#45 Yoonji (3)

172 24 12
                                    

Kupikir setelah masuk dalam bus dia akan melepas tanganku, ternyata dugaanku melesat. Ia membiarkanku duduk di dekat jendela, tanpa sekalipun melepas genggamannya dari tanganku. Aku tidak menepisnya karena kutahu itu hanya akan membuat suasana semakin canggung. Sudah kubilang, ia sama sekali tidak berubah, tangannya tetap terasa hangat.

Kurasa ia tidak perlu sampai mengantarku pulang karena kami bukan lagi sepasang kekasih. Namun itulah yang dilakukannya sekarang. Dia tidak membiarkanku jalan sendirian ke rumah setelah turun dari bus. Dengan senyumnya yang masih begitu canggung, ia memintaku untuk berjalan di depannya.

Setapak demi setapak kulalui dalam diam. Dia juga tidak bicara apa pun di belakangku. Kami sempurna diliputi keheningan. Hanya suara gesekan sepatu kami dan lalu lintas jauh di sana. Jika boleh aku ingin momen seperti ini berlangsung untuk waktu yang lama, sayangnya baru beberapa meter saja rumahku sudah kelihatan, yang itu pertanda bahwa kami harus berpisah lagi.

Aku pun berhenti dan membalik badan. Dia juga sudah berhenti di sana, berjarak kurang semeter dariku. Entah kenapa berdiri saling berhadapan seperti ini, di depan rumah, mengingatkanku akan hari itu.

Shit, aku semakin membenci ayah karenanya.

Ia dengan ragu mengangkat tangan kanannya, sambil tersenyum canggung. "Sampai ... jumpa. Bertemu lagi besok, di sekolah."

Tak ada jawaban yang terlontar dariku. Hanya anggukan samar.

"K-kalau begitu aku pulang. Dah!" Kini ia melambai dan lekas membalik badan untuk pergi.

Ia benar-benar ingin menghindariku, kurasa. Sikapnya hari ini, terkecuali saat menggenggam tanganku tadi, seolah mengatakan bahwa ia tidak ingin bersamaku lagi.

Baiklah, aku bisa apa memangnya?

Walau enggan, aku juga beranjak dari tempat itu untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Sudah pulang? Bagaimana ujiannya?"

Hah, orang itu. Melihatnya saja seketika membuat mood-ku menurun drastis. Tanpa merasa perlu untuk menjawab, aku pun langsung masuk kamar dan mengunci pintu.

Esok harinya lagi-lagi aku pergi ke sekolah naik bus. Ibu sudah menasehatiku untuk pergi dengan ayah kali ini, tapi tidak, tidak akan pernah. Jangan harap aku mau berbicara dengannya, apalagi satu mobil dengannya kalau hubunganku dengan Jimin masih tidak juga membaik.

Hari itu sekali lagi aku melihat Jihyun bersama pria yang kemarin. Kondisi gadis itu tampak lebih parah, dia sepertinya tidak sadar diri karena digendong di punggung oleh pria yang kemarin. Namun kini ada yang berbeda. Seseorang menghampiri mereka. Seseorang yang postur belakangnya sangat familiar di ingatanku. Seseorang yang memakai seragam sekolah yang sama denganku.

Park Jimin.

Ck, kenapa anak itu ada di sana?

Buru-buru aku lari ke pintu bus karena bus sedang berhenti akibat lampu merah. Kupaksa sopir untuk membuka pintunya, meski harus dengan sedikit perdebatan, akhirnya pintu dibuka juga dan aku pun langsung berlarian menyeberang menyusulnya.

Sedikit terlambat. Jimin sudah memulai perkelahian dengan pria itu.

"Jimin, hentikan!" Segera kulerai keduanya, menarik Jimin untuk mundur.

"Jadi kau orang yang membawa adikku pergi?!" Jimin mencoba merangsek untuk menghajar lelaki itu lagi, namun kutahan dia di jarak aman.

Pria yang akhirnya kutahu jelas parasnya, tampak tengah membersihkan kaos putih di balik jaket denimnya yang tidak terkancing. Lantas ia menunjuk Jihyun yang tadi didudukkannya di trotoar dengan kesadaran yang masih minim.

"Kau kakak dari anak itu? Kau si Park Jimin itu?"

"Yaa!" pekikku saat pria berjaket denim itu tiba-tiba mendorong dada Jimin yang otomatis membuatku tersingkirkan. Belum cukup, pria itu bahkan menarik kerah Jimin untuk saling bertatap muka.

"Dengar ya, Park Jimin-ssi. Bukan aku yang membawa adikmu pergi. Kau dan kedua orangtuamulah yang memaksanya pergi. Dia tidak ingin bertemu denganmu lagi, jadi enyahlah sekarang."

Aku pun dengan cekatan menangkap lengan Jimin yang baru saja didorong lagi oleh pria itu. Berbisik di telinganya, "Hentikan, Jimin. Jangan lakukan apa pun sekarang."

Seolah ucapanku hanya angin lewat, ia tiba-tiba menepis tanganku dan kembali menghadap pria itu. Sssh, aku hanya bisa mengusap dahi dan pipiku dengan frustasi sambil membuntutinya.

"Aku kakaknya jadi aku berhak membawanya pulang."

"Kalau kau memang benar kakaknya, kau tidak akan menjual barang-barangnya tanpa seizinnya. Cukup. Kau dan ayah-ibumu tidak akan sanggup memenuhi hidupnya. Sekarang dia adalah tanggung jawabku."

"Siapa yang memberimu izin atas hidupnya?!"

Pria itu menyeringai. "Lihatlah siapa yang bicara. Kau pikir karena kau kakaknya kau punya hak atas hidupnya? Dia bebas memilih dengan siapa dia tinggal. Dialah yang memutuskan, bukan kau. Lebih baik pergilah ke sekolah. Kau tidak ingin membuat ayah-ibumu lebih kecewa bukan? Menyingkirlah, dan jangan coba-coba menampakkan diri di depanku atau di depannya lagi."

Kalimat final. Aku langsung menahan Jimin yang berniat untuk mengejar kepergian pria itu bersama Jihyun. Kami hanya memandang mereka hingga mereka menghilang di tikungan yang kemarin sempat kami lalui. Meski hari ini gagal membawa Jihyun pulang, setidaknya aku tahu siapa pria itu.

"Dia sepupu Taehyung," ucapku yang langsung menarik perhatiannya. "Namanya Kim Mingyu. Dia tinggal di kompleks apartemen yang sama dengan Seokjin sunbaedan Taehyung. Dan kuliah di kampus yang sama dengan Seokjin sunbae."

Dia akhirnya benar-benar mencurahkan seluruh fokusnya padaku. "Kau mengenalnya?"

"Tidak. Aku hanya tidak sengaja melihat foto Seokjinsunbae dengannya, dan Seokjin sunbae menjelaskan siapa dia padaku."

Ia menatapku memohon. "Kita harus membawa Jihyun pulang sekarang."

Aku menggeleng. "Tidak sekarang. Hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan. Kau harus fokus. Urusan Jihyun bisa kita pikirkan nanti. Setidaknya sekarang kita sudah tahu siapa orangnya dan di mana Jihyun berada. Percayalah padaku, Jihyun aman."

Sayangnya kata-kataku kurang bisa meyakinkannya. Tentu saja, bagaimana dia bisa percaya kalau Jihyun aman dengan orang itu kalau kondisi Jihyun saja jauh dari kata baik-baik saja. Jika aku ada di posisi Jihyun dan Yoongi di posisi Jimin, Yoongi pun akan sama khawatirnya.

Waktu sudah semakin siang saat kulirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Hanya ada sedikit waktu yang tersisa sebelum ujian dimulai.

"Sekarang ayo kita—Jimin-a...."

Dia berusaha menyembunyikan wajahnya saat kuperhatikan lekat. Sayang sekali Park Jimin, air matamu sudah duluan tertangkap oleh retinaku. Kuraih dagu lancipnya itu, memintanya untuk ikut menatapku. Ck, rasanya seperti ada yang patah di dada sebelah kiriku. Harus kuakui, melihatnya menangis, sungguh membuat hatiku terluka. Tatapannya begitu redup seperti di saat-saat terakhir kami berstatus sepasang kekasih. Sisi terlemahnya muncul ke permukaan. Dan aku benci pemandangan itu.

Aku tahu bahwa kata-kata penyemangat tidak akan mempan untuknya. Suruhan untuk berhenti menangis pun akan semakin membuatnya hancur. Satu-satunya cara hanyalah pelukan. Persetan dengan status. Hatiku memang miliknya, tidak perlu berlagak seperti aku tidak menyukainya lagi.

"Ada aku di sini. Kau tidak sendirian."

tbc

apa bener itu wajar? maksudku, ya, aku sama dia emang temenan. trus dia udah tahu perasaanku ke dia. wajarkah dia ngajak nonton? 

btw, aku ga pernah sekalipun ke bioskop :"""

sib nasib

apaka cuma aku yang merasa spesial :"" 

setelah hampir 20 tahun, akhirnya ada orang yang ngajak nonton :""""""""""


Swag Couple Series [BTS Jimin]Where stories live. Discover now