A Beautiful Lie

234 3 4
                                    

[THIS STORY IS WRITTEN IN INDONESIAN, HENCE FIRE UP YOUR GOOGLE TRANSLATE BECAUSE IT IS GOOOOD]

**********************************************************************************************

Hari ini aku berangkat menuju Minnesota. Beasiswa untuk belajar bahasa Prancis dari universitas setempat membuatku terbangun pukul empat karena penerbanganku pukul lima. Ya, belajar bahasa di tempat yang bukan seharusnya. Aku hanya tertawa ketika aplikasi beasiswaku diterima.

Namaku Ellie. Beberapa minggu yang lalu aku bekerja di sebuah perusahaan besar, dengan harapan untuk mengumpulkan uang, bekal sekolahku nanti. Tak disangka, penghasilanku lumayan besar, dikarenakan kemampuanku untuk berkomunikasi dengan klien kantorku. Saat itu jabatanku adalah seorang asisten manajer pencarian bakat. Pekerjaanku sebenarnya mudah saja, hanya mencari musisi yang berbakat sehingga perusahaanku bisa meraup untung dan juga nama besar. Ya, aku bekerja pada sebuah label musik yang menerbitkan para penyanyi dan pemusik handal. Beruntung sekali, hampir semua talent yang kutemukan selalu membawa nama besar label kami ke ranah nasional maupun internasional.

Padahal aku tidak begitu menyenangi pekerjaanku itu. Aku lah talent yang ingin sekali ditemukan banyak asisten manajer. Aku memang suka menyanyi, tak jarang teman-temanku memanggilku si parkit. Hingga suatu hari aku mencapai titik jenuh, kuputuskan untuk bersekolah diluar negeri. Aku ingin sekali mendalami bahasa Perancis, dan mencari-cari beasiswa di negara yang lumayan murah biaya hidupnya. Uang tabunganku cukup untuk beberapa tahun diluar negeri, selanjutnya aku harus bekerja disana untuk memenuhi kebutuhanku. Pilihanku jatuh pada negara bagian Minnesota, Amerika. Di universitas yang ditawarkan, biaya hidup juga sangat murah. Maka kuputuskan untuk mendaftar beasiswa, hingga tiga bulan yang lalu aku diberitahu bahwa aku mendapat beasiswa selama tiga tahun disana.

Segera kuajukan surat pengunduran diriku, yang disayangkan oleh para petinggi label, namun diganjar bonus yang besar. Dan disinilah aku sekarang, duduk manis menyesap kopi sambil menunggu penerbanganku yang akan berangkat dua puluh menit lagi. Setelah panggilan keberangkatan dibunyikan aku segera masuk kedalam pesawat, menenteng tas ransel kecilku dan kopi hangatku. Senyum pramugari yang ramah membantuku menemukan tempat dudukku didalam pesawat.

Duduk disebelahku, seorang gadis manis berambut cokelat dengan bibir penuh dan pipi kemerahan. Senyum menghiasi wajahnya ketika aku duduk disebelahnya, dan aku tersenyum balik. Tenang sekali rasanya dipesawat, tak banyak yang berbicara. Aku terlihat sedikit tegang, meskipun ini bukan perjalanan pertamaku menggunakan pesawat, tapi aku tak tahu akan berapa lama aku tahan duduk di ruang sempit. Aku menderita claustrophobia—takut akan tempat sempit.

"Kau baik-baik saja?" tanya teman dudukku, si gadis rambut cokelat. Aku balas tersenyum ramah. "Ya, aku hanya sedikit gelisah".

"Pengalaman pertama dengan pesawat?"

"Tidak. Hanya saja aku tak tahu berapa lama aku bisa duduk diam ditempat sesempit ini". Gadis itu tertawa.

"Aku Vicki. Kau mau ke Minnesota, kan? Apa yang kau lakukan disana?" ujarnya mengenalkan diri sambil kembali bertanya. Suaranya sangat menyenangkan untuk didengar.

"Aku mendapat beasiswa bahasa perancis di Universitas Minnesota, tapi aku akan tinggal di Owatonna. Kau tahu Owatonna? Apakah jauh dari Universitas Minnesota?" tanyaku balik.

"Owatonna hanya satu jam perjalanan menuju Minnesota. Tenang saja, di Minnesota semuanya dekat" jelas Vicki sembari tersenyum. "Aku dan suamiku tinggal disana beserta dua teman akrab kami. Pelarian dari nuansa ribut NYC.

"Suamiku dan kedua temannya adalah pemusik, mereka berada dalam satu band rock" sambung Vicki. Aku tersenyum simpul. Bagus, musisi lagi.

"Pekerjaanku yang lalu adalah talent founder. Aku mencari bakat-bakat terpendam yang luar biasa untuk diorbitkan sebagai musisi" kataku. Vicki ternganga.

Kings and QueensWhere stories live. Discover now