Aku hampir mati.
Hal itulah yang selalu aku pikirkan ketika aku - untuk kesekian kalinya, dikejar oleh orang-orang disekitaran kota New Djakarta. Saat inipun aku sedang berlari dari mereka yang hendak memukulku tanpa ampun karena aku mengambil dompet dari seorang ibu yang akan berbelanja makanan di minimarket.
Beruntungnya, di jalanan sekitar Tanjung Priuk saat ini cukup padat dengan aktivitas. Aku berlari menyusuri jalan yang semakin lama semakin sesak oleh pekerja dengan bau badan seperti asap pabrik di lingkungan yang sudah berkembang dalam arti yang lebih buruk.
Gedung-gedung sudah menjulang semakin tinggi, modern, dan megah. Beda jauh dengan lingkungan disekitarnya yang kumuh dan tak terurus serta ditinggalkan. Parahnya lagi, bangunan-bangunan ini seluruhnya dipagari oleh tembok yang tinggi. Seolah-olah ingin membatasi dirinya dari dunia luar.
Televisi sudah memberitakan banyak hal yang seolah sepakat untuk tetap memperburuk keadaan. Kekacauan kelompok bersenjata, politikus korup penghisap darah orang miskin, bahkan mafia proyek penjilat para pemangku kebijakan. Jangan diartikan secara harfiah, memikirkannya saja sudah membuatku mau memuntahkan sarapan. Untungnya aku belum sarapan.
Bisa dibilang, aku sudah akrab sekali dengan suasana seperti ini. Lingkungan yang semakin tercemar, gelandangan tidur disana-sini, dan satpam yang sekarang sudah tidak ada alasan lagi untuk tidur atau sekedar menghisap sebatang rokok di posnya dengan malas, bergabung mengejarku. Setidaknya dia perlu sedikit berolahraga, banyak satpam sekarang kebanyakan gaji buta, lihat saja perut mereka.
Dalam sekejap, aku sudah berada didekat gang sempit yang diapit oleh dua bangunan mahabesar yang selalu membuatku bermimpi untuk memilikinya. Aku selalu percaya pada pepatah "bermimpilah setinggi langit, jika kau terjatuh, setidaknya kau bisa menginjak wajah pemilik gedung itu". Pepatah itu orisinil dariku, jangan pernah berpikir untuk mengklaimnya.
Aku mengintip sedikit ketika rombongan masyarakat yang marah lewat. Aku menyeringai. Hahahaha, kalian tidak akan pernah menangkapku.
Selama satu masa kehidupanku, aku rasa sudah tiga tahun kuhabiskan dijalanan hanya untuk mencuri, menjambret, dan mengutil. Dan kau pasti sudah menebaknya, aku terlalu licin. Setidaknya sampai saat ini.
Aku selalu bisa kabur dari polisi, masyarakat yang marah, serta penjual balon keliling. Tolong jangan tanya apa yang kuambil dari korban yang terakhir, aku hanya terlalu fanatik dengan kartun Angry Birds.
Aku duduk bersandar di dinding gang dan membuka dompet yang baru saja kuambil. Selembar uang lusuh lima puluh ribu rupiah, kartu tanda penduduk yang sudah luntur, serta beberapa uang koin bekas jatuh dilumpur.
'Sial, bahkan tidak cukup untuk makan hari ini,' gerutuku sambil memasukkan kembali dompet itu ke saku jaket penerbangku.
Penampilanku tidak terlalu buruk untuk seorang pencuri. Rambut hitam berantakan, kaus putih oblong dengan jaket penerbang berwarna daun gugur hasil mencuri dari mobil artis yang sedang syuting, dan celana jins hasil mengutil mall terbesar di daerah Tanjung Priok.
Oh iya, dan sepatu kets berwarna pink cerah dengan tali putih yang kutukar dengan sendal jepit di depan rumah kos perempuan. Kau tidak bisa memilih barang mana yang bisa kau ambil jika kesempatan itu ada.
Kudongakkan kepalaku ke langit yang mulai mendung kelabu. Kutiup rambut yang menghalangi satu-satunya benda yang selalu ingin aku hilangkan dari tubuhku : mata kananku yang berwarna biru safir.
Aku selalu merasa menjadi orang yang berbeda dengan orang lain karena mata ini. Entah apa yang terjadi dengannya di masa laluku. Jika aku memang punya masa lalu. Satu-satunya hal yang kuingat hanya aku terbangun dengan posisi duduk di dalam gang sebelah tong sampah dengan pecahan kaca disekitarku. Ditangan kananku terdapat gelang bertuliskan namaku, Andre Orlando Emery, dan angka 707 dibawahnya. Serta pesan seorang wanita yang terus berputar dibenakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Code Name : Black Rose
Science FictionIndonesia tahun 2222, lebih dari 200 tahun setelah kemerdekaan, berubah drastis. Perang saudara pecah membuat Indonesia terpisah menjadi beberapa kelompok kecil. Beberapa kelompok menyatukan diri dan menyebut mereka rumpun. Mereka mencoba bertahan d...