UZ 18

12K 623 7
                                    

Jangan lupa votenya dulu

Lalu kasih komentar juga.

Selamat membaca!

➰➰➰

Sekeras apapun sebuah takdir, yakinlah ada hikmah dibalik semua itu. Begitu pula sosok Zen dalam menghadapi ujian. Bukan hanya sekedar janji yang diucapkannya di hadapan Allah tapi ia akan berusaha terus membuktikan kebenaran ucapannya. Karena seorang lelaki yang dipegang adalah ucapannya.

"Sayang, makan yah." Sedari tadi Zen berusaha membujuk Navisha agar membuka mulutnya.

"Kak!"

"Iya, sayang." Zen menurunkan sendok yang dipegangnya ke atas mangkok bubur.

"Zaara sakit parah? Beritahu Zaara kak, Zaara sakit apa," bujuk Navisha sudah mengeluarkan jurusnya. Jika Navisha memanggil dirinya dengan nama kesayangan Zen maka ia yakin sebentar lagi Zen luluh.

"Sayang—"

"Kak, aku tau kalo aku lagi sakit parah. Jika tidak kenapa aku harus dirawat di sini hingga seminggu lamanya. Setiap larut malam, aku juga sempat dengar kakak memarahi seseorang di telepon. Aku yakin itu berhubungan denganku," kata Navisha mengeluarkan hipotesanya.

Tiba-tiba saja Zen tergelak di tempatnya. Navisha menatap bingung campur kesal pada Zen yang malah ketawa. Dia cemberut lalu membaringkan tubuhnya. Nafsu makannya sudah hilang entah kemana.

'Maaf, sayang. Aku belum bisa membahagiakan dan menjaga kamu dengan baik. Aku tidak akan sanggup melihatmu terpuruk jika mengetahui penyakit ini. Aku tidak suka semburat sedih terlukis di wajahmu,' batin Zen.

Tawa Zen memang dipaksakan alias hanya akting belaka. Zen tau jika pembicaraan terus berlanjut maka dia akan luluh. Tentunya berujung pada Zen memberitahukan penyakit ini pada Navisha. Zen akan memberitahukan hal ini tapi tidak sekarang. Ia akan mengungkapkannya setelah ia sudah menemukan donor jantung itu.

"Humairahku, ayo makanlah."

Tidak ada tawa hambar lagi yang keluar dari bibir Zen. Mana mungkin ia bisa tertawa lepas jika belahan jiwanya sedang sakit. Jauh dari lubuk hatinya, ia lebih sakit melihat keadaan sang istri.

"Sayang, makan yuk." Zen kembali membujuk Navisha.

"Ish, kakak sih. Ketawa mulu," rajuk Navisha masih mode cemberutnya. Zen jadi gemas dan berakhir mengacak kerudung Navisha.

"Bibir monyong-monyong gitu nanti aku cium deh," canda Zen.

"Ih, kakak sotoy!" cibir Navisha.

"Kakak jadi lapar, mau makan soto." Dielusnya perutnya seolah ia memang sedang mengidamkan makanan itu.

"Sok tao, kakak." Navisha jadi greget akan tingkah Zen.

"Haha," tawa Zen menyaksikan mimik wajah Navisha.

•••

"Bagaimana? Apakah ada hasil?" tanya pria berpakaian suit tentunya bermerk dengan harga selangit. Dialah Ahmad Zen Abrisam, pemilik kerajaan bisnis Abrisam Group.

"Maaf, tuan. Kami belum menemukan donor yang tepat," jawab seseorang terdengar gemetar dari seberang telepon.

"Saya tidak mau tau, kamu dan anak buahmu cari pendonor yang cocok. Cari donor jantung itu bahkan sampai keluar negeri. Cari bahkan sampai ke sudut dunia sekalipun. Jika kau dapatkan donornyan secepatnya, saya akan berikan gajimu sepuluh kali lipat beserta anak suruhanmu," titah Zen tegas tak terbantahkan.

Untukmu, Zawjati ✔️Where stories live. Discover now