(Fakultas Kedokteran)

875 146 36
                                    

Pada Hari Penyatuan, Efka memelukmu sewaktu kamu siuman.

Tanpa diduga, kamu menamparnya begitu ia layangkan ciuman.

Sosok karismatik Efka amat termasyhur. Namanya manis bergulir di bibir para gadis. Yang bahkan tatkala Efka melenggang mabuk dengan rambut porak-poranda dan mata panda saja, sanggup membikin gadis-gadis yang tengah cemberut lekas menyambut.

Berkebalikan, sosok nyelenehmu justru simpang siur. Namamu anyir berakhir di bibir para pemuda. Yang bahkan tatkala kamu melenggang anggun dengan gaun paling rancak dan parfum semerbak pun, mampu membuat para pemuda yang suntuk lekas mengamuk.

Dapat dikata, bapak-bapak dari gadis-gadis itu pasti tak lagi ragu menjadikan Efka calon menantu.

Ibu-ibu dari pemuda-pemuda itu pun tentu riang mengangkasakanmu ke puncak klasemen calon pembantu.

Hingga di penghujung pekan yang cerah ini, Efka sukses melayari pergumulan batinnya—yang memang saban tahun terjadi. Perihal kepada siapa kali ini akan ia beri lapisan terluar jantungnya, keyakinannya bahkan overdosis. Buah pemikiran matang semalaman. Efka bungkam pekik alarm—yang membangunkannya—dengan perintah suara, bangkit dari ranjang adaptif suhu miliknya, lalu bersiap.

Di penghujung pekan yang cerah ini pula, kamu menggeliat dibangunkan gaduh kokok ayam ketawa milik tetangga yang, betapapun jenakanya, gagal menularimu gelak. Ya, kamu bosan semalaman. Jenuh akibat ingin dan enggan yang mendermaga serentak. Bahkan kini beku sebagai masygul. Segera kamu sibak kelambu tempat tidurmu, lantas bersiap.

Usai mandi dan berpakaian, Efka berdeham dua kali. Ay Am, bola baja nirkarat yang meringkuk di sudut kamar, menggelinding ke arahnya. Robot multifungsi tersebut taktis menjulurkan sepasang belalai yang memapah sebuah nampan berisi sejumlah benda. Efka mengambil dua di antaranya, berdeham dua kali, dan bola merah itu pun berguling ke posisinya semula. Meninggalkan Ay Am yang mesti mengisi daya, Efka berangkat.

Usai membuang abu spiral obat nyamuk bakar, kamu tukar seprai putih polosmu dengan yang baru sebagaimana biasa—agar resik senantiasa. Namun, tak sebagaimana biasa, kamu tak lantas menyikat gigi dan menyambar handuk lalu mandi. Kamu justru berjingkrak-jingkrak, rahang mengatup menahan jerit, belingsatan mengucir rambut. Dari pagar bambu di luar, terdengar gerung mesin mobil berhenti.

Berkacamata, berjas putih klimis, menggenggam segulung kertas merah jambu berpita keperakan, keteguhan, juga kunci mobil terbang edisi terbaru, Efka tiba di teras rumahmu.

Tak peduli piama yang kucel, wajah belum bersua cermin, iler menggerayang pipi, dan mimpi yang masih menayangkan epilognya, bergegas kamu ke depan kala mendengar barangkali tamu.

"Selamat pagi!"

"Ya, sebentar!"

Mantap, Efka mengetuk pintu, menembakmu kemudian.

Bimbang, kamu putar gagang pintu, pingsan kemudian.

Efka lahir dan hidup di masa depan. Ketika pesimisme terkucilkan. Ketika kejahatan segan disesalkan. Ketika hati yang gulita menyepak hati lainnya yang hendak menggemerlapkan. Ketika teknologi sukar memerlahan. Ketika rivalitas bersimaharajalela dalam tatanan. Ketika konsonan menjelma peradaban. Jujur, Efka sendiri menikmatinya.

Di lain pihak, kamu terlahir dan hidup di masa lalu. Ketika optimisme masih malu-malu. Ketika akomodasi acap membenalu. Ketika kekhilafan berhadiah ketokan palu. Ketika uang lelah menyortir hanya yang paling diperlu. Ketika tradisi bersidahulu. Ketika keugaharian menjelma penghulu. Jujur, kamu pun cukup menikmati.

Kemarin pagi, berbarengan di apartemen Efka dan di rumahmu, Tu Han bertamu dan berkata, "Selamat, Anda telah meraih U, N, dan B; Uang (kekayaan), Nalar (pengetahuan), dan Bangga (kedudukan). Tersisa K, Kasih (cinta). Maka, genapkanlah keempat unsur UNBK tersebut dan rengkuhlah Bahagia."

"Caranya?!"

"Mengembaralah," Tu Han menjawab, "ke masa sekarang. Gapailah K. Rayakan Hari Penyatuan."

"Bisa lebih detail?"

Kepada Efka, Tu Han memerintahkan, "Pada sepotong senja yang memperjumpakan pucuk musim penghujan dan akar musim kemarau, pergilah ke alun-alun. Di sana telah disebar seratus pisau bedah. Cepat. Rampaslah pisau yang berpendar keemasan sebelum purnama meletakkan batu pertamanya. Bawalah ke kamar. Duduk bersemukalah mengarah barat. Kupas lapisan terluar jantung Anda dengan mata pisau emas tadi. Anestesinya? Lamunkan saja gadis pujaan Anda. Kemudian—"

Kepadamu, Tu Han memerintahkan, "Pada sepotong senja yang memperjumpakan pucuk musim penghujan dan akar musim kemarau, tutuplah seluruh pintu dan jendela. Nantikan pemuda pujaan Anda. Sabar. Tunggulah di kamar. Hendak ke luar sebab mendesak? Maksimal delapan belas langkah kaki. Dilarang berbincang lebih dari delapan belas suku kata. Tidurlah bila mengantuk. Pagi-pagi benar, simak ketukan pertama pada pintu depan rumah Anda. Kemudian—"

Semalam, sebelum tidur, Efka berjuang mengarang sebait puisi yang Tu Han tugasi. Jidatnya mewujud trigonometri. Remukan-remukan kertas merah jambu, yang tak lain lapisan terluar jantungnya sendiri, berhamburan di lantai kamar. Tiap selapis jantung yang dikupas, gugurlah usianya satu bulan. Tetapi, ia cemas bukan lantaran itu. Melainkan, sungguh, Efka tak suka tak berterus terang.

Semalam, sebelum tidur, kamu menapak penuh kalkulasi menuju warung soto ayam—yang tampak tak higienis—di seberang rumahmu. Kunjungan perdana. Bagimu, kebersihan sudah laksana arsip bersejarah yang wajib dikawal walau orang-orang melengos terhadapnya. Tetapi, karena kebosananmu erupsi, plus perut ingin cepat tersumpal, terpaksalah kamu borong sebungkus bagai membeli kucing dalam karung. Sesampai di meja makanmu, kamu keki.

"Selamat pagi!" Demikianlah, Efka berseru setiba di teras rumahmu pagi ini. Efka buka gulungan kertas merah jambu berpita keperakan di tangannya, berlutut, dan, bak pujangga, mulai membacakan puisi yang ditoreh di selembar lapisan terluar jantungnya. Menembakmu.

"Ya, sebentar!" sahutmu dari dalam kamar. Lepas mengganti seprai, buru-buru kamu melimbai ke pintu depan. Kamu tangkap lantang suara pemuda. Agak kikuk kedengarannya. Lalu, manakala berserobok empat mata langsung dengan Efka, kamu pingsan.

Efka pun memutuskan: memelukmu.

Kamu perlahan siuman.

Efka malah kelewatan: menciummu.

Dan, kamu menamparnya.

Pintu berdebum menutup. Efka lunglai berbalik pulang. Ia campakkan jas putihnya, meremas puisi romantis tadi hingga gigi bergemeletuk, cabik hingga berpuing-puing.

Pintu berdebum menutup. Lapar menggelandangmu ke dapur. Kamu raup soto semalam—yang urung dimakan, malah dibungkus kembali—dari tudung saji, ke kompor, menghangatkannya.

Dengan pundak menggelongsor Efka bergumam, "Barangkali kamu mencari kesahajaan. Bukan prestise ataupun keterjaminan hari tua yang terlampau mengandai-andai itu."

Dengan napas semenderu siklon kamu berbisik, "Banyak gadis yang lebih mumpuni. Aku tak yakin apakah mampu tulus mengabdi di sepanjang sibukmu kelak."

Efka dan kamu memang dirintangi semiliar perbedaan.

Namun, kamu dan Efka diberkati satu kesamaan: otak.

Efka terus menghantam-hantamkan kepalan tangan ke roda kemudi mobil terbangnya. Buku-buku jarinya lecet. Efka membenciku, secara istilah.

Kamu jijik mengibas-ngibaskan jemari saat menyisihkan komponen soto yang kamu pantangi dari mangkuk. Kamu membenciku, secara harfiah.

Efka benci tulisan tangannya yang amat menyerupaiku.

Kamu benci komponen di sotomu yang adalah tubuhku.

[.]


====================

Tebak, "aku" (narator) dalam cerita ini siapa (apa)? Hehe

Terbuka untuk segala pertanyaan, koreksi, kritik, dan saran.

FKWhere stories live. Discover now