Bagian 25: Father's Sacrifice

2.6K 207 55
                                    

Beberapa hari setelah keluarnya Brian dari rumah

Brian turun dari ojeknya di alamat yang ditunjukan oleh Kirana. Ya, tempat ini adalah rumah paman Kirana. Hari ini Kirana memanggil ayah dan ibunya ke Jakarta untuk menyampaikan kabar ini, dan dengan BODOHNYA Brian salah memasukkan alamat gojek sehingga ia terlambat hampir setengah jam dari jam janjian mereka.

Brian melihat mobil Kirana dan memberanikan diri untuk memasuki rumah itu. Ia berhenti sejenak untuk menarik napas. Brian sejujurnya tak yakin apakah ia benar benar siap untuk menghadapi orang tua Kirana padahal kemarin reaksi papinya saja seperti itu apalagi orang tua Kirana.

Saat itu Brian sadar, ia harus bertindak sebagaimana seorang laki laki. Ia masuk dengan yakin dan mengetok pintu rumahnya. Paman Kirana membuka pintu dan Brian memohon izin masuk. Baru saja melihat wajah Brian, ayah Kirana yang sedang berang langsung maju dan menampar wajah Brian. Brian terdorong mundur dan ayah Kirana memukul perut Brian.

"ANAK SIALAN! KAMU LAKUIN APA KE ANAK SAYA!" teriak ayah Kirana sambil menendang perut Brian yang terkapar. "BERANI BERANI KAMU!"

"AYAH!" Kirana menangis dan duduk melindungi Brian sementara bundanya menenangkan sang ayah.

"Rana bakalan nikah sama Brian!"

"Oh iya. Kamu udah bikin malu nama keluarga. Kamu boleh nikah sama dia, tapi jangan harap Ayah akan memperlakukan dia dengan baik."

Kirana mengelap wajah Brian dan menangis kondisi Brian. Brian sangat sakit karena tendangan ayah Kirana. Brian mencoba bangun dan dalam kondisi yang masih setengah berlutut ia berkata degan sopan. "Om, maafkan kesalahan saya. Saya yang salah. Saya akan bertanggung jawab dan saya akan menjaga Kirana."

"ALAH!"

"Ayah udah!" teriak Kirana.

"Ya sudah. Kirana kita omongin lagi kalau kita semua sudah tenang," jawab Brian bijak

"HANCUR HIDUP KAMU KIRANA!"

"Ayah sadar gak? Siapa yang bayarin semua kehidupan kita? Rana kan? Sementara ayah malas-malasan gak kerja di rumah, Rana sama Bunda yang kerja! Kita makan dari hidup Rana yang ayah bilang ancur ini! Ayah yang harusnya malu! Rana bisa hidup sendiri!"

Kirana berbisik pada Brian sambil membantunya berdiri. "Bii, kita pulang ya." Brian mengangguk dan mengikuti Kirana berjalan ke arah mobilnya.

Malam harinya

Selama beberapa hari ini omongan papinya terngiang di otaknya. Mungkin benar harusnya Brian tidak gegabah. Semua ini akan lebih mudah rasanya jika ada papinya yang mendampinginya, jika papinya bisa mengajarinya bagaimana menjadi ayah yang baik.

Brian mengeluarkan handphonenya setelah ia terbangun dari mimpi buruknya. Ia sudah menekan nomer papinya ketika ia akhirnya mematikan handphonenya. Rasa gengsinya berbicara lebih besar dari rasa kangennya. Ia yang sudah ngotot dengan pendiriannya tidak boleh mundur. Brian sadar papinya tidak akan pernah setuju dengan pilihannya untuk menikahi Kirana.

Brian pergi ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Tempat itulah yang beberapa hari ini menjadi tempatnya untuk menangis dalam diam. Brian duduk di pinggir pintu dan menundukkan kepalanya hingga menempel ke lututnya. Saat itulah air matanya keluar. Air mata yang tidak pernah ia keluarkan di depan Kirana.

Air mata penyesalan. Ketika ia mengingat seluruh perjalanannya. Sewaktu kecil ia hanya punya dua cita cita. Pertama menjadi pemain bola yang hebat. Kedua ia bisa melakukan sesuatu untuk membanggakan papi yang selalu ada di sisinya. Papinya yang selalu menyebut nama Brian di setiap doanya. Papinya yang selalu mencoba keras untuk menjadi ayah sekaligus teman.

Mio FiglioWhere stories live. Discover now