'Aku lebih suka dipanggil liar,' Rico berjalan sebentar kemudian membalikkan badan kearah kami. 'Selamat datang di taman bermainku,' dia menyengir.
Aku setuju dengan apa yang dikatakan "taman bermain" jika hanya menghitung sofa rollercoaster tadi. Hanya saja ruangan ini jauh dengan apa yang dia sebut soal taman bermain.
Ruangan ini mewah dengan banyak lemari kaca mengkilap dan atap yang disangga oleh pilar-pilar besar. Lemari kaca itu berisi macam-macam barang, yang hampir kebanyakan berupa senjata. Dinding-dindingnya dihiasi berbagai macam lukisan berseni dan cat-nya pun masih bersih terawat, beda sekali dengan yang terjadi diatas.
Rico mengajak kami berjalan mengitari ruangan. Ruangan itu memiliki luas yang jauh lebih besar dengan apa yang terlihat di atas, kuperkirakan lima kali lipat. Kami berjalan terus dan berhenti didepan monitor raksasa. Di kiri dan kanannya masing-masing terdapat dua monitor dengan ukuran lebih kecil, setengah dari ukuran monitor tengah yang ukurannya sebesar videotron yang biasa ada di sekitar jalan tol.
Aku menengok kearah temanku yang lain, mereka masih berbinar kagum terhadap apa yang mereka lihat. Terutama Raden yang memang punya ketertarikan khusus terhadap senjata. Rico hanya tertawa setiap kali melihat Raden terpaku sambil melongo kearah koleksi senjatanya, yang kemudian bersikap sok keren kembali.
Rico menekan beberapa tombol di papan ketik monitor. 'Baiklah, mari kita cari tahu apa yang telah terjadi,' ujarnya sambil meregangkan jari-jarinya. 'Oh aku merindukan saat-saat seperti ini.'
Jari-jari Rico telaten mengetik setiap huruf dan kata yang ada di papan ketik. Dalam sekejap muncul berbagai gambar kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu. Rico mengklik gambar kejadian yang terjadi di laboratorium pemerintah. Gambar menunjukkan bagian luar dari halaman laboratorium, sementara monitor yang lain menunjukkan kejadian didalam ruangan dari berbagai sudut.
'Aku meretas rekaman yang terjadi dari kamera pengawas laboratorium sesaat sebelum ledakan,' Rico menunjuk ke semua monitor yang ada di sana. Membuat kami bingung harus melihat yang mana.
Monitor memang menunjukkan kejadian yang terjadi didalam laboratorium. Ilmuwan sedang bekerja seperti biasa sampai tiba-tiba gambar menghitam menunjukkan gambar segi enam dengan sisi bawah yang lebih panjang. Di tengahnya tergambar tengkorak dengan rahang yang bergetar selama beberapa detik kemudian menghilang bersama suara ledakan. Setelah itu tidak ada gambar dan suara apa-apa lagi yang muncul kecuali ledakan.
Teman-temanku tercengang. Sama sepertiku, hanya saja mereka tercengang karena gambar yang barusan muncul. Sedangkan aku tercengang karena bingung mereka tercengan kenapa.
'Apa yang terjadi?' tanyaku.
'Sudah kuduga ini ulah mereka,' Raden menggertakkan gigi. 'Giggling Coffin.'
Kata-kata Raden langsung membuat kepalaku berdengung. Tiba-tiba banyak kejadian berputar dikepalaku, bodohnya aku tidak tahu kejadian apa itu. Mereka hanya berputar-putar dengan gerakan cepat, berpindah-pindah, dan kemudian menghilang digantikan dengan kejadian yang lain.
Sebuah tamparan mengenai pipiku, menghentikan pusing dikepalaku. Aku membuka mataku pelan-pelan dan temanku yang lain berkumpul diatas kepalaku.
'Sepertinya dia masih belum sepenuhnya sadar,' Aurel mengamatiku.
'Haruskah kutampar dia lagi? Aku tidak keberatan,' tanya Raden.
Aku bangun seketika. Bukan hanya untuk memastikan aku sudah kembali ke realita, aku juga tidak mau ditampar lagi oleh Raden.
Kepalaku masih pusing sedikit, aku tidak tahu apa yang terjadi. Sebelum hari ini, aku memang sering mendengar kata-kata itu karena memori terakhirku ketika aku terbangun di jalanan. Hanya saja, yang terjadi padaku tidak se-ekstrim ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Code Name : Black Rose
Science FictionIndonesia tahun 2222, lebih dari 200 tahun setelah kemerdekaan, berubah drastis. Perang saudara pecah membuat Indonesia terpisah menjadi beberapa kelompok kecil. Beberapa kelompok menyatukan diri dan menyebut mereka rumpun. Mereka mencoba bertahan d...