Gnesta

1.3K 243 55
                                    

“Aku tidak tahu ia akan mengirim putranya sendiri untuk membunuhku.”

“Dia memberimu waktu, Profesor.”

Musim dingin selalu memberi spektrum putih yang mendominasi Gnesta dan Hedebel Islland. Meskipun harus Mark akui suhu pada musim semi juga tidak jauh berbeda. Setidaknya tidak ada badai salju yang turun lebat seperti malam ini.

Perapian di pondok dengan tembok putih gading itu hampir meredup. Menyisakan bara api oranye yang berkelip-kelip. Kopi panas sudah mendingin di hadapannya sejak setengah jam yang lalu. Tarian asap di sekitar bibir cangkir hitam itu sudah bungkam.

Begitu juga dengan pria paruh baya yang duduk di sofa yang mulai lapuk di hadapannya. Sebagian kecil kulit sofa pada lengan kursi sudah mengelupas.

“Apa lagi yang lebih menyenangkan selain melihat mangsamu lari ketakutan selama bertahun-tahun sebelum maut menjemputnya?” ia terkekeh penuh ironi.

“Sampai kapan ia memberiku waktu?” ujarnya setelah terdiam cukup lama.

“Ia memberi waktu Haechan sampai anak itu lulus sekolah menengah atas,” jawab Mark kaku seperti robot.

“Dan sampai saat itu apa yang akan kau lakukan?”

Ketika Mark mendatangi pria bermarga Lee ini, ia tidak tahu respon apa yang akan diberikan. Namun sikap menerima dan lapang dada bukan salah satu yang ia ekspektasikan. Pria ini seperti sudah menduganya, seolah hal ini sudah lama ia tunggu.

Well, tugasnya akan semakin mudah kalau begitu.

“Aku akan hidup sebagaimana semestinya.”

Sebagaimana kebanyakan remaja laki-laki kebanyakan. Dan manusia normal pada umumnya—tentu saja. Dan sementara itu juga menyiapkan maut untuk dua orang yang akan dibunuhnya.

Laki-laki paruh baya itu tersenyum di balik matanya. “Lanjutkanlah pendidikanmu.”

Entschuldigung?”

Mochtest du mit mich mitkommen?

Mark mematung dalam duduknya. Ia sedang mencerna dalam pikirannya kalau-kalau ini merupakan perangkap atau strategi liriknya yang lain. Bagaimanapun orang yang duduk di hadapannya itu pernah mengelabui dan mengkhianati seluruh organisasinya.

“Apa kau sedang berusaha memudarkan niatku?”

Profesor Lee tersenyum tipis. Dengan santai ia meminum kopi yang sudah dingin. Bahasa tubuhnya tidak menyiratkan ia sedang duduk satu ruangan bersama praang yang ditugaskan untuk membunuhnya.

“Kau punya beberapa tahun sampai tiba saatnya untuk menuntaskan tugasmu. Sementara itu kenapa kau tidak menjalani hidupmu seperti yang kau mimpikan sejak dulu?”

“Setiap orang punya mimpi. Minghyung-ssi, kau adalah orang yang cerdas. Ada banyak universitas yang akan menerimamu.”

Mark keluar dari pondok kecil itu dengan perasaan yang kosong.

Dia memang terlepas dari lingkungan yang bersinggungan dengan ayahnya. Namun di luar sana ia tahu ayahnya tengah mengawasinya.

Dan mungkin, di kebebasannya yang semu ini, ia akan memanfaatkannya selagi bisa. Pergi ke universitas bukan hal yang buruk.





Bisa dikatakan hubungannya dengan Taeyong cukup rumit. Menjalin pertemanan ataupun hubungan senior dan junior di universitas yang sama ketika Taeyong tahu siapa Mark sebenarnya bisa di katakan cukup canggung. Bukaan hal yang lumrah untuk beramah-tanah pada musuh sendiri.

Bekerja sama menyelesaikan suatu kasus. Berbincang layaknya teman lama dan sahabat karib. Juga candaan ringan yang kerap terlontar seolah mereka saudara kandung.

Mark tidak tahu apa yang merasukinya saat itu.

