level 3.

13.2K 1.6K 314
                                    


Mark terbangun dengan kepala yang terasa berat dan sakit, seperti ada belasan bata besar yang diletakkan di atasnya. Wajar saja, cowok bermarga Lee yang biasanya tidur paling lambat pukul 12 malam di hari sekolah itu baru berhasil memejamkan matanya sekitar pukul 5.30 pagi, yang artinya ia baru tidur selama satu setengah jam. Mark tidak akan berpikir dua kali untuk melanjutkan tidurnya kalau saja ia tak ingat ini masih hari Jumat dan teriakan sang ibu sudah terdengar dari lantai bawah, menyuruhnya untuk segera bangun dan bersiap ke sekolah.

Lalu, kenapa Mark tidak bisa tidur?

Alasannya apa lagi kalau bukan sosok bernama Na Jaemin. Ah, tidak tidak. Bukan Na Jaemin. Sepanjang malam Mark berusaha meyakinkan diri bahwa yang mengganggu pikiran dan membuat dadanya terasa tidak nyaman adalah pemandangan asing yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

The thing is, Mark is not a homophobic. Or at least he doesn't think he is.

Meskipun tinggal di negara dan lingkungan yang terbilang masih sangat konservatif, Mark tidak pernah merasa kalau mereka yang termasuk LGBT itu salah atau harus dihina, apalagi dikucilkan dan dibenci.

Lagipula, kalaupun memang ia homophobic, pasti sudah sejak lama Mark merasa jijik dan menjauhi Jeno dan Donghyuck. Kedua sahabatnya itu memang tidak pacaran, tapi mereka sudah sangat dekat sejak SMP, seperti amplop dan perangko, atau apalah itu. Di mata Mark, keduanya selalu terlihat memiliki rasa pada satu sama lain, dan bukan hanya sekadar rasa platonis sebagai sahabat. Hell, they even constantly make heart eyes at each other. And honestly, instead of grossed out, Mark always finds them kinda cute. Not that he will tell them that.

So, no. Mark memang straight, tapi ia bukan seorang homophobe.

Jadi kenapa pemandangan Jaemin yang berciuman dengan seorang laki-laki begitu mengganggu pikirannya? Kenapa suara lenguhan Jaemin terus menerus berputar di kepalanya, hingga membuat dirinya merasa panas dan jantungnya berdetak sangat kencang?

Sungguh, Mark sendiri berharap ia tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.








✼ •• ┈┈┈┈๑⋅⋯ ୨˚୧ ⋯⋅๑┈┈┈┈ •• ✼








Bel istirahat yang biasanya paling ditunggu-tunggu hari ini justru bikin Mark was-was.

Ingat janjinya untuk mengambil jam tangannya dari Jaemin kemarin? Ya, hal itu lah yang jadi alasannya. Entah kenapa, Mark merasa tidak siap berhadapan dengan adik kelasnya itu. Memang sih dia hanya perlu menghampiri Jaemin, mengambil jamnya, mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke kantin dan membeli makanan seperti biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tidak seharusnya ia merasa tak tenang ataupun gugup.

"Oi, Mark, ayo kantin." Suara Renjun membuyarkan Mark dari pikirannya yang berkecamuk. Entah sejak kapan, tapi sahabat asal Cinanya itu sudah berdiri di samping mejanya.

"Duluan aja Njun, gue mau ke kelas 11-4 sebentar." Jawabnya sambil bangkit dari tempat duduk.

"11-4? Ngapain? Wah, lu punya gebetan adek kelas nggak cerita cerita ya?!"

"Enggak elah. Ngarang aja lu. Gue mau ambil jam tangan gue di Jaemin, kemaren ketinggalan di ruang ganti lapangan."

Renjun memicingkan matanya. "Jaemin?"

"Iya. Semalem dia balik paling akhir, gue keinget pas udah deket rumah jadi gue telepon dia minta tolong ambil dan simpenin dulu."

Renjun terdiam sejenak, terlihat memikirkan sesuatu. Tapi detik selanjutnya, ia bergerak dari posisinya dan melangkah meninggalkan meja Mark. "Yaudah, gue duluan ke kantin ya. Lu mau dipesenin dulu nggak?"

a losing game ✧ markminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang