Pacarnya

286 26 0
                                    

Seminggu sudah umur pernikahan Galih dan Arana. Namun, mereka belum pernah saling menyentuh. Jangankan menyentuh, bicara saja bisa dihitung per katanya. Bahkan di depan orang tua, mereka tetap begitu.

Kali ini, mereka dipindahkan ke salah satu rumah minimalis namun elite di kawasan sebuah kompleks. Rumah itu sebenarnya sudah dihuni oleh Galih sejak kuliah karena dekat dengan kampus. Mereka disuruh tinggal di sana supaya mereka dapat mengubah sikap sesama pasangan agar mereka bisa lebih leluasa mengenal satu sama lain.

Secara, kan, kalau tinggal berdua dalam satu rumah, mereka pasti saling membutuhkan.

"Ini rumah ada tiga kamar. Satu di bawah, dua di atas. Berhubung kamar gue yang di atas, jadi lo di bawah aja," ujar Galih sembari menaiki jenjang tanpa menoleh sedikit pun ke arah gadis bercadar di belakangnya yang termangu.

Kalau di rumah mertuanya, Galih tidur di kasur dan Arana tidur di sofa. Mungkin kali ini lebih baik; tidur di kamar yang berbeda.

Arana membuang napas. Dia menyeret kopernya ke salah satu kamar lalu membuka pintunya. Serta-merta aroma mint menyeruak menyambut kehadirannya.

Bersih. Ruangan 5x4 itu sejuk. Kasur berukuran menengahnya dirapikan. Ada meja hias juga lemari besar di samping jendela. Serta terdapat AC di sudut dinding.

Arana masuk, menutup pintu pelan-pelan. Dia daratkan bokongnya ke tepian kasur. Baru saja duduk, eh, ketukan pintu dari luar menuntutnya untuk segera berdiri.

Tapi belum sempat Arana membuka pintu, Galih sudah masuk duluan. Membuat Arana kembali duduk seperti semula.

"Ini." Galih menaruh kartu ATM di samping Arana. "Sandinya 185559."

Kening Arana mengerut. "Buat apa?"

Galih balas mendengus. "Masih nanya. Buat biaya kuliah lo, lah. Kan emang niat lo nikah sama gue supaya bisa ngelanjutin kuliah."

Arana membuang napas, sabar.

"Aku bisa biayain sendiri." Arana menyerahkan kembali kartu ATM tadi. "Makasih."

Galih memijit pangkal hidungnya lalu berkata, "Nggak usah muna, oke? Gue ngasih, ya, lo terima. Udah. Cara lo basa-basi gue nggak suka."

Semilir angin yang masuk melalui jendela kian melintasi relung Arana. Menitipkan paku-paku kecil, membuat paku-paku itu mengendap dalam dadanya hingga membuatnya sakit.

Dengan mata yang mulai panas, Arana lantas membalas, "Kalo nggak suka kenapa aku dinikahin? Padahal ada banyak cara bagi kamu buat lari dari perjodohan ini, 'kan?" Mata Arana menatap Galih nyalang. Benar, sampai sekarang dia belum tahu alasan kenapa Galih fine saja menikah dengan Arana, walau Arana tahu betul Galih sungguh tidak sudi dengan perjodohan itu.

Galih mengangkat bahunya tak acuh. Dia menanggapi ekspresi terluka di wajah Arana dengan mengatakan, "Gue nggak mau ambil risiko perusahaan Papa dialihin ke orang lain, bukan ke anaknya. Secara itu ancaman kalo gue nggak mau nikahin cewek sholeha kayak lo."

Setelah berkata demikian, Galih langsung keluar dari kamar dan menutup pintu sekasar mungkin hanya untuk membuat Arana kaget.

**

Gadis itu, Arana, tengah menatap nanar kulkas di depannya. Isinya kosong melompong. Sementara perutnya yang dari tadi belum diisi melolong minta makan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 09, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mawar Tak UtuhWhere stories live. Discover now