Mungkin karena ia tidak pernah merasakan hal-hal seperti ini sebelumnya. Mengingat hubungannya dengan Lucas tidak bisa dikatakan baik untuk ukuran saudara sedarah. Dan belasan tahun yang ia habiskan melawan Lucas habis-habisan tidak menyisakan sentimen apapun selain rasa benci.

Mungkin karena Taeyong memperlakukannya seperti seorang junior, seorang teman, dan seorang adik. Seolah fakta besar bahwa Mark harus merenggut nyawa keluarganya suatu saat nanti diabaikan begitu saja olehnya.

Mungkin karena terbuai oleh perasaan asing itu Mark mulai mengabaikan alarm-alarm yang berbunyi pelan yang sudah dipasangnya sedari dulu.

Bukan berarti ia mengabaikan misinya begitu saja. Bagaimanapun sentimen tetap bukan daerah kekuasaannya.

Ia hanya menikmati apa yang bisa ia dapat sejauh ini. Sebelum bom waktu benar-benar meledak. Begitu pikirnya.

Dia tidak akan goyah.

Sehangat apapun perlakuan Taeyong padanya. Sebaik apapun Profesor Lee memperlakukannya seperti mendidik anak sendiri. Memberinya perhatian yang ayahnya sendiri gagal melakukannya selama bertahun-tahun Mark berada di sisinya.

Mark tahu ini semua hanya ilusi sesaat. Yang lambat laun akan hancur berkeping-keping di depan matanya sendiri.

Tapi biarlah begitu. Toh, memang dia akan rugi apa?

Dia tidak perlu susah-susah bersembunyi dalam bayangan. Tugasnya memata-matai keluarga Lee menjadi lebih mudah. Walaupun memang sedikit mencurigakan tapi di balik itu semua ia tahu benar Profesor Lee tidak berbohong.

Bagaimanapun ia adalah gurunya dulu sebelum segala sesuatunya kacau balau.

Memang. Tindakannya ceroboh. Mark bisa terbunuh kapan saja. Tapi Mark bukan orang yang bodoh dan mudah ditipu.

Mungkin Mark enggan mengakuinya—atau tidak yakin. Yang mana sebuah kebohongan besar karena jauh di dalam hatinya ia tahu kenapa orang-orang Profesor Lee tidak langsung membunuhnya.

Mark tahu. Mark mengetahui sebuah kepasrahan saat melihatnya.

Malam itu di Gnesta ketika ia mengetuk pintu pondok kecil Profesor Lee, yang tersorot pada mata pria paruh baya itu tidak lain merupakan sebuah kepasrahan dan penerimaan.

Seolah ia memang sudah menunggunya sejak lama. Seolah ia tahu cepat atau lambat hal ini akan datang padanya.





“Tindakanmu ceroboh.”

“Kukira kau tidak akan muncul di hadapanku lagi.”

Sudah dua tahun ia tidak bersitatap dengan saudaranya. Dan ketika ia melihat wajah itu kembali, hanya amarah dan jiwa membunuh yang menyeruak di dadanya. Tidak ada rindu atau pelukan seperti orang-orang kebanyakan.

“Aku hanya menyampaikan pesan,” ujar Lucas kalem.

“Oh, kau jadi kurir sekarang?”

Mark tersenyum miring melihat Lucas mempertahankan raut datarnya. Namun bisa ia lihat buku-buku jarinya yang mengepak di lengan kursi.

“Ayah bilang, ‘jangan lengah Minhyung’.”

Nada suara itu terdengar mencibir dan menyebalkan. Tapi Mark sudah terlalu sering mendengarkannya untuk merasa kesal sesikit saja. Dia tidak akan terpancing. Alih-alih ia bersiri dari duduknya. Tangannya ia arahkan menuju lorong apartemen.

“Sudah? Pintunya ada di sebelah sana. Tidak perlu kuantar kan?”

Lucas mendengus. Ia beranjak dari kursi hitam dan merapikan jubahnya yang menjuntai sampai lutut. Matanya menyorot tajam sebentar pada Mark sebelum berbalik memunggunginya.  Kaki jenjangnya sudah membawanya di tengah lorong apartemen ketika ia bergumam pelan.

“Hati-hati Minhyung. Jangan terjatuh karena lubang kecil di jalan.”

Mark hanya mematung di depan dinding full-glass apartemennya. Mengikuti punggung Lucas yang menjelajahi trotoar jalanan Illinois yang basah sehabis terbujur hujan.

Lampu-lampu jalan dan kendaraan mengaburkan bayangannya.





Mungkin—mungkin Mark terlalu menikmati apa.yang didapatkannya selama berkeliaran di luar dinding-dinding arena yang biasa membelenggunya.

Mungkin Mark terlalu terbiasa mengabaikan fakta bahwa ayahnya selalu mengawasi gerak-gerikmu dari jauh—dan dari dekat, bisa saja—sampai ia memutuskan untuk melupakannya. Atau pura-pura lupa.

Mungkin Mark terlalu terbawa dengan pola kehidupan dan interaksi normal yang tidak pernah ia dapatkan. Terlalu banyak menerima kebaikan dari orang-orang di sekitarnya—orang-orang yang sama yang tidak tahu manusia macam apa Mark Lee itu.

Mungkin ia terlalu serakah. Tapi begitulah manusia. Mark harusnya bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang tapi itu tidak pernah cukup. Tidak akan pernah cukup.

Jadi, mungkin, dia memang memanfaatkan keadaan ini terlalu jauh. Mengeksploitasinya terlalu banyak. Lambat laun membuat rasa cemas tumbuh di hatinya, keserakahan dalam dirinya menghantui tidurnya. Membisikan hal-hal yang bisa saja dimilikinya.

Tapi ada harga untuk setiap hal yang dimiliki seseorang bukan?

Setelah beberapa tahun yang terasa singkat menjalani hidup normal, takdir yang digariskan ayahnya padanya kian mendekat. Waktunya hampir habis.

Dan keserakahannya bertambah di waktunya yang terus terkikis.

“Taeyong akan kembali ke korea.”

Tubuhnya membeku. Entah mengapa ide memijak tanah leluhurnya terasa begitu asing baginya. Meskipun hanya berbeda benua namun terasa seperti menginjak planet lain dan bukan bumi.

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan Mark. Aku tidak akan memaksamu untuk ikut kalau itu tidak membuatmu nyaman.”

Mungkin Profesor Lee sudah gila. Atau pria itu memang sudah putus asa dengan hidupnya—dengan nyawanya. Atau bisa juga ia sedang menjalankan pepatah keep your friend close and your enemy closer.

Tapi bukankah ia tahu apa saja yang Mark bisa lakukan? Tidakkah ia ingin mengadakan perlawanan terakhir? Bagaimanapun bukan hanya nyawanya yang terancam melayang. Dan kalaupun Mark gagal dalam misinya bukan berarti ayahnya akan berhenti.

Kaki tangannya terlalu banyak untuk dia hitung dan semuanya lebih dari mampu untuk sekedar menghilangkan dua nyawa.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan.”

Pria paruh baya itu tersenyum lemah, matanya menerawang jauh ke depan. Mark merasa jiwa pria itu melayang entah kemana walaupun raganya berdiri di sampingnya. Mark melempar pandangannya ke depan. Mengamati air Rock River yang mengalir tenang.

Suhu cukup dingin di penghujung musim gugur malam itu di Illinois. Untuk beberapa menit yang sunyi hanya diisi bunyi deru nafas berat Mark yang mengembun di udara. Pikiran Mark juga ikut menerawang seperti pria di sampingnya.

Akan lebih baik kalau ia menarik diri. Bukankah seperti itu?

Tapi sejauh ini ia baik-baik saja. Dan lagi-lagi ia serakah.

“Aku akan datang ketika aku datang.”

.
.
.

A/N: apa ini sjsnjajashjssnjssjkamam huhuhu maaf kalau geje ya.

Mohon kritik dan sarannya.

Anyway selamat membaca. Enjoy this chapter^^

See you next chapter 🐴🐴🐴

Alea Jacta EstWhere stories live. Discover now