Budapest

2.1K 283 34
                                    

Matahari.

Matahari hampir tergelincir melewati horizon.

Lagi-lagi latar dengan semburat oranye-ungu menjadi hal konstan yang dilihat Mark di arena terbuka yang terletak di ketinggian 500 mdpl. Ia meringis merasakan lapisan keras batuan yang dipoles halus yang dijadikan alas arena yang mirip setengah koloseum itu. Tubuhnya berguling cepat sebelum mengembalikan keseimbangannya untuk berdiri.

Di depannya seorang anak laki-laki seumuran tengah sibuk mengatur nafasnya, kaki-kakinya tampak sedikit bergetar tidak stabil. Mark menyeringai sekaligus meludah sengit ke samping. Rasa asin tercecap di lidahnya berasal dari pembuluh kapiler yang terkoyak di dinding-dinding dalam mulutnya.

It’s just another fight.

Mungkin bagi beberapa orang—khususnya orang-orang akademi—pemandangan seperti ini adalah hal yang lumrah. Lagipula lantai keras berbatu itu sudah menjadi saksi bisu pertarungan banyak orang selama banyak dekade.

It's just another evaluation.

Tapi baik Mark maupun Lucas tahu ini bukan hanya sekedar evaluasi atas kemampuan bertarung mereka. Setidaknya di mata ayah mereka—sekaligus pendiri institusi ini. Hasil akhir segala pertandingan yang merek lalui akan menentukan seberapa berharga nilai mereka di mata laki-laki berdarah dingin itu.

Lucas bukan orang yang mudah menyerah.

Mark bukan orang yang akan menerima kekalahan.

Dan seberapa sering mereka melontarkan hinaan terselubung yang sengit penuh kebencian pada satu sama lain, ada satu kenyataan ironis yang diam-diam selalu bergaung mengikuti hinaan yang terlontar.

Mereka sama-sama egois dan keras kepala. Tidak sulit memahaminya karena di tiap pembuluh darah merek mengalir satu darah yang sama.

“Berhenti!”

Suara wasit Karkarof menggema di malam yang masih muda. Diikuti tongkat rotan yang jatuh menggelinding menjauhi kaki-kaki mereka. Dua laki-laki itu berjalan ke tengah arena memijak garis lingkaran dengan radius dua meter yang berwarna lebih gelap.

“Beri hormat.”

Mark membungkukkan punggungnya, begitu pula dengan Lucas. Namun tidak sedetik pun tatapan mematikan mereka terputus. Tatapan yang bagai menghunus belati yang dilapisi racun pada ujungnya.

“Kembali ke asrama masing-masing.”

Pelatih itu memang selalu kaku. Datar tanpa ekspresi. Mark mendengus, muak akan hidupnya. Hal yang agak berlebihan mengingat umurnya baru lima belas tahun. Tapi kalau pertarungan dan kompetisi adalah hal pertama yang disodorkan padanya sejak ia belajar berjalan, mungkin itu bisa terjadi.

Mark menoleh sekali lagi ke arah horizon dimana matahari telah benar-benar tenggelam. Semburat oranye telah tertelan oleh kumpulan awan indigo dan biru gelap. Ia menghembuskan nafas perlahan, mengharap langit malam ini cukup cerah untuk menampakkan bantalan gas berkilau yang biasa menghiasi langit Putorana.

Karena hanya langit yang selalu mendengar dan mengawasinya.





Bertahun-tahun Mark hidup dibawah bayangan ayah dan saudaranya membuat Mark tidak mudah mengandalkan perasaannya. Ia mengubur hati dan perasaannya jauh sejak dulu. Dan mempercayai orang lain sama sekali bukan bagian hidupnya.

Apa yang terjadi dua tahun yang lalu menguatkan pernyataan terakhir di atas.

Dia melihat bagaimana kerajaan yang dibangun ayahnya runtuh dalam hitungan detik. Dan bagaimana imbasnya pada orang lain—ayahnya dan petinggi institusi. Mark lebih dari tahu pengkhianatan yang dilakukan Lee Haneul menorehkan luka dalam bagi teman seperjuangannya.

Tapi Mark tidak peduli.

Kenangan yang ia bangun di institusi itu tidak dapat dikatakan indah dan menyenangkan untuk dikenang. Membakar habis institusi itu mungkin salah satu dari banyaknya bullet list rahasia yang Mark tanam di otaknya.

Tapi bukan berarti ia akan lepas  begitu saja dari bayang-bayang ayahnya. Belenggu itu mengerat dan menghempas lebih dalam jiwanya ke palung gelap dengan arus yang mematikan.

Ketegangan dan status rival yang menggantung di antara Mark dan Lucas melejit pada level lebih tinggi. Lebih tidak berbelas kasih.

Mereka adalah mesin pembunuh sebelumnya. Sekarang, apa yang bersemayam pada serpihan jiwa mereka adalah monster yang diciptakan oleh kegelapan.

Alea Jacta EstWhere stories live. Discover now