Chapter 3

494 63 13
                                    

Sudah berjam-jam gadis itu meringkuk dengan tatapan hampa sejak kedua lelaki berbeda surai itu meninggalkannya. Bahkan mentari sedang siap-siap untuk terbenam di ufuk barat sana.

Sebenarnya perut sudah terasa lapar, tubuh terasa kaku, pun mata terasa benar-benar berat. Ino memaksa iris samudera miliknya melirik dinding kaca berlapis gorden ungu, berniat sadar, kemudian segera beranjak walau terhuyung-huyung menuju kamar.

Bruk!

Gadis itu menghempas tubuh ringkihnya di atas kasur empuk berselimut putih. Sebentar saja—karena Ino tahu ia harus segera keluar dari labirin yang ia ciptakan untuk tersesat dalam diri sendiri yang entah berguna untuk apa, ia beranjak kembali dengan sebuah handuk dalam genggaman. Lebih baik mandi kemudian memberi nutrisi untuk tubuh dari pada mengingat masa lalu dan meratap-ratap seperti gadis tidak waras.

><

"Kau ingin mengunjungi gadis itu?" Sasuke mengangkat alis hitamnya, merasa aneh dengan ucapan rekan sekaligus sahabatnya—Naruto. "Untuk apa?" Tanyanya lagi.

"Aku terus memikirkan hal-hal aneh yang tidak membuatku nyaman seharian ini." Naruto meneguk sisa minuman dalam gelasnya, kemudian menatap gelas itu lama sebelum melanjutkan. "Apa ini di sebut rasa bersalah?"

"Jadi kau merasa bersalah?"

Naruto sontak menatap Sasuke, iris lelaki itu sempat menyipit heran. "Kau tidak?"

"Kenapa harus?" Sasuke mengangkat bahu selagi berkata demikian, "ini adalah perkerjaan, kau tidak bisa hubungkan dengan emosi pribadi."

"Kau benar," Naruto menghela nafas pendek. "Seharusnya."

Lelaki bersurai pirang tersebut kemudian meminta segelas lagi minuman beralkohol kepada bartender, lalu menatap gelas berisi tersebut dalam diam.

"Sebenarnya Sasuke, aku seperti mengerti mengapa gadis itu terlihat begitu tertekan ketika kita memaksanya keluar dari apartemen tua tersebut." Ujar Naruto dengan kerutan nyata di dahi.

"Kau sudah mabuk? Bicaramu melantur." Sahut Sasuke, merasa tidak ada yang perlu di perdulikan.

"Kau memang menyebalkan, teme."

Hening—setidaknya untuk mereka berdua karena musik bar yang nyaring tetap seperti hendak memekang telinga.

"Jadi intinya kau tertarik dengan gadis pirang itu?" Tanya Sasuke setelah sekian lama.

Sedang Naruto lekas membenarkan. "Ya, namun bukan dalam konteks lawan jenis."

"Hn."

"Aku merasa tenang di sekitarmu, kemudian merasakan hal yang sama di apartemen gadis itu."

"Bicara hal mistis?"

"Seperti itulah."

Naruto mendengus, Sasuke memang menerima segala hal tentang kepekaannya terhadap hal-hal mistis, tapi bukan berarti mempercayainya. Lelaki itu kerap kali hanya menganggap Naruto membual, walau memang sesekali juga mengalami hal-hal di luar nalar.

Tetapi kali ini, sepertinya Sasuke hanya percaya terhadap logika. Seperti, gadis itu hanya sedang dalam gangguan kecemasan atau phobia.

A R O M ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang