PART 4

3.8K 348 9
                                    

Aruna menghelah napas panjang sembari menatap lampion hasil karyanya. Di putar perlahan lampion itu dan dipandanginya dari berbagai sisi.

"Guntingan tidak rata, bentuk sedikit melenceng, dan... Terlihat tidak menarik." gumamnya sendiri, "padahal sudah tiga tahun ini aku belajar membuatnya, tapi tidak pernah bagus hasilnya. Ah, sudahlah... Siapa juga yang peduli," ujar Aruna akhirnya. Dengan cepat ia menggeleng dan mengendikan bahunya acuh.

Ia menaruh lampion itu di atas meja, berdampingan dengan satu lampion lainnya yang telah ia buat sebelumnya.

Dua lampion itu nantinya akan di bawa menuju lapangan. Sebab hari ini akan ada pesta kebun di sana. Pesta kebun adalah pesta rakyat di desa Long Panghai sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rezeki yang telah diberikan. Tanah subur dan mata air dari pegunungan yang berlimpah merupakan rezeki yang tak tenilai harganya. Maka dari itu, para leluhur terdahulu mengadakan acara ini sebagai bentuk ucapan terimakasih pada sang pencipta. Pesta ini akan dipenuh oleh berbagai macam jenis sayuran, buah ataupun macam tanaman ladang lainnya.
Setiap warga yang datang wajib membawa satu lampion yang nantinya pada penghujung acara akan diterbangkan secara bersama.

"Bu, lampionnya sudah jadikah?" tanya Bian yang tiba-tiba datang dari arah kamarnya. Bocah itu sudah terlihat rapih dengan celana pendek selutut dan kemeja biru laut kesayangannya.

Aruna mengangguk, "sudah dong!"

"Mana?" Aruna menggerakan dagunya, mengisyaratkan Bian untuk mengikuti arahannya, "itu."

Bian terdiam, "kenapa bentuknya seperti itu?"

"Apa? Memang kenapa bentuknya? Tidak bagus?" Bian mengangguk kecil sembari menatap Aruna tak bersemangat.

"Ya sudah kalau tidak mau membawanya, ibu buang saja. Supaya kau tidak usah pergi ke pesta itu," ujar Aruna cuek.

"Ah, ti-tidak... Tidak... Lampion itu sangat indah!" Bian segera mengamankan salah satu lampion tersebut. Ia tidak mau sampai tidak datang ke pesta itu. Sungguh sangat rugi sekali!

Aruna terkekeh geli melihat wajah Bian yang nampak terpaksa menerima lampion buatannya.

"Tapi... Kenapa lampionnya hanya dua?"

"Ibu tidak akan ikut ke sana. Kau pergi dengan nenek saja ya?"

"Kenapa?" Aruna menggeleng pelan, "banyak pekerjaan rumah yang harus ibu selesaikan."

Bian hanya mengangguk paham. Ia segera berpamit pada Aruna untuk pergi ke lapangan.

Sekepergian Bian, Aruna memilih masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda; menulis. Selain menjadi guru, Aruna juga aktif dalam dunia literasi. Entah itu menulis esai atau puisi. Beberapa karya esainya juga pernah dimuat dibeberapa media lokal kalimantan. Namun untuk puisi, Aruna belum pernah mencoba. Ia hanya menulis lalu menaruh puisi itu untuk dirinya sendiri.

"Kak, Runaaa...!"

Aruna terkesiap saat mendengar teriakan seorang gadis dari balik jendela kamarnya. Dengan langkah cepat ia menghampiri seorang gadis yang berdiri di balik jendela kamarnya. Sosok itu tersenyum riang saat Aruna membuka jendela.

Aruna terbelalak kaget saat melihat sosok itu, " Nira?! Ya Tuhan, ini sungguh dirimu?"

Gadis berambut pirang itu mengangguk antusias.

Aruna masih terdiam. Lalu detik selanjutnya, Aruna menutup jendela kamarnya. Gadis yang tadi dipanggil Nira itu mengernyitkan dahinya, kenapa Aruna menutup jendelannya?

"Kak Runa, apa kau tidak rindu denganku?!" teriaknya sembari mengetuk jendela usang itu.

Baru saja Nira ingin berteriak lagi, Aruna sudah lebih dulu berlari dan menghamburkan diri memeluk tubuh mungil Nira, "Aahh!!! Aku rindu sekali denganmu!"

SANDIAKSARAWhere stories live. Discover now