Prolog #1

12 1 0
                                    


Suara itu memecah kalbu malam yang sunyi. Tidak, sebenarnya tidak sunyi, tapi penuh dengan api. Sebuah desa kecil terbakar habis oleh semburan nafas panas dari sebuah binatang seperti paralayang yang mengamuk di atas langitnya. Suara jerit dan tangisan penduduk mewarnai erangan dan suara auman binatang besar yang melayang itu.

Puluhan warga desa tewas, terbunuh, tertimpa benda berat, atau terpanggang bersama harta benda dan air mata yang kering oleh liarnya si jago merah. Serbuk serbuk merah beterbangan dan asap melebar ke segala penjuru. Anak anak kehilangan jejak orang tuanya, menangis dalam ketakutan akan kematian dari tubuh mereka yang masih polos, tanpa mengetahui apa arti sebenarnya dari kematian itu. tubuh tubuh itu hanya duduk pasrah bermandikan airmata dan peluh ketakutan akan kengerian yang terjadi di hadapannya. Dalam ketidaktahuan mereka tanpa sengaja menunggu nafas api menyapu tawa mereka ke dalam dunia sepi. 

“ Apa... ini saatnya? Tidak... tidak mungkin...” bibirnya merapat, mencegah agar keringatnya tidak masuk ke dalam mulut. Batinnya berperang, antara hidup dan mati, antara menyelamatkan nyawa sendiri dengan menjauh, atau berdiri di sana mencoba menyelamatkan tanahnya yang mulai hangus.

“ Mati atau tidak... jawabannya ada di dalam waktu yang terus berputar...” Pria itu menarik pedang satu tangan miliknya, dan melangkah turun dari balik bayangan tempatnya berlindung. Ia berjalan menuju jalan desa, dimana binatang buas itu mengambil hak sepihak untuk lintasan nafas apinya.

“ Pedang Halilintar, Silver Thunder... “ pria itu mengangkat pedangnya. Tanpa melihat marabahaya yang menganga di depannya, dimana binatang buas itu sudah melihat kilatan petir yang muncul dari pedang hitam satu tangan itu. mata merahnya seperti melihat umpan mengambang di atas air. Siap menyambar, dalam sekali embusan, Mati.

“... Mode, dewa kematian “. Pria itu menyelesaikan kalimatnya, dan  dengan sekali tolakan, ia berlari, menjemput nafas api sang naga. Kilatan kilatan petir hitam menyelimuti tubuhnya, tatkala ia bergerak dengan cepat, tidak, sangat cepat. Api merah menyala menyambut luncurannya dari  arah atas. Dengan tanpa terlihat, ia menghindar dan mengincar posisi bawah sang monster.

Monster itu mengembuskan nafasnya, seraya mengikuti arah gerak sang pria seperti schyte pencabut nyawa yang mengikuti mangsanya. Namun sepertinya, keputusannya salah. Ketika ia melihat pria itu sampai di bagian terlemahnya lebih cepat dari perkiraannya, dan beberapa detik kemudian, perutnya seperti tersambar petir dari bawah.

“Blaamm!”

Mage Sword Masterحيث تعيش القصص. اكتشف الآن