Part 2

7.1K 924 73
                                    

Bulan tertutup awan. Rintik hujan tak henti menyentuh bumi. Gelegar halilintar sesekali terdengar. Angin pun seolah mampu membekukanmu.

Di atas tanah yang telah basah, pemuda itu tak beranjak sedikitpun. Meringkuk kedinginan. Diantara air mata, karena kepedihan yang dirasanya. Jungkook memejamkan mata. Memburai kenangan yang ia simpan dalam-dalam. Bertahun-tahun silam.

Di sudut Busan, bocah berusia 6 tahun itu tergopoh memasuki kediamannya. Ia yang tergesa turun dari mobil mengabaikan teriakan sang ibu. Tawanya menggema bebarengan dengan decitan sol sepatu yang ia kenakan.

"Kookiee Hati-hati! Kau bisa jatuh, Sayang."

Ibunya berteriak saat melihat Jungkook menaiki tangga tanpa mengurangi kecepatan kakinya. Wanita itu menggeleng saat Jungkook bahkan tak mendengarkan apa yang ia katakan.

"Hyungiieee!" Jungkook memekik senang. Menghambur pada sang kakak yang duduk diam di atas ranjang.

"Kookie sudah pulang?" tanyanya seraya menyingkirkan buku yang berada di atas pangkuan.

Jungkook mengangguk antusias.

"Apa saja yang Kookie pelajari di sekolah hari ini?"

Bocah itu tergesa mengeluarkan buku-bukunya. Matanya berbinar saat buku gambar dengan sampul warna-warni itu berada dalam genggaman tangannya.

"Kookie tadi menggambar Eomma, Appa, Hyungie, dan Kookie. Lihat hyung! Bagus kan?"

Sang kakak memperhatikan apa yang Jungkook tunjukkan. Senyum mengembang di bibirnya. "Ini bagus sekali. Kookie benar-benar pandai. Apa kita sedang berada di taman bermain?"

"He ummm... Kookie dan Jiminie hyung naik kuda. Liburan nanti kita minta Appa ke taman bermain ya hyung?"

Senyum perlahan menghilang dari bocah yang lima tahun lebih tua. Ia tatap adiknya dengan mata sayu. "Kookie bisa pergi dengan Eomma dan Appa."

Si kecil Jungkook mengrenyit tak mengerti. "Hyungie tidak mau pergi lagi? Kita sudah lama tidak jalan-jalan bersama. Jiminie hyung tidak sayang Kookie lagi?"

Jimin menggeleng panik. Ia tangkup pipi chubby adiknya dengan mata berkaca-kaca. "Hyungie sayang Kookie. Sayaaang sekali," jawabnya tulus. "Tapi hyungie tidak bisa pergi."

"Jiminie hyung masih sakit?"

Jimin mengangguk sedih. Saat seharusnya ia bermain bebas di luar sana, tak bisa Jimin lakukan seperti yang lainnya. Jantungnya bermasalah. Jimin bahkan tak bisa pergi ke sekolah. Entah sudah berapa kali bocah itu keluar-masuk rumah sakit. Orang tuanya tak mau mengambil resiko, hingga Jimin terpaksa belajar dengan guru privat di rumah.

"Maafkan hyungie, Kookie bisa pergi dengan Eomma dan Appa. Mereka pasti mau."

Jungkook mencebik. Tak lama, matanya membola. "Jiminie hyung kenapa menangis?" tanya Jungkook sembari mengusap air mata Jimin. "Kookie minta maaf. Kookie akan menunggu sampai Jiminie hyung sembuh. Kita pasti pergi bersama."

Jimin menggeleng. Ia juga menginginkan hal itu, tapi mengingat kondisinya memburuk akhir-akhir ini tak bisa membuatnya berjanji. Jimin juga sedih melihat sang adik yang menahan diri karena dirinya. Bagaimanapun Jimin ingin adiknya bahagia.

"Kookie tidak perlu menunggu hyungie. Kookie pergi saja dengan Eomma dan Appa," ulang Jimin.

Si bungsu menggeleng. Keras kepala seperti biasanya. "Hyungie sakit. Kookie akan menjaga hyungie saja. Nanti kalau hyung sudah sembuh kita bisa pergi bersama."

Jimin terdiam. Hanya memandang mata adiknya yang berpijar tulus. Ia menarik tubuh mungil Jungkook dalam dekapan hangat. "Hyung sayang Kookie," gumamnya lirih.

"Kookie juga sayang Jiminie hyung."

Keduanya berpelukan. Lengan Jungkook melingkari tubuh Jimin, menepuk punggung sang kakak seperti yang dilakukan ibunya saat Jungkook menangis dipelukan wanita cantik itu.

Keduanya tak menyadari sang ibu yang memperhatikan dari pintu kamar Jimin. Wanita itu menangis dalam diam. Ia hanya berharap kedua putranya itu dapat hidup bersama selamanya. Saling mengasihi dan saling menjaga.

Tapi takdir Tuhan telah digariskan.

Beberapa bulan berlalu. Keadaan Jimin semakin memburuk. Ia hanya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Cangkok jantung yang Jimin jalani tiga minggu sebelumnya tak membuat ia membaik. Tubuhnya menolak organ baru itu.

Jimin sedih melihat ibunya yang menangis tanpa henti. Ayahnya tampak begitu lelah. Jungkook bahkan harus tidur di sofa kamar inapnya berhari-hari. Bocah itu menolak pulang. Tak mau meninggalkan Jimin. Ia bahkan harus dibujuk untuk pergi ke sekolah.

Saat ibunya pamit ke kamar mandi, Jimin memberi isyarat pada Jungkook untuk mendekat padanya. Ia menyingkirkan alat bantu pernapasan yang membuat ia kesulitan bicara.

"Hyungie boleh minta sesuatu pada Kookie?" tanya Jimin lemah.

Jungkook mengangguk. "Jiminie hyung mau apa?"

"Kookie harus jadi anak baik, pandai, agar Appa dan Eomma bangga." Jimin tersenyum saat adiknya itu mengangguk.

"Kookie harus menjaga Eomma dan Appa. Kookie bisa?" Lagi-lagi Jungkook mengangguk. "Kookie harus tumbuh sehat dan kuat. Jangan buat Eomma menangis, karena hyung sudah membuat Eomma terus menangis."

Jimin tersenyum pedih. Jemari tangannya bergerak pelan. Mengais jari kelingking Jungkook, hingga keduanya terkait lemah. "Kookie tidak boleh menangis. Kookie akan jadi kekuatan Eomma dan Appa. Apapun yang terjadi nanti, jangan pernah menangis. Kookie mengerti?"

Lagi, bocah yang lebih muda itu mengangguk. Jungkook mungkin tak mengerti, tapi ia berjanji akan melakukan apa yang hyungnya minta.

"Janji ya... jangan menangis."

Jimin tersenyum. Bibir pucatnya melengkung indah. Ia merasa begitu  lega.

Dan takdir itu datang.

Di bawah langit senja musim gugur, pekikan itu menggema dalam koridor rumah sakit. Seorang Ibu kehilangan buah hatinya. Meraung dipelukan sang suami yang tak mampu membuka bibir untuk menenangkannya.

Sehari setelah Jimin mengatakan banyak hal pada Jungkook, ia berpulang pada sang Pencipta. Jungkook yang tak mengerti masih mematung memandangi ruang ICU dimana Jimin dibawa masuk dua jam yang lalu. Ia menoleh pada kedua orang tuanya yang tengah berpelukan seolah ini akhir dunia.

Bocah itu tak mengerti. Melihat Ibunya yang meraung seperti orang gila membuat hatinya tak tega. Seperti kebanyakan anak lainnya, melihat orang tuanya menangis juga membuat Jungkook ingin menangis. Tapi dia telah berjanji. Janji yang harus ia tepati.

Bahwa tak akan pernah ada air mata.
Seburuk apapun duka yang ia terima.


TBC.

Lagi, saya ngetik di hp. Biasanya posting lewat lepi adek. Jadi bisa ngutak ngatik spasi. Tp ini lagi males minjem. Padahal beda kamar doang (kkkkk). Kalau spasinya kacau mohon maklum.

Saya update saja karena banyak yang nanya. Sekarang terjawab ya kenapa Jungkook nggak pernah mau nangis.
Dukung terus ya, terimakasih ^^

Until The EndWhere stories live. Discover now