fourteen

10.7K 2.3K 235
                                    

Paris mengerjap kecil sebelum membuka penuh matanya. Sesekali ia menyipit karena sinar matahari yang menerpa wajahnya. Ia meraba pinggangnya, terdapat sebuah perban di sana. Paris tahu betul kalau tadi malam ia kehilangan kesadarannya karena banyak darah yang keluar dari lukanya.

Ia mengalihkan wajahnya ke arah sofa di sudut ruangan, Sehun sedang terlelap di sana masih dalam balutan kemejanya yang tadi malam. Paris mengambil satu apel di meja samping ranjang kemudian melemparnya ke arah perut Sehun. Pria itu tersentak kaget lalu menatap ke kiri dan kanan secara liar.

"Apa yang kau lakukan di situ?" tanya Paris sambil berusaha bangun. Sesekali ia meringis karena perih di pinggangnya.

"Kurasa terima kasih adalah sesuatu yang seharusnya kau katakan," kata Sehun sinis.

"Aku tidak meminta bantuanmu. Bahkan jika kau meninggalkan aku sampai mati kehabisan darah, itu akan lebih baik."

Entah sudah berapa kali Sehun menelan kekesalannya akibat mulut pedas Paris. Seharusnya memang dia meninggalkan Paris saat gadis itu pingsan. Tidak peduli jika Paris akan mati atau orang lain yang menolongnya.

"Kalau kau mati, Ayahku dan Jira bisa tidak selamat."

"Ah, kau benar."

Paris menyibak selimutnya lalu menurunkan kakinya dari ranjang. Seketika ia teringat sesuatu. "Baekhyun mana?"

Sehun mendengus. "Mana aku tahu."

"Kau pulang saja. Aku masih ada urusan dengannya."

"Urusan apa? Merundingkan cara menghancurkanku?"

Di luar dugaan Sehun, Paris terdiam. Biasanya gadis itu akan membalasnya dengan kata-kata kejam dan menusuk, kali ini berbeda. Paris menatap lama mata Sehun meski tidak ada sorot yang berarti di sana.

Beberapa saat kemudian, gadis itu tertawa pelan. "Sepertinya kau semakin membenciku, huh?"

"Kau pantas dibenci."

"Ah, kau benar. Kalau begitu pergilah. Tidak ada gunanya kau di sini bersama orang yang kau benci."

Sehun tak berucap apa-apa, pria itu menyambar jasnya yang ia sampirkan di sofa kemudian beranjak dari sana tanpa sepatah katapun. Memang benar, tidak ada gunanya menolong monster macam Paris. Mengucapkan terima kasih karena sudah dibawa ke rumah sakit saja tidak bisa.

🍁🍁🍁

Baekhyun tidak bisa dihubungi entah kenapa. Jadi Paris terpaksa pulang dari rumah sakit sendiri. Tanpa uang, gadis itu terpaksa harus berjalan kaki. Untunglah salah seorang perawat berbaik hati meminjamkan Paris pakaian dan sepatunya yang kebetulan selalu ia sediakan di lokernya.

Sebenarnya Paris malu mengenakan pakaian ini, terlalu jauh dari gayanya yang biasa. Sebuah terusan warna biru langit dan sepatu flat berwarna putih. Ia sudah memohon agar pulang memakai baju pasien saja, tapi pihak rumah sakit tidak mengizinkan. Bajunya yang tadi malam juga penuh sobekan di sana-sini, sama sekali tidak layak dikenakan.

Di perjalanan pulang, Paris melewati sebuah toko bunga. Langkahnya ia perlambat karena melihat sang pemilik toko sedang menyusun pot tanaman Bunga Lily Putih. Jenis Bunga yang dulu pernah ia tanam saat di Erebos karena hukuman. Ia dan Baekhyun saat itu disuruh membuat taman di belakang Erebos yang berisikan banyak bunga. Siapa lagi yang membuat hukuman seperti itu jika bukan Park Chanyeol.

"Anda tertarik pada bunga ini, Nona?"

Paris terkesiap pelan. Dia baru menyadari langkah kakinya entah kapan sudah membawanya mendekati toko bunga hingga berhasil menarik perhatian sang pemilik.

"Ah, maaf. Saya suka melihat bunga ini."

Pemilik toko itu tersenyum ramah. Dia adalah seorang pria berusia akhir duapuluhan. Paris bisa membaca namanya di nametag yang ia kenakan, Kim Minseok.

"Saya punya banyak bunga Lily karena istri saya juga menyukainya. Tunggu sebentar," ujarnya kemudian masuk ke dalam toko.

Minseok keluar lagi dengan membawa pot bening berisikan bibit bunga Lily yang terendam di dalam air. Ia menyodorkannya kepada Paris. "Ambillah."

Paris menerima bunga itu dengan ragu. "Tapi saya tidak membawa uang saat ini."

Minseok mengebas-ngebaskan tangannya sambil tertawa kecil. "Tidak, tidak. Aku memberikannya gratis untukmu. Lagian ini hanya bibit, kau yang harus menanamnya sendiri."

Paris mengangguk sambil tersenyum tipis. "Terima kasih."

"Ya. Sama-sama."

Paris pamit kemudian beranjak dari sana. Senyuman tipis tak henti-hentinya terulas dari bibir cantiknya. Ia akan menanam bunga ini di pekarangan rumah Sehun. Ada beberapa pot kosong yang kemarin ia lihat di halaman belakang. Kalau Sehun marah, dia bisa mengancam pria itu nanti.

Paris sampai di rumah dua puluh menit kemudian. Peluh membasahi raut cantiknya karena berjalan berkilo-kilo jauhnya dari rumah sakit. Untung saja ia sudah terbiasa seperti ini. Saat di Erebos dulu, mereka bahkan hampir setiap hari disuruh mengitari lapangan Erebos yang besarnya bukan main.

Paris melenggang santai melewati Sehun yang sedang membaca buku di ruang keluarga. Pria itu tidak menggubris kehadiran Paris dan tetap fokus pada bukunya. Paris juga tidak peduli, dia tetap berjalan menuju halaman belakang.

Usai menanam bunga Lily, Paris menepuk-nepuk pelan dress selututnya kemudian berdiri dari jongkoknya. Ia mengangkat pot-pot kecil itu lalu menyusunnya di rak bunga.

Sebuah ide terlintas di benaknya. Ia melirik ke arah dinding kaca rumah Sehun, pria itu masih setia dengan bukunya. Paris meraih sesuatu yang tadi ia temui lalu membawanya masuk ke rumah.

Kali ini Sehun bisa melepas perhatiannya dari buku yang ia baca. Matanya melotot buas pada kehadiran Paris di hadapannya. Gadis itu berdiri dengan tampang polos dan datar seperti biasa. Bukan itu masalahnya, tapi penampilan gadis itu.

Sehun geram melihat Paris yang dipenuhi tanah, gadis itu bahkan masuk ke rumah hingga meninggalkan jejak tanah mulai dari pintu masuk. Kotor sekali dan Sehun benci kotor.

"Han Paris!!" bentak Sehun. "Kau pikir apa yang kau lakukan, sialan?!"

"Aku habis menanam bunga," jawab Paris santai, kedua tangannya masih setia sembunyi di balik punggungnya. "Bunga Lily," tambahnya.

"SIAPA YANG PEDULI KAU MENANAM BUNGA LILY ATAU KAMBOJA SEKALIAN!? KAU MEMBUAT RUMAHKU PENUH TANAH!!!"

"Kau bisa membersihkannya nanti," sahut Paris masih sedatar tadi.

"Perempuan sinting! Memangnya aku pembantu?"

Paris berdecak pelan. Ia menyodorkan pada Sehun telapak tangannya yang terkepal dan penuh tanah. Ada sesuatu yang ia sembunyikan di sana. "I have something for you."

Mau tak mau, Sehun penasaran. Ia menatap ingin tahu ke arah tangan Paris yang mengacung padanya. "Apa itu?"

Paris tertawa dalam hati. Tanpa memperlihatkan Sehun apa yang ia bawa, ia langsung melemparkannya pada pria itu.

Sehun berkedip-kedip sesaat. Ia belum sadar akan apa yang baru saja Paris lemparkan ke kepalanya. Barulah saat sesuatu itu jatuh ke lantai karena terus bergerak, Sehun berteriak histeris sambil menepuk-nepuk rambutnya.

"Sialan kau, Paris!" Ia tak henti-hentinya mengumpat pada Paris sambil meloncat-loncat ketakutan karena Cacing-Cacing tanah yang tadi Paris lemparkan menggeliat-geliat menuju kakinya.

"Rasakan," gumam Paris kemudian melenggang santai menuju kamarnya.

"Ya! Han Paris! Bersihkan dulu dirimu sebelum masuk ke kamar! Sialan perempuan ini!" teriak Sehun masih sambil melompat-lompat karena Cacing. Ia tidak mengerti, kenapa Paris selalu bersikap kurang ajar padanya.

NUMBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang