32. Diari

5.3K 234 12
                                    

Razi P. O.V

"Mbak, kita tuh ke sini baik-baik lho, bukan buat ngerusuh. " Suara cempreng khas seseorang yang tidak begitu asing cukup mengganggu aktivitas ku dalam menyusun beberapa dokumen santri.

"Maaf, mbak. Tapi mbak harus menaati peraturan pondok pesantren jika ingin datang berkunjung. " Tolak Nabila halus.

"Kita datang jauh-jauh dari kota ke tempat ini bukan lah dengan jarak yang main-main, mbak. Kita juga capek, mbak. Butuh istirahat. " Suara gadis yang lain lagi bersuara. Ah, mungkin yang datang lebih dari satu orang.

"Saya mengerti, tapi kalian juga harus mengerti dengan peraturan pondok pesantren kami. " Ini keterlaluan. Bukan kah sudah jelas jika mereka melakukan perjalanan dari kota ke sini. Pasti itu sangat melelahkan. Seharusnya Nabila memberikan keringanan kepada mereka, bukannya bersikap seperti ini.

"Gini aja ya, mbak. Kami to the point aja, kedatangan kami ke sini itu untuk bertemu dengan Zahra yang baru saja pindah satu bulan yang lalu dari kota."

Zahra?

Apakah yang mereka maksud Zahra ku?

Apa jangan-jangan mereka adalah sahabat Zahra?. Sahabat yang telah menyakiti nya.

Mau apa lagi mereka ke tempat ini?

Ada urusan apa lagi mereka mencari Zahra, apakah mereka masih belum puas mempermalukan Zahra?.

Ini tak bisa dibi-

"Zahra? Oh, jadi kalian ini teman-teman nya Zahra. Gak heran sih melihat kelakuan Zahra yang begitu, eh ternyata pergaulan nya gini toh. "

"Eh, mbak jangan bawa-bawa Zahra deh dalam masalah ini. Kami emang kelakuan nya gak benar, tapi Zahra enggak."

Eh, tapi mengapa mereka membela Zahra saat dijelek-jelekkan Nabila?

"Alah, kalian sama aja. Sama-sama biang masalah! "

Ini tak bisa dibiarkan! Nabila sudah keterlaluan.

Aku melangkah kan kaki ku ke arah gerbang, berniat menghentikan ocehan memuakkan Nabila tentang sikap buruk Zahra. Namun, sebelum kaki ku benar-benar menyentuh gerbang sebuah tangan telah menahan pundakku. Membuat ku refleks berhenti dan menoleh ke sang empu pemilik tangan.

"Fia? " Kaget ku karena mendapati Fia yang sudah berdiri dibelakang ku.

"Dengarkan dulu, jangan terlalu buru-buru. " Pesannya terhadap ku.

Aku menghela nafas pelan dan menganggukkan kepala ku patuh. Ia tersenyum hangat dan membawa ku menepi ke arah tembok, berteduh. Dari sini suara mereka terdengar sangat jelas.

"Eh, mbak! gua masih terima aja ya lo bilang jadi biang masalah, tapi kalo Zahra juga lo sangkut pautin atau lo anggap juga sebagai biang masalah, sorry aja yah gua gak terima. "

Aku sedikit terkejut, bahkan Fia pun juga sama terkejut nya dengan ku.

"Ya, elah Ann. Udah, sikat aja ini orang gak tau sopan santun. Niat baik-baik kok ditolak, jadi ragu gue dia di sini dapet ilmu. "

"Udah, Fa. Lo tenang aja, gak usah emosi bisa?"

"Njirr, lo yang bilang gak usah emosi kok malah lo yang emosi sih?. Itu suara dibiasain aja kali. "

"Yee.. Kok lo nyolot sih, Fa. Biasa aja kali! "

"Apa? Lo bilang gue nyolot? lo tuh yang nyolot! Kok lo-"

"Udah napa sih! Kita ke sini tuh mau ketemu Zahra. Kenapa pada jadi ribut? "

Kenapa terdengar lucu yah?

Sekotor Itukah Aku (selesai dan Revisi) Where stories live. Discover now