Ahn menunggunya sampai larut malam tapi ternyata ponsel itu bukan miliknya. Jadi aku harus berulang kali melakukan panggilan dan menitipkan pesan. Heran juga kenapa dokter Ahn melaku-kan ini. Yang butuh kan pasien ini, dia pasti datang sendiri," Suster Sang menggelengkan kepalanya lambat-lambat. "Jadi sekarang dia datang. Hm...sayang sekali, hari ini dokter Ahn berangkat ke Incheon,"

"Lalu, aku harus bilang apa ke dia?" Hae-Won kembali dilanda ketakutan. Ia belum terbiasa dengan suasana rumah sakit yang sebenarnya.

"Biar aku yang tangani. Wanita dengan kondisi histeris sepertinya selalu suka bikin perkara." Suster Sang kelihatan sebal. "Apalagi yang belum menikah,"

"Nona Eri," Suster Sang mencoba tersenyum. "Maaf, kemungkinan besar hasil pemeriksaan Anda dibawa oleh Dokter Ahn. Saat ini dokter Ahn tidak berada di tempat sampai minggu depan. Kami sangat menyesal dengan ketidaknyamanan ini."

"Rumah sakit macam apa kalian ini?" Eri mulai melotot. Ia perlu menyalurkan ketakutannya. Marah adalah salah satu cara yang cukup ampuh untuk menghilangkan bayang-an buruk yang menari di benaknya. "Kenapa hasil labku bisa dibawa oleh dokter Ahn?"

Suster Sang menatap Eri tajam. Ia benci sekali dengan jenis pasien yang suka berteriak di rumah sakit. Memangnya ia pikir ini jalan raya?. "Nona Eri, hasil pemeriksaan memang tidak ada. Tapi saya bisa memberitahu Anda hasilnya. Dokter Ahn hanya akan memberi tahu pasiennya secara langsung jika hasil lab menunjukkan positif. Jadi..."

Positif? Aku...positif HIV??? Eri tiba-tiba ingin sekali tertawa. Ia mulai mengembangkan senyumnya.

Suara suster itu masih terdengar olehnya samar-samar. "...selamat..."

Hahaha...Eri tertawa getir. Aku diberi selamat. Suster macam apa dia ini? Senang jika ada pasien baru?

"..kekasih...di belakang Anda..."

Kekasih? Sejak kapan... Eri merasa pandangannya ber-putar. Ada seseorang yang membisikkan namanya. Siapa? Eri mencoba memfokuskan pandangan tapi gagal. Lengan Eri terasa dicengkeram dengan kuat. Siapa yang memegangku? Seorang kekasih?

Eri menyipitkan matanya lagi. Kali ini sebuah wajah berhasil tertangkap olehnya. Ji-Hwan! Lalu semuanya gelap dan tenang.

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now