Bab 5.2

176 23 1
                                    


Eri tidak mengerti kenapa kampusnya tidak juga meng-ganti kloset jongkok menjadi kloset duduk. Kloset jongkok rasanya sudah kuno sekali. Ini saatnya mengadakan per-ubahan. Eri yakin jika ia menyuarakan hal ini, pihak kampus tidak akan setuju. Lebih baik memperbaiki fasilitas. Pasti itu dalih mereka.

Memangnya toilet tidak termasuk dalam fasilitas? Eri mencibir. Waktu itu, Fre cuma tertawa geli menanggapi Eri yang uring-uringan. Dengan gaya sok bijaksana, Fre ber-pendapat bahwa banyak orang Indonesia belum siap dengan perubahan.

"Tidak perlu berubah!" sanggah Eri. "Yang perlu adalah adaptasi. Lagian Fre...ini masalah kloset...jangan disamakan dengan pembaruan bidang ekonomi atau pendidikan atau semacamnya."

Eri tahu maksud Fre. Lihat saja berapa banyak toilet umum yang sudah menggunakan kloset duduk beramai-ramai menempel pemberitahuan tentang cara memakai kloset modern tersebut. Tidak untuk dinaiki. Begitulah tulisan yang ditempel tepat di belakang pintu tiap toilet umum dibarengi dengan gambar cara pemakaian dengan cara duduk.

Tapi tetap saja banyak sekali yang masih menginjak dudukan kloset duduk. Kebanyakan mereka masih meng-gunakannya dengan cara berjongkok.

"Dasar orang kampungan!" terkadang Eri mengumpat sebal. Eri jadi tidak rela mengeluarkan uang untuk mem-bayar jasa pemakaian toilet tersebut.

Tidak masalah jika dudukan toilet tersebut masih tetap bersih. Tapi hal itu rasanya nggak mungkin, mengingat mereka semua–para orang kampungan tersebut–memberi kenang-kenangan berupa cap sandal/sepatu di atas dudukan kloset. Inilah saat di mana Eri setuju dengan Fre tentang ketidaksiapan masyarakat Indonesia. Ia sendiripun masih belum siap, sama dengan semua orang yang ia sebut kampungan tersebut, hanya dengan porsi yang berbeda.

Eri tidak siap mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli semprotan pensteril dudukan kloset. Gadis ini selalu membawa botol semprotan setinggi 5 cm ini di dalam tas tangannya. Dudukan toilet yang kotor menjadi semakin menakutkan setelah ia belajar parasitologi. Banyak sekali cacing-cacing kecil yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia melalui media yang kotor.

Eri keluar dari salah satu toilet dan mencuci tangannya di wastafel. Aku rindu Seoul. Pikiran itu tiba-tiba melintas di benak Eri. Jalanan yang tertata rapi, udara yang sejuk, toilet modern yang bersih dan kering. Ah...kering. Eri hampir lupa pada poin satu ini.

Pertama kali ke Korea beberapa tahun yang lalu, Eri sangat benci toilet kering. Orang Indonesia terbiasa dengan air yang banyak. Toilet kering membuatnya merasa tidak bersih. Seminggu kemudian, saat menginjakkan kaki kembali ke Indonesia, ia berubah pikiran dan mengusulkan pada orang rumah untuk memakai kloset duduk. Ibunya menertawakannya, tentu saja. Boleh dibilang, kalau me-ngutip istilah Eri, ibu Eri masih orang kampung. Selera

orang desa. Tapi tetap saja beberapa bulan kemudian, ibunya menelepon dan mengatakan dengan ceria bahwa kamar mandi di rumah sudah berkloset duduk. Ibunya menyukai kloset duduk. Nggak bikin kaki kesemutan, itu alasan ibunya.

Tangan Eri menutup kran wastafel lalu terdiam. Ia baru sadar kalau pikirannya beberapa detik yang lalu mem-buatnya terasa sesak. Kunjungan terakhirnya ke Korea seminggu yang lalu tidak membuahkan kenangan manis. Tidak seharusnya ia mengenang tentang Korea.

Eri menghadapkan telapak tangan kanannya ke wajah-nya. Bersih. Tak ada bekas luka. Luka yang didapatnya dari operasi Ji-Hwan sudah hilang sejak berminggu-minggu yang lalu. Andai saja virus itu juga ikut hilang bersama lukanya.

Apa sudah ada perubahan? Eri bertanya dalam hati sambil menyusuri seluruh tubuhnya dengan matanya. Penurunan berat badan? Eri menyentuh pipinya dengan telapak tangannya. Ia masih terasa bulat.

Jangan bodoh, Eri! Gejala AIDS tak terlihat sampai bebe-rapa tahun mendatang. Saat itu, entah bagaimana pe-nampilanku. Eri menutup matanya sejenak lalu membuka-nya lagi dengan seuntai senyum tipis di wajahnya. Akhir-akhir ini, itulah yang sering ia lakukan. Tersenyum di depan cermin. Ia perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa dunia tidak berhenti berputar dan cuaca tidak menjadi buruk hanya untuk turut berduka dengan keadaannya. Walaupun di tubuhnya bersemayam penyakit yang berbahaya, ia masih hidup dan harus menjalani hidupnya.

Chin up, Eri! Eri mendongakkan dagunya lalu tersenyum untuk yang terakhir kalinya sebelum meninggalkan kamar mandi kampusnya. Setengah jam lagi ia ada kuliah di rumah sakit. Ia harus berangkat sekarang kalau tidak mau terlambat.

Marrying AIDSWhere stories live. Discover now