02 | MENOLAK MAU

6.3K 185 20
                                    

Satu minggu berlalu, Jesna merasa Lintang adalah orang yang asik mengobrol segala hal, pemuda itu bisa mengimbangi minatnya dan selalu memberi respon yang Jesna suka. Jesna sendiri juga banyak bertanya tentang kehidupan Lintang, namun pemuda itu tak banyak bicara soal asmaranya. Meski begitu, banyak hal-hal yang mendominasi obrolan mereka yang membuat Jesna merasa nyaman, Lintang selalu mengucapkan kalimat-kalimat yang membuat obrolan mereka tak pernah ada habisnya.

Bibir Jesna komat kamit membaca bukunya sejak sejam lalu. Ia sengaja datang lebih awal untuk menikmati suasana cafe yang didatanginya bersama Lintang seminggu yang lalu. Cafe ini terletak strategis dimana Jesna tak perlu menempuh waktu lama untuk sampai dan begitupun dengan Lintang.

Seperti yang mereka bicarakan malam tadi, bahwa Lintang mengajaknya menghabiskan waktu bersama hingga menjelang malam. Sulit untuk Jesna menolak tawaran itu sebab Lintang terlalu memikat, meski begitu Jesna enggan mengakui. Ia hanya tak ingin salah paham tentang semua perilaku Lintang yang begitu sopan dan manis seminggu ini, mereka bahkan akhir-akhir ini rutin saling mengobrol di telepon saat malam hari. Dan seperti yang sudah-sudah terjadi saat awal mereka saling menyapa di telepon Jesna akan berakhir terlelap lebih dulu setelah membacakan suatu puisi untuk Lintang. Jujur saja itu membuatnya tidur dengan nyenyak.

Lintang tiba lima menit sebelum jam tiga sore, mungkin dia berharap datang lebih awal. Terlihat wajahnya terkejut di susul sumringah melihat Jesna sudah duduk di ujung sana. Tak lama setelahnya mereka saling menyapa dan memesan menu.

"Kamu kelihatan ngantuk Jes?"

"Enggak kok, lagian kenapa mau janjian jam tiga sore? kenapa gak pagi atau sekalian siang gitu. Kan, ini hari minggu," tanya Jesna.

"Karena jam sebelas aku harus ke gereja sama Mama Papa, terus lanjut antar mereka kencan keliling mall."

Jesna sempat membeku beberapa detik untuk mencerna semua penjelasan Lintang dari awal hingga akhir. Bisa-bisanya Jesna berpikir Lintang memiliki kepercayaan yang sama dengan dirinya hanya karena pemuda itu selalu mengingatkannya untuk tidak tidur terlalu larut agar ia tidak melewatkan sholat subuh.

Lintang mengamati detik-detik Jesna memaku mendengar fakta baru tentang dirinya, meski rapih Jesna menutupi isi hatinya dengan ekspresi biasa saja, Lintang sudah lebih dulu jeli tentang apa yang dirasakan oleh gadis itu.

"Oalah, sibuk juga, ya. Kalau aku cuma beres-beres rumah sama sibuk di dapur si, soalnya aku juga suka masak."

"Masak apa tadi pagi?"

"Ceker pedes, tau gak?"

"Gak tau sih."

"Serius gak tau ceker? Kamu gak pernah makan ceker?" Jesna masih seolah tak percaya. lebih tepatnya tidak terima, bisa-bisanya tersisa di muka bumi ini makhluk yang tak pernah menyantap ceker ayam.

"Belum pernah nyoba, soalnya gak kepikiran. Lain kali bakal aku coba kok."

"Wahh, harus, sih." Jesna memasang tampang takjub. "Kamu suka makan apa memang Lintang?"

"Telur. Tapi, putihnya aja." Lintang nyengir setelahnya.

"Lah, aku cuma suka kuningnya, haha."

"Anjir, jodoh, haha."

"Haha. Terus makanan yang gak kamu suka apa?"

"Emm, yang gak aku suka itu kayak jengkol, pete, ikan kering, gitu-gitu, deh."

Jesna hanya bisa mengacungkan jempolnya, semua yang Lintang sebut barusan adalah makanan yang disukainya. Jesna jadi menaruh pikiran dengan semua yang jelas-jelas memperlihatkan betapa berbedanya mereka berdua, hingga tidak akan memberi peluang yang besar untuk hubungan lebih dari ini. Jika sungguh dirinya menaruh rasa, tak salah jika ia merasa telah membuang banyak waktu untuk sesuatu yang berakhir buntu.

Ini bukan sesederhana perkara Lintang yang tak suka pete dan kawan-kawannya, tapi perkara yang lebih besar dari ini mereka beda agama, jelas Lintang tau semuanya sejak awal, apa yang dipikirkannya saat memutuskan untuk menghabiskan begitu banyak malam dengan canda tawa bersama, Jesna benci saat dirinya berpikir bahwa Lintang sengaja mempermainkannya, tapi di satu sisi Jesna ingin merasa semua yang telah mereka lewati bukan tanpa perasaan, namun memang sepenuh hati.

"Jadi bagusnya kita mau ngobrolin apa, nih," Lintang menopang wajahnya dengan dagu sambil mengamati Jesna dengan tatapan lamat.

"Emm, apa, ya. Kamu suka apa memang?" Jesna menggeser bukunya untuk memposisikan sikunya disana, lalu bertopang dagu seperti yang Lintang lakukan.

"Suka kamu, lah." Jawab Lintang seringan kapas.

Jesna cukup terlihat cukup mahir untuk menyembunyikan salah tingkahnya saat ini. Dia berusaha bersikap setenang mungkin, jika saja Lintang mendengar isi hatinya, betapa Jesna dengan sepenuh hati menerima kalimat itu sekalipun jika itu adalah dusta, namun bersamaan dengan itu ia terperangkap atas ketidakberdayaannya terhadap sesuatu diantara mereka yang tak akan pernah bisa ada.

"Emm, kenapa suka harus suka aku? Bukannya kita beda banyak?" Jesna yakin makna dari pertanyaannya tersampaikan dengan baik kepada Lintang.

"Gak ada alasan buat bilang kenapa bukan kamu Jesna, dan kalau memang berbeda yang kamu maksud adalah kepercayaan yang kita pegang, kenapa gak dibikin jadi sama aja, kan?"

Jesna memilih terdiam untuk beberapa saat, siapa yang dimaksudkan Lintang dalam hal ini, dia atau Lintang? "Maksud kamu?"

"Jesna ... Kalau memang masa depan memang berakhir dengan kamu, kenapa aku harus menolak mempercayai yang kamu anut? Bukannya cinta dari Tuhan? Kalau begitu biarkan cinta yang tunjukkan dimana aku bisa berada dijalan yang benar."

Kali ini Jesna benar-benar memaku, ditetapinya sosok Lintang masih dengan posisi yang sama, sedangkan dia memasrahkan punggungnya membentur sandaran kursi dengan tak bertenaga. Ia kehabisan kata-kata untuk saat ini, Lintang terlalu ajaib dengan semua ucapannya barusan.

"Kamu terlalu banyak kejutan untuk pertemuan yang baru dua kali Lintang, aku rasa kamu cuma terjebak euforia."

"Kamu baca banyak kisah cinta Jesna, kamu jelas paham kapan rasa itu datang, kamu tau saat rasa itu ada, entah pada aku atau pada kamu. Lantas kenapa menafikkan ini semua hanya karena waktu yang kamu bilang singkat?"

Hidup seperti bungkus permen berisi empedu, saat kamu berpikir itu manis ternyata rasanya pahit. Seperti dirinya dan Lintang, jika ia ikut berusaha memaksa segala sesuatunya terjadi diantara mereka, tidakkah menyiksa menelan empedu setiap saat. Karena pada kenyataannya semua tak sesederhana yang Lintang ucapkan. Jika memang semuanya berakhir seperti yang Lintang ingini, Jesna takut menghadapi prosesnya, bahkan untuk membayangkan semuanya terjadi lebih jauh pun Jesna getir.

Sedangkan Lintang tak begitu serius menanggapi hidup, perasaan yang dirasakannya sekarang adalah hal yang paling serius untuk saat ini, seorang Jesna yang membuatnya sempat berpaling dari kesenangan dunia, dimana bisa membuatnya nyaman hanya dengan kesederhanaan. Jika Jesna sama halnya dunia yang serupa tipuan, maka biarlah ia tertipu hingga akhir hayatnya.

Bahasa Semesta Where stories live. Discover